Seperti halnya disebutkan diatas tentang ucapan Grive soal Prinsip
Kerjasama bersifat cukup samar untuk memenuhi variasi antar budaya yang signifikan.
Empat Maksim berusaha menulis sub-prinsip lebih ekplisit, tapi bukti dari
budaya lain sementara menyarankan bahwa ini mencerminkan perilaku percakapan
etnografis di Eropa Barat yang menurunkan budaya daripada ketidakleluasan
absolut yang bersifat universal. Variasi antarbudaya itu sangat penting dan
benar-benar tidak diakui dalam pembicaraan Maksim milik Grice bahwa Hymes
(1968:78) yang berdampak untuk mengkritik “besarnya etnosentris”. Seperti yang
diungkapkan tadi, wilayah dimana variasi antar budaya diharapkan akan
melibatkan sifat dan jumlah informasi dalam percakapan di budaya tertentu dan
siapa atau apa yang menentukan tujuan dan arah percakapan. Jenis dan jumlah
informasi secara budaya telah jelas ditentukan, seperti yang ditunjukkan dengan
brilian oleh Keenan (1976) melaui studi praktik percakapan diantara para petani
Malagasy. Petani Malagasy, khususnya laki-laki, khususnya yang kurang
informatif dalam memberi penjelasan dibanding orang Amerika atau Australia.
Mereka melihat informasi komoditas penting, sesuatu yang memberikan prestise
dalam desa penganut egaliter yang lebih besar, sehingga mereka enggan untuk
membaginya dengan leluasa. Dalam desa kecil yang satu sama lain saling
membantu, dimana setiap orang terhubung dengan yang lain, yang mana kontak
kecil dengan dunia di luar mereka mungkin terjadi dengan kecilnya rahasia dan
privasi yang kurang, informasi yang tidak tersedia di publik benar-benar
dihargai dalam status sementara yang diberi. Jadi, ketika seseorang bertanya,
tidak mungkin informasi dibutuhkan oleh penanya akan dengan cepat dipenuhi,
agak tidak jelas, sebagian jawaban adalah norma. Jadi ketika seseorang
ditanya kemana mereka akan pergi, mereka tidak akan menjawab “pergi ke toko untuk membeli beberapa botol
beer;kami berencana pergi pesta malam ini.” Tipe jawaban masyarakat
Malagasy akan cenderung “Oh, cuma pergi
kesana”, keterangan jawaban menjadi tidak jelas, dan seseorang yang
bertanya akan paham apa yang dimaksud dari tindakan orang tersebut.
Hal
lain yang juga menjadi faktor penting dalam memengaruhi terjadinya Maksim
Kuantitas dalam percakapan di masyarakat Malagasy adalah budaya bungkam pada
tuntutan khusus di depan umum, kekhawatiran akan hancurnya keberanian jika
tuntutan tersebut akan gagal. Malagasy cenderung menghindari pertanggung
jawaban atas informasi saat berkomunikasi, sehingga informasi yang disampaikan
sangat terbatas dan seringkali terkesan tidak jelas, setidaknya dalam
pendengaran kita (pelanggaran Maksim Perilaku). Jadi, seseorang menghindarkan
dirinya dari kegiatan yang akan terjadi, dengan alasan hal tersebut takut gagal
terjadi. Jika ditanya mengenai kapan sebuah festival akan terjadi, sangat
mungkin jawaban yang diberikan akan tidak jelas atau samar-samar, seperti “Saya tidak yakin kapan festival tersebut terjadi”
atau “Mungkin sekitar bulan Juni”, meskipun jika responden itu dengan sadar
mengetahui tanggal pasti kapan kejadian tersebut akan terjadi. Hilangnya
keberanian juga menyebabkan seseorang sangat berhati-hati ketika memberikan
nasehat atau peringatan, sehingga dapat menghilangkan berbagai kemungkinan yang
mungkin terjadi. Coba beri pertanyaan kapan Mr X berada di rumah, maka jawaban
yang mungkin dikatakan yaitu, “Jika kamu
tidak datang setelah matahari tenggelam, maka kamu tidak akan bertemu Mr X.”
Informasi ini terdengar samar-samar dan tidak jelas, namun memberi nilai budaya
di Malagy, hal ini merupakan jawaban terbaik saat memberikan informasi, namun
menghindari tanggung jawab dikegiatan yang akan datang.
Ketidakjelasan
dan kekurangan dari informasi juga termasuk tipe ekspresi untuk mengarahkan
seseorang. Seseorang menghindar untuk menjelaskan keterangan dirinya dalam
ujarannya, karena dapat membuka kesempatan seseorang campur tangan didalamnya.
Hal ini juga untuk menjaga diri dengan sosiosentris dan keadaan bergantung pada
pengertian seseorang dalam budayanya dan perbedaan dalam individualis barat.
Sebagai konsekuensinya, individu seseorang ditunjukan oleh ekspresi yang
memperhatikan posisi mereka dalam sosial masyarakat. Dan seringkali jejak-jejak
seseorang dihapuskan, sehingga orang-orang desa/udik mungkin menunjukan dirinya
sebagai olona “orang,” zazalahy “laki-laki,” atau rayaman-dreny “orang tua”. Jadi, seorang
perempuan dapat mengatakan “apakah orang (olona) sedang tidur?” kepada putranya, ketika
“orang” yang dimaksud tersebut adalah suaminya sendiri (Keenan,1976:73).
Catatan dalam pemakaian kata-kata dan berkenaan dengan Grice’s (1975) Maxims,
pada penggunaan kata “orang” hanya cocok ketika pembicara tidak sadar pada
keadaan orang yang tidur. Di Malagasy, seseorang pun sewajarnya berkata “seseorang sedang melihatmu” ketika
seseorang yang dimaksud tersebut adalah kakak laki-lakinya (Keenan and Onchs,
1979:153).
Penyampaian
kepercayaan budaya di Malagasy, satu daerah yang menunjukan masalah khusus
dalam interaksi lisan adalah tindak tutur
dari beberapa permintaan seperti yang tercantum dalam Brown and Levinson
(1987), mereka memaksakan kebebasan pribadi to untuk bertindak atau memberi negative
face, tetapi karena mereka terancam dengan positive face di Malagasy
dalam hal nilai persamaan dan tanpa konfrontasi, dan juga jika diterima,
berkomitmen pada yang dituju secara eksplisit dalam beberapa kejadian di masa
depan. Penjelasan sebelumnya masuk akal dalam sebuah egosentris, budaya
individual sama halnya dengan budaya barat, namun kurang tepat untuk
diaplikasikan dalam budaya sosiosentris seperti Malagasy (seperti yang
diungkapkan juga pada Matsumoto (1988) terhadap Jepang). Permintaan cenderung
menunjukan bentuk isyarat secara tidak langsung. Begitupun, seseorang tidak
akan meneruskan isyaratnya secara langsung ketika dalam pertemuan sosial, pun
ketika tujuan utama dari sudut pandang mereka yakni untuk membuat suatu
permintaan. Keenan dan Ochs (1979:154) memberikan contoh yang membentur untuk
menggambarkan poin tersebut. Suatu hari, beberapa lelaki tiba dirumahnya tanpa
terencana sebelumnya. Setelah beberapa menit dan berbincang-bincang ringan,
topik untuk memotong kaki mulai ditunjukan, luka biasa saat gunung meletus
disuatu kota yang mana desa didalamnya terdampak. Beberapa saat setelah itu,
salah satu lelaki paling belakang dalam group tersebut menunjukan Keenan and
Ochs pemotongan kaki yang sangat buruk dan membutuhkan pertolongan segera. Hal
ini mungkin sulit untuk dibayangkan secara langsung, memulai-mengakhiri dan
tidak jelasnya keterangan untuk menunjukan permintaan daripada hal tersebut!
Yang penting sekali pada model kesopanan Brown dan Levinson yaitu prinsip
kerjasama antar lawan bicara dalam saling memelihara rupa dalam percakapan,
Secara ideal pembicacara menampilkan beragam jenis
tindak turur yang lebih atau kurang sopan untuk memelihara rupa orang lain.
analogi penting linguistik ini (dan inspirasi dasar Brown dan Levinson)
ditemukan pada karya filsuf, Grice 91975: 1989). Grice mencoba untuk membongkar
logika atau dasar perilaku rasional dalam interaksi linguistik manusia dalam
percakapan. Prinsip fundamental yang terlibat disini disebut oleh Grice sebagai
prinsip kerjasama, yang mana berarti orang-orang bertaut dalam interaksi
linguistik tertentu akan mengatakan sesuatu layak pada setiap poin dalam
interaksi. Contohnya, jika saya turun ke jalan berteriak kepadamu, “Tolong!
Rumahku kebakaran” dan anda menjawab “OK, jangan panik. Saya akan memanggil
pemadam kebakaran,” ini merupakan jawaban yang cocok dan mentaati prinsip kerjasama,
dan ini akan membuat saya mencoba memahami sebab kurangnya kerjasama. Prinsip
kerjasama mencerminkan rencana rasional untuk menyelaraskan kontribusi selama
percakapan, rencana pertandingan budaya untuk structural coupling bersama
dalam lingual axis. Grice (1975:45) menjelaskan prinsip kerjasama sebagai
“membuat kontribusi percakapan anda dibutuhkan, dalam kondisi yang mana
terjadi, dengan tujuan dan arah yang diterima dalam saling berganti bicara yang
mana anda terlibat didalamnya. “Ini cukup samar dan membiarkan kemungkinan
adanya perlakuan penting dalam variasi antar budaya: contohnya, jenis informasi
dan seberapa banyak dibutuhkan, siapa atau apa yang menentukan arah dan tujuan
pembicaraan, dan lain sebagainya. Seperti yang seharusnya kita lihat,
kemungkinan variasi yang benar-benar diperlihatkan dalam berbagai macam budaya.
Untuk menyempurnakan ketidakjelasan pada Prinsip
Kerjasamanya, Grice (1975:45-6), lebih jauh mengajukan jenis maksim percakapan
yang menunjukkan interaksi komunikatif dalam percakapan. Disini terdapat 4
maksim:
Maksim kuantitas – jangan terlalu banyak atau
sedikit memberikan informasi pada tujuan interaksi yang sedang berlangsung.
Jika saya bertanya padamu bagaimana keadaan anakmu dan anda menjawab, “Baik,
dia kuliah sekarang dan keadaannya baik-baik saja,” informasi yang disediakan
adalah tentang hak dan mencerminkan kegunaan yang tepat dalam Maksim Kuantitas.
Jika, bagaimanapun, anda menjawab “Hidup,” ini merupakan pelanggaran yang jelas
dalam Maksim dengan memberikan informasi terlalu singkat, atau dia menjawab
“Baik, dia kuliah sekarang, punya pacar baru dan potongan baru, membeli
sepasang CD baru kemarin, kasur baru minggu kemarin, dan sedang berencana untuk
melakukan perjalanan ke Canberra minggu depan,” ini jelas juga merupakan
pelanggaran dalam Maxim dengan memberikan terlalu banyak informasi.
Maksim Kualitas – jangan mengatakan sesuatu yang
anda percaya akan salah atau akan kekurangan bukti yang cukup. Menceritakan
kebenaran merupakan perintah dalam Maksim ini, dan kebohongan merupakan
pelanggaran yang jelas. Maksim ini mencerminkan ketulusan pembicara dan
tanggungjawab untuk tidak menyesatkan yang lain.
Maksim Relevansi – jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada hubungannya
dengan topik selama diskusi. Maksim ini memastikan bahwa percakapan menjadi logis. Contoh jawaban
awal ketika saya menangis meminta bantuan karena rumah saya terbakar
mencerminkan operasinya dengan baik. Jawaban seperti “Oke, jangan panik, aku
akan memanggil Pemadam Kebakaran” adalah sesuai, tapi “Menurutmu apakah
rumputnya perlu dipotong?” merupakan pelanggaran yang jelas.
Maksim Perlakuan – jangan menjadi ambigu atau
tidak jelas, bertele-tele atau tidak logis. Maksim ini mengacu kepada bentuk
kontribusi dalam percakapan: harus ringkas dan jelas dalam mengungkapkan
pemikiran seseorang. Jika menulis ulasan dari pertunjukan Shakespeare berjudul Macbeth,
saya menulis “Ms X memberikan sedikit karakteristik inspiratif Lady
Macbeth” saya mematuhi Maksim Perlakuan. Jika di sisi lain saya menulis “Ms X
mengabarkan baris yang ditulis oleh Shakespeare dengan jelas pada karakter Macbeth,”
saya telah melanggar Maksim.
Pada interaksi percakapan yang tengah berlangsung,
pembicara melanggar atau melawan 4 maksim Grice secara berurutan. Mereka
melakukan ini untuk tujuan tertentu, si pendengar menganggap Prinsip
Kooperatif, berusaha mencari alasan mengapa pembicara melawan Maksim tertentu,
apa yang dia lakukan secara tidak langsung, dan tiba pada kesimpulan tentang
maksudnya, sebuah implicature. Jadi, contoh ulasan terdahulu yang sangat
panjang dan tidak jelas, pembaca diminta untuk menarik kesimpulan mengapa
Maksim Perilaku dilanggar, implicature nya adalah ulasan negative face
terhadap penampilan Ms X. Dalam hal perlawanan terhadap Maksim Relevansi dengan
menjawab “Menurutmu apakah rumputnya perlu dipotong?” ketika saya menangis
butuh pertolongan karena rumah saya terbakar, implicature yang paling
nyata adalah bahwa tetangga saya tidak mau membantu, juga karena tetangga saya
adalah orang egois atau saya telah menyakitkan hatinya di masa lalu, atau
mungkin karena dia sakit jiwa.
Perlawanan terhadap Maksim Grice merupakan cara
paling umum dan santun dalam menunjukkan FTA “off the record” (Brown dan
Levinson 1987:214). Isyarat merupakan salah satu contoh perlawanan terhadap
Maksim Relevansi. Jadi permintaan paling sopan untuk menutup jendela dengan
”Gee, apa kau merasa disini agak dingin dan berangin?” menyempurnakan tujuan
dengan menghasilkan implicature dengan melanggar Maksim Relevansi. Jika
jawabannya sederhana, “ya” tanpa tindakan redresif, pendengar tidak menyadari
bahwa Maksim tersebut telah dilawan dan menghasilkan implicature akan
gagal. Jika di lain sisi pendengar menyadari Maksim telah dilawan dan bertanya
kenapa, kemudian dia mungkin menyimpulkan bahwa pembicara menginginkan beberapa
tindakan untuk memperbaiki situasi ruangan yang dingin dan menutup jendela; implicature
nya telah berhasil dilakukan. Keterangan sebagai cara untuk menjadi sopan
merupakan perlawanan terhadap Maksim Kuantitas: terlalu sedikit informasi yang
telah disediakan, sehingga menghasilkan implicature kepada pendengar
sebagai alasan kenapa perlawanan tersebut telah terjadi. Contoh yang cocok
adalah pernyataan tamu pada tuan rumah,”Oh, rumah ini sepertinya butuh
pengerjaan kecil lagi, bukan begitu?”, Ketika faktanya, rumah itu dipenuhi
rayap yang sebentar lagi terancam roboh atau digusur oleh dewan setempat. Pada
akhirnya, perlawanan terhadap Maksim Perilaku juga efektif disebut sebagai FTA
“off record” yang sopan. Ketidakjelasan atau ambiguitas ekspresim, yang mana
keduanya merupakan pelanggaran Maksim secara langsung sudah umum khususnya
ketika melakukan FTA tertentu seperti meminta atau menuduh, contohnya
“Sepertinya seseorang sedikit terlalu banyak berpesta malam tadi,” kata untuk
pasangan yang merasa sakit yang berat di pagi hari setelah minum minuman keras
terlalu banyak. Ketidakjelasan ekspresi tersebut melawan Maksim Perilaku dan
menyebabkan kita bertanya kenapa. Implicature dihasilkan oleh kritik
perilaku pasangan malam tadi, tapi karena ini merupakan FTA tertentu yang keras
terhadap positive face seseorang, kritik ini tidak diucapkan dan diungkapkan
secara tidak langsung dengan melawan Maksim.
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki beragam kebudayaan dan budaya yang masih berkembang hingga saat ini. Adanya beragam suku, dan agama di masyarakat jawa dan di temukan sistem nilai-nilai budaya. Salah satu tradisi masyarakat Jawa yang hingga sekarang masih tetap eksis dilaksanakan dan masyarakat Jawa adalah ritual sesajen. Ritual sesajen ini merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di pulau Jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang.
Di era globalisasi masyarakat jawa masih menggunakan sesajen sebagai sarana untuk menghormat roh-roh nenek moyang yang telah meninggal dunia. Banyak orang yang masih menggunakan tradisi jaman dulu tentang sesajen yang digunakan untuk selametan atau memuja para roh-roh. Orang-orang menganggap bahwa memuja roh sudah menjadi tradisi para leluhur terutama di pulau jawa kejawen. Banyak terjadi di masyarakat jawa yang masih memuja roh-roh para dewa yang di anggap sebagai ritual agar mendapatkan keselamatan.
Dalam agama Buddha seseorang yang masih menggunakan sesajen dalam altar yaitu berupa buah-buahan dan makanan sebagai simbol penghormatan. Menghormat merupakan memberi atau menyatakan hormat. Dalam falsafah hidup Jawa berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur yang menurunkan adalah suatu ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup tentunya kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya.
Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga dapat kita nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup kita.
Sesajen yaitu makanan yang disajikan kepada arwah yang telah meninggal dengan tujuan ingin mendoakan dengan media. Tujuan dari sesajen yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada semua mahkluk atau kepada roh-roh.
Sarana yaitu segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan. Keagamaan orang jawa kejawen selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada berbagai macam roh yang tidak kelihatan. Orang melindungi diri dengan memberi sesajen yang terdiri dari nasi dan makanan lain, daun-daun bunga dan kemenyan. Bunga mempunyai makna filosofis agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur.
Masyarakat kota Malang sering melihat bunga-bunga yang berserakan di perempatan jalan. Tujuannya mungkin agar semua yang melewati perempatan tersebut aman-aman saja atau tidak terjadi kecelakaan. Ritual pemberian sajen memang memiliki nilai magis yang sangat tinggi. Kesalahan umat manusia sering terjebak pada hal-hal yang bersifat abstrak sebagai dunia yang pasti atau nyata demi membela keyakinan dunia ghaibnya. sesungguhnya orang yang menabur bunga di perempatan jalan sambil mengucapkan doa yang mensiratkan makna yang dalam dalam limpahan kasih sayang yang tidak pilih kasih. Adapun doanya misalnya sebagai berikut :
“Ya Tuhan berilah keselamatan dan berkah kepada siapapun yang melewati jalan ini, baik manusia, makhluk halus, maupun binatang apapun jenis dan namanya”.
Doa dan apa yang mereka lakukan merupakan manifestasi dari budi pekerti mereka yang sungguh adiluhung. Mengucapkan doa dengan ketulusan dan kasih sayang yang penuh limpahan berkah. Alam menyambutnya dengan limpahan berkah dan keselamatan lahir batin kepada seluruh makhluk yang melewati perempatan jalan itu. Itulah kodrat alam yang telah terbentuk dalam relung-relung hukum keadilan Tuhan.
Sebelum masuknya agama Hindu, Budha, dan Islam, masyarakat Jawa sudah mempunyai tradisi menghormati Tuhan, alam, dan roh – roh leluhur.
Ini berarti umurnya sudah tua sekali, tetapi orang-orang yang masih memegang budaya Jawa dengan erat tetap membuat sesajen pada saat-saat spesial. Sesajen dibuat untuk mengucap syukur atau sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan / leluhur. Karena kaitannya dengan hal-hal paranormal/ghaib, dan fungsinya untuk berdoa kepada leluhur, banyak yang mengatakan bahwa penggunaan sesajen adalah hal yang musrik atau menantang nilai-nilai agama. Namun sebenarnya fungsi sesajen itu adalah sebagai simbol permintaan kepada Yang Maha Kuasa. Saat dulu masyarakat masih buta aksara, doa diwujudkan dalam sesajen. Sehingga sesajen adalah pengejawantahan dan maksud dari doa yang dipanjatkan. Sunan Kalijaga acapkali menggunakan symbol-simbol dalam berdoa dalam apapun kegiatan dakwah beliau.
Kecamatan Ngantang di Kabupaten Malang sekitar 50km di sebelah Barat kota Malang adalah lokasi makam Karaeng Galesong dimana sering ditemukan sesajen pada hari-hari tertentu. Makam ini sangat kuno yaitu berasal dari abad ke 16. Itulah mengapa makam tersebut menjadi jujugan warga desa meletakkan sesajennya disana.
Dan sesajen ini pula yang saya temui beberapa kali di Makam Karaeng Galesong Ngantang, Kabupaten Malang.
Makna Simbolik Dibalik Sesajen
Ritual dalam Islam Jawa bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari pcnghayatan dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “yang sangat dekat”. Dengan simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat, “menyatu” dalam dirinya, Simbol ritual dipahami sebagai perwujudan maksud bahwa dirinya sebagai manusia merupakan tajalli, atau juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Simbol-simbol ritual tersebut di antaranya adalah ubarampe (piranti atau hardware dalam bentuk makanan), yang disajikan dalam ritual selamatan (wilujengan), ruwatan dan sebagainya. Hal itu merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui ritual sedekahan, kenduri, selamatan dan sejenisnya tersebut, sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak (Endraswara, 2003: 195). Hal itu terkadang juga dimaksudkan sebagai upaya negosiasi spiritual, sehingga segala hal ghaib yang diyakini berada diatas manusia tidak akan menyentuhnya secara negatif. Memang harus diakui bahwa sebagian dari simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultural mistik. Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkretisme tersebut juga terlihat dengan diantaranya pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan, yang oleh sebagian masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (mencapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan), atau katakanlah sebagai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.
Membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai “talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos” (sebagai tali pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa). Memerhatikan niat tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum muslim Jawa, atau memasukkannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang musyrik seperti yang dituduhkan oleh sebagian muslim yang merasa lebih puritan, atau sebutlah kearab-araban. Pada zaman Nabi Ibrahim AS. juga sudah ada kebiasaan membakar kemenyan. Untuk zaman Nabi Muhammad SAW., pembakaran kemenyan sering digantikan dengan mengenakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan sebagai “disukai oleh Allah”. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya sama, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah. Malahan, pada sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim dikemukakan, minyak wangi sejak zaman Rasulullah digunakan sebagai salah satu sarana penyembuhan.
Diriwayatkan oleh Anas r.a berkata :
“Sesunqquhnya Nabi SAW. pernah datang ke rumah Ummu Sulaim dan inqin beristirahat yakni tidur siang di rumahnya. Ummu Sulaim lalu meletakskan hamparan dari kulit sebagai alas tidur Nabi. Manakala di saat tidur itulah baginda mengeluarkan banyak keringat. Ummu Sulaim lalu mengumpulkati keringat tersebut kemudian mencampurnya dengan minyak wangi dan memasukkannya ke dalam botol-botol kecil. Kemudian Nabi SAW. bertanya kepada Ummu Sulaim: “Apa ini?” Ummu Sulaim menjawab: Keringat engkau Ya Rasul. Aku mencampurnya deenqan minyak wangiku.” (Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, no. 1363). Menurut berbagai tafsir hadits, Ummu Sulaim mengggunakan campuran minyak wangi dan keringat Rasulullah itu untuk mengobati anak-anak yang sakit.
Hadits tersebut memberikan makna penting, terutama tentang, dua hal: (1) bahwa penggunaan minyak wangi sebagai sarana ritual (yang dalam hadits itu adalah penyembuhan), sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad pada abad ke-7 M, dan Rasuulullah mengiyakan. (2) Ummu Sulaim bertabarruk dengan keringat Rasulullah. Hal ini memberikan gambaran tegas, bahwa tradisi tabarruk kepada orang-orang salih dan para wali sebagaimana sangat disukai oleh kalangan mistik dan sufi Islam Jawa, oleh Rasulullah tidak dilarang. Minyak wangi atau wewangian juga dianjurkan digunakan dalam ritual syariat, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
Diriwayatkan oleh Sayidatina Aisyah r.a berkataa:
“Aku memakai wangi-wangian pada tubuh Rasulullah SAW. Ketika baginda ingin memakai Ihram untuk berihram dan ketika bertahallul sebelum baginda Tawaf di Baitullah.”(Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, no. Hadits 678). Jika dilihat dalam takhrij hadits, maka kontekstualisasi penggunaan wewangian tersebut berlaku saat mandi, berpakaian, beribadah haji, tayammum, dan hampir semua ibadah dalam Islam.
Para penganut mistik dalam muslim Jawa meyakini bahwa berbagai aktivitas yang mempergunakan simbol-simbol ritual serta spiritual tersebut bukanlah suatu tindakan yang mengada-ada dan kurang rasional. Dalam bahasa akhir-akhir ini, bukanlah termasuk perkara bid’ah. Karena dibalik ritual tersebut, terkandung makna sebagai salah satu upaya menyingkirkan setan yang menggoda manusia. Berbagai ritual tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir berbagai keburukan, baik yang datang dari manusia maupun jin (Qs. Al-Nas/114).
Setan merupakan entitas yang terbuat dari nyala api (sehingga yang mengikuti perbuatannya bertempat di neraka. Neraka berasal dari bahasa Arab “naruka” yang berarti “apimu sendiri” atau api yang kamu sulut sendiri. Setan hidup dan ada karena perbuatan buruk manusia mengikuti nafsu jeleknya). Karenanya, sebagai salah satu upaya menolaknya adalah dengan “kukus” api itu sendiri. Perwujudan berbagai laku dan ritual sebagaimana sudah disebutkan di atas, tetaplah bersandar kepada kekuatan Tuhan, bukan pada benda simboliknya itu sendiri. Sebagian di antara bentuk simbol ritual dan simbol spiritual adalah apa yang disebut sebagai selamatan (slametan), atau wilujengan, yang menggunakan sarana tumpeng dengan berbagai jenis ubarampenya. Tumpeng itu sendiri bagi orang jawa merupakan ungkapan dari “metu dalam kang lempeng” atau hidup melalui jalan yang lurus (hanif), sebagai aplikasi dari ayat dan doa “ihdinash shirathal mustaqim” (Qs. Al¬Fatihah). Pada acara-acara selamatan khusus, tumpeng itu berwujud besar dan gurih, yang disebut sebagai “tumpeng rangsul/Rasul”, yang maknanya adalah mengikuti jalan lurus sesuai ajaran Rasulullah. Maka sebagian di antara ubarampenya adalah ayam yang dimasak dan disajikan secara utuh yang disebut “ingkung”. Ingkung biasanya mcndampingi tumpeng rasul, sebagai ciri khasnya. Maksudnya adalah, bahwa sebagian ciri khusus dari orang yang mcngikuti Rasulullah “inggalo njungkung” atau bersujud, juga bermakna “inggala manekung” (segera bermuhasabah dan dzikir kepada Allah).
Pada sebagian acara selamatan untuk wilujengan anak (karena sesajen yang ditemukan di makam Karaeng Galesong adalah ditujukan untuk selamatan pemberian nama) dan untuk pernikahan pengantin, kadang menggunakan nasi tumpeng yang disebut dengan “nasi uduk”. Nasi uduk sebenarnya adalah “nasi wudhu”, karena selama memasak nasi tersebut, mereka yang memasak selalu dalam keadaan berwudhu atau selalu dalam keadaan suci. Semua ubarampe wilujengan tersebut, sebelum dipersembahkan untuk orang banyak, diujubkan (sebenarnya diijabkan) terlebih dahulu. Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual kepada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama setempat. Dalam ujub tersebut, dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya selamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan. Kemudian setelah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai acara dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara sebagaimana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan. Karena kemudian ritual tersebut berasimilasi dengan tradisi Islam, maka dalam ritual selamatan muslim Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab maulid atau manaqib, dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut.
Karaeng Galesong di Ngantang Kabupaten Malang
Sebagai seorang panglima kerajaan dan putra Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesong memiliki karakter kuat. Keresahannya berawal dari semakin sengsara rakyat Sulawesi terutama setelah ditandatanganinya Perjanjian Bungaya. Perjanjian yang sangat merugikan dari pihak rakyat ini membuat Karaeng Galesong bergerak dan akan membela. Sistim tanam paksa, pajak yang tinggi, dan penyerahan paksa hasil-hasil pertanian kepada Belanda yang membuat hati Karaeng Galesong trenyuh. Setelah perjanjian Bungaya ditandatangani, maka ribuan masyarakat Sulawesi Selatan exodus ke seluruh penjuru dunia. Satu semboyan mereka adalah dari pada harga diri terinjak oleh penjajah, lebih baik pergi meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
“Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak”
Satu-satunya nasehat terbaik dari sang ayah Karaeng Galesong, Sultan Hasanuddin. Yang diberi gelar Ayam Jantan dari Timur. Dengan menggunakan 10.000 anak buah dan 800 kapal perang, bergeraklah Karaeng Galesong menuju Australia. Yang sebenarnya daerah ini adalah sebagai tujuan abal-abal Karaeng Galesong agar bisa menginjak tanah Jawa. Karena dalam perjanjian Bungaya pasal 9 disebutkan bahwa seluruh keluarga kerajaan dan para bangsawan dilarang meninggalkan tanah Sulawesi, atau bahkan menuju ke pulau Jawa. Nasehat itu pula yang pernah diucapkan oleh Syech Yusuf Al Makassari, paman Karaeng Galesong saat hendak meninggalkan tanah Sulawesi menuju Cape Town Afrika Selatan. Beliau juga merasakan harga diri yang terinjak-injak sehingga memberanikan diri meninggalkan Sulawesi menuju Afrika.
Perjuangan Karaeng Galesong di pulau Jawa membantu Raden Trunojoyo yang berasal dari Madura cukup dahsyat karena politik adu domba Belanda terhadap Mataram yang lama-lama menghilangkan kepercayaan Trunojoyo terhadap bangsa sendiri. Karaeng Galesong lah yang berkali-kali melindungi Raden Trunojoyo dari serangan-serangan Belanda. Yang lebih mengesankan lagi, Raden Trunojoyo justru sering lengah karena setiap memenangkan peperangan, telah membunuh ratusan serdadu, Raden Trunojoyo justru berfoya-foya minum tuak. Sehingga hanya Karaeng Galesong yang mampu melindungi mertuanya. Raden Trunojoyo adalah ayah dari Potre Koneng, istri Karaeng Galesong.
Yang sungguh tragis adalah cara kematian Karaeng Galesong yang menjadikan sejarah di Ngantang Kabupaten Malang menjadi heroik. Dengan bantuan seorang kapitan dari Ambon, Belanda menyuruh Kapitan Jonker untuk mengejar Karaeng Galesong sampai ke pedalaman pegunungan Malang yang sangat dingin. Dan mereka bertemu. Konon pengejaran kapitan Jonker ini juga dibantu oleh Aru Palakka dari Bone. Sehingga memang yang terjadi adalah Aru Palakka dikenal sebagai pengkhianat di Sulawesi Selatan. Namun bagi warga Bone, Aru Palakka adalah pahlawan. Saat benar-benar ditemukan, sangat menyedihkan, Karaeng Galesong dibunuh dalam keadaan dikubur berdiri. Mungkin ini adalah kematian paling kejam. Namun kisah bersejarah tersebut menjadi cerita hangat turun temurun warga Ngantang yang memanggil beliau dengan nama “Mbah Rojo”.
Sejarah heroik Karaeng Galesong ini menjadi perhatian warga terutama karena perjuangan beliau menjadi Panglima Laut, sehingga beberapa kali yang terjadi adalah datanganya warga dari dekat maupun jauh yang akan mencalonkan diri menjadi walikota atau bupati misalnya. Kemudian mereka yang ingin diterima di angkatan baik kepolisian, angkatan darat dll. Belum lagi makam istri Karaeng Galesong. Yaitu Potre Koneng, yang cukup wingit (angker). Beberapa macam sesajen Jawa pun ditemukan disana. Yang banyak ditemukan adalah sesajen dengan maksud akan mengadakan pernikahan, mencari jodoh dll. Makam Raden Trunojoyo pun tak kalah hebohnya. Ada beberapa makam yang diyakinkan itu adalah makam Raden Trunojoyo. Maklum lah karena Raden Trunojoyo teramat sakti. Namun memang kebanyakan orang-orang yang hidup di zaman itu banyak memiliki kelebihan. Hal ini karena mereka kuat berpuasa, kuat bertirakat atau kuat begadang sambil berdoa (melekan). Konon kabarnya, kelemahan Raden Trunojoyo sudah diketahui oleh pasukan Belanda karena ada yang membocorkan. Yaitu beliau tidak akan meninggal apabila dikuburkan dalam satu lubang. Sehingga yang terjadi adalah jazad beliau dipotong-potong oleh pasukan Belanda kemudian dimakamkan di beberapa tempat.
Banyak sekali hal-hal yang belum terungkap di makam-makam mereka. Sehingga makam-makam yang jauh dari pemukiman penduduk ini menjadi sangat penting dan bersejarah bagi warga Ngantang Malang.
Sesajen di Makam Karaeng Galesong
Karena makam yang sangat dikeramatkan dan usianya yang cukup tua, dari abad 16 maka makam ini menjadi tujuan ritual warga pada hari tanggal tertentu. Selain itu banyak orang datang berziarah ke makam ini untuk berdoa khusus. Ada pula yang berlama-lama di makam tersebut hingga tak jarang sampai menemukan sesuatu disana seperti batu akik dan senjata kuno. Dan sesajen adalah hal biasa yang selalu ditemukan disana.
Dalam sesajen tersebut ditemukan :
Dupa
Bubur merah putih
Irisan daun pandan
Bumbung berisi badeg (Air tape ketan hitam)
Kendi kecil berisi air
Serit dan kaca
Sirih dan pinang (diikat)
Takir
Pemberian sesajen ini tidak ada kaitannya dengan memberi makan jin, danyang, setan atau sebangsanya. Tetapi sesajen dalam arti yang sebenarnya adalah menyajikan hasil bumi yang telah diolah oleh manusia atas kemurahan Tuhan Penguasa Kehidupan. Sehingga apabila simbol diinterpretasikan artinya adalah :
Dupa yaitu artinya keharuman dan ketentraman, kemudian sebagai simbol sembah sujud dan penghantar doa kita pada Tuhan dan juga menunjukkan eksistensi udara yang bergerak
Bubur Merah Putih : Saat moment pemberian nama kepada anak, ‘bubur abangputih’ ini merupakan simbol dari harapan sebuah keluarga agar kelak si anak memiliki keseimbangan antara sifat berani (dalam kebenaran) dan kesucian (dalam kebenaran).
Irisan Daun Pandan : yaitu sebuah pengharapan orang tua kepada anak agar kelak sang anak memiliki kehidupan dan karir yang baik dan harum seperti daun pandan.
Bumbung Berisi Badeq yaitu simbol dari kenyamanan hidup, ketentraman hidup. Namun bisa juga diartikan adalah keinginan atau kesukaan danyang setempat.
Kendi Berisi Air berarti Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian berupa kendhi ditutup dengan daun dhadhap serep. Air tempuran adalah pertemuan dua arus sungai. Makna sajen ini adalah menggambarkan sudah pulangnya kembali arwah yang sudah meninggal di sisi Sang Illahi, seperti sebelum dilahirkan. Dengan demikian, diharapkan arwah tersebut dapat kembali menuju ke dunia kelanggengan, dunia yang kekal abadi. Dari sumber lain dikatakan bahwa air di dalam kendi melambangkan hati yang suci dan bersih (ikhlas). Lubang kendhi dihiasi carangan (batang bambu kecil), yang menurut keyakinan masyarakat sekitar lubang tersebut bermanfaat ketika anak sedang flu, lubang itu ditiup sehingga anak tersebut sembuh dari flunya.
Serit dan Kaca : Sisir, minyak wangi dan cermin melambangkan sebagai perlengkapan make up atau untuk “dandan’/menghiasi diri, agar rapi dan wangi, jika perempuan ibarat seperti bidadari, jika laki-laki ibarat sepeti satriya yang tampan. Diharapkan anak yang diberi nama tersebut akan menjadi cantik atau tampan.
Sirih dan Pinang (diikat) : Daun ini muka dan punggungnya berbeda rupa, tetapi kalau digigit sama rasanya. Hal ini bermakna satu hati, berbulat tekad tanpa harus mengorbankan perbedaan. Dan pinang diharapkan bila dewasa nanti mudah mendapatkan jodoh.
Takir yaitu mangku yang terbuat dari daun pisang atau jati kependekan dari tatag pikir artinya bahwa manusia dalam bertindak harus mantap dan tidak boleh ragu-ragu.
Dari berbagai sumber informasi sesajen ini diletakkan pada hari Kamis (menuju ke hari Jumat) dimana menurut kebiasaan warga mereka datang di makam ini pada hari Kamis Kliwon. Ada kalanya mereka datang pada hari Senin malam Selasa Pahing (tanggalan Jawa) atau hari Anggorokasih. Dan berdasarkan informasi penduduk, sesajen semacam ini memiliki tujuan selamatan pemberian nama pada bayi yang baru lahir.
Brown dan Levinson menyajikan model dengan konsep
aspek rupa ganda dan menghubungkan strategi kesopanan sebagai yang universal,
dan monografnya menyediakan fakta dan contoh-contoh yang tergambar dalam 3
bahasa, yaitu Inggris, Tzeltal, dan Tamil. Mereka menggunakannya untuk
mengembangkan tipologi budaya berdasarkan tipe dominan kesopanan dan
persebarannya antar kelompok sosial. Pada masyarakat egaliter dengan jarak
sosial, status, dan perbedaan kekuasaan antar orang-orang yang berinteraksi sedikit,
seperti Ilongot, strategi kesopanan positif lebih disukai, mengingat kesadaran
tingkatan status dalam masyarakat, seperti Bali, strategi kesopanan negative
face akan lebih banyak ditunjukkan. Jadi, di Bali kasta rendah petani padi yang
menyuplai pejabat-pejabat tinggi pemerintah akan menggunakan strategi kesopanan
negative face lebih luas, tapi dengan terus terang akan ditujukan tanpa
memperbaiki kesopanan. Brown dan Levinson menduga bahwa pada hierarki
(tingkatan) masyarakat, kelompok orang yang kekuasaan tinggi dalam statusnya
memakai budaya kesopanan negatid (mengakui kelompok tersebut mempunyai
kekuasaan, contohnya kebebasan bertindak sesuai kehendak, dan memperbaiki
pembebanan pada kebebasan mereka), ketika grup yang mendominasi memiliki budaya
kesopanan positif (mengakui kebutuhan untuk menyatakan solidaritas dan saling
menghormati harga diri positif pada pandangan pembatasan yang jelas dalam
kekuasaan, lihat Bab 16). Perbedaan ini menunjukkan dan memberitahukan
pandangan orang pada kelompok seperti otonomi, kebebasan, dan penuh kekuatan
atau bergantung, terikat, dan lemah berturut-turut. Sebuah korelasi diberikan,
tidak mengagetkan untuk ditemukan pada studi gender bahwa perkataan wanita
diucapkan melalui kesopanan yang lebih positif, dan laki-laki dengan kesopanan
negative face (lihat juga bab 15).
Dengan nada yang sama, studi komparatif kesopanan di Inggria dan Yunani,
Sifanou (1992) mencatat perbedaan antara dua budaya ini pada arti berdasarkan
dua aspek rupa. Bahasa Inggris terletak pada nilai yang lebih tinggi pada
privasi dan individualitas (negative face), ketika Yunani menekankan
keterlibatan group dan hubungan in-group (positive face). Batasan
wilayah personal antar orang Yunani melibatkan semua yang termasuk dalam in-group
yang sama, didefiniskan sebagai seseorang yang memperhatikan keselamatan
seseorang. Positive face diperluas untuk mencakup ini, sehingga ada keinginan
yang kuat dari kawan seseorang yang juga menyukai atau menyetujui. Jadi, wajah
positif dijelaskan lebih dari grup dalam gabungan in-group, bukanlah
individu yang terisolasi, seperti sebagian besar kasus di inggris. Anggota ingroup
akan memperoleh kesopanan positif atau tak ada kesopanan antar satu sama
lain dan membatasi kesopanan negative face pada orangluar. Ini merupakan tugas
dari setiap anggota ingroup untuk membantu yang lain, jadi anggota
mengerti tak perlu untuk berterimakasih atau meminta maaf (kesopanan negative
face) untuk layanan meminta atau menyumbangkan. Jadi, permintaan dan harapan
diungkapkan lebih terus terang, tanpa tindakan memperbaiki, daripada di Bahasa
Inggris. Dalam budaya Inggris lebih banyak bentuk perilaku tidak ramah dan
tidak langsung yang berdasarkan norma, dimana bantuan dilihat sebagai
ketergantungan pada kebijaksanaan individu. Terimakasih dan permintaan maaf
dibutuhkan untuk pembebanan minor yang bersifat relatif, bahkan dengan ingroup,
mencerminkan individualis etbos yang berhubungan dengan rupa
(ketinggian negative face).
Brown dan Levinson (1987), pada monof klasik sekarang, mengembangkan teori
yang lebih kaya pada kesopanan atau etika linguistik pada konsep rupa milik
Goffman. Kesopanan, tentunya, merupakan deretan keahlian sosial yang tujuannya
untuk meyakinkan setiap orang memperkuat interaksi sosial, yang terkait dengan
Teori face yang jelas (untuk pandangan lain pada kesopanan linguistik,
lihat Lakoff (1973, 1977) dan Leech (1983). Brown dan Levinson (1987)
mematahkan konsep Goffman pada rupa ke dalam dua aspek, positive face dan
negative face. Positive face adalah apa yang khusus kita pahami pada konsep
rupa dan apa yang digarisbawahi oleh Goffman: harga diri positif seseorang,
“konsistensi positif citra diri atau ‘kepribadian’ (dengan susah payah
menyertakan hasrat bahwa citra diri
dihargai dan diakui) ditegaskan oleh orang-orang yang berinteraksi (Brown dan
Levinson 1987:61). Negative face merupakan kebebasan setiap orang untuk bertindak,
“pernyataan dasar pada wilayah, pemeliharaan orang, hak untuk tidak terganggu
— i.e. untuk kebebasan tindakan dan kekebasan dari gangguan” (Brown dan
Levinson 1987: 61). Brown dan Levinson melihat 2 aspek rupa sebagai keinginan
dasar setiap individu dalam interaksi sosial –untuk dinyatakan pada harga diri
positif melalui setidaknya beberapa yang lain dan tindakannya tidak dihalangi.
Interaksi sosial dipandang sebagai aktivitas koperatif (see Grice 1975), yang
mana orang yang berinteraksi bekerja untuk mempertahankan rupa satu sama lain.
Bagaimanapun, tak dapat dielakkan lagi bahwa rangkaian interaksi sosial manusia
dalam tindakan tertentu perlu dilakukan untuk mengancam face orang lain.
Beberapa tindakan verbal seperti janji atau permintaan mengancam negative face
seseorang dengan mencampuri kebebasan dalam bertindak seseorang: sebuah
permintaan pasti menghalangi ini. Yang lain, seperti permintaan maaf atau
ketidaksetujuan mengancam positive face; tidak setuju dengan pandangan
seseorang yang menyarankan ada yang salah dengan pandangan tersebut dan
berpotensi tantangan yang jelas pada harga diri atau positive face pada diri
mereka. Tindak tutur seperti meminta atau memperingatkan, yang mana mengancam
wajah perasaan orang, baik positif atau negative face, disebut sebagai face
threatening acts atau disingkat FTA.
Kesopanan Linguistik pada dasarnya memperbaiki penghinaan terhadap rupa
sikap FTA pada yang dituju. Jika dihubungkan dengan 2 aspek wajah, kita
menemukan baik kesopanan positif maupun negative face. Kesopanan positif,
seperti yang diharapkan, mencoba untuk memperbaiki penghinaan pada positive
face pendengarnya. Speaker (S) menunjukkan pengakuannya kepada hearer (H)
yang berharap untuk dimuliakan dengan wajah positif, secara khusus S menyatakan
bahwa ia menginginkan setidaknya apa yang H inginkan. Strategi kesopanan
positif menyertakan pernyataan persahabatan, solidaritas, dan pujian. Contoh
ungkapan yang memakai strategi kesopanan positif meliputi(untuk penjelasan
lebih lengkap, lihat Brown dan Levinson (1987:101-29):
1.Perhatian kepada minat, kebutuhan dan keinginan H
Kau kelihatan
sedih. Apa yang bisa ku lakukan?
2. Menggunakan identitas penanda kesetiakawanan
Heh, kawan,
bisa pinjami aku uang?
3. Menjadi optimistis
Aku hanya ikut,
jika kau tak keberatan.
4. Menyertakan kedua aktivitas S dan H
Jika kita saling membantu, ku kira, kita
berdua akan tenggelam atau menyelami perjalanan ini.
5 Penawaran atau janji
Jika kamu mencuci
piring, aku akan menyedot kotoran di lantai.
6 Melebihkan perhatian pada H dan minatnya
Potongan rambutmu
keren, kamu potong dimana?
7 Menghindari ketidaksetujuan
Ya, agak lama,
tentunya tidak sebentar.
8 Candaan
Wow, itu sesuatu
yang sangat besar!
Perhatikan bahwa strategi ini adalah untuk membuat H merasa
dirinya baik pada minatnya atau miliknya. Positive face terhadap negative face
H, hasrat otonominya. Secara khusus, strategi kesopanan negative face
menekankan pada menghindari pembebanan jadi S mengatur supaya dia minimal tidak
mengganggu H. Mereka menyertakan permintaan maaf atau gaya tidak ramah lainnya.
Contoh ungkapan yang memakai strategi kesopanan negative face meliputi:
1 Dengan tidak langsung
Apakah anda tahu
Jalan Oxford?
2 Menggunakan pembatas atau pertanyaan
Mungkin, ia sudah
mengambilnya, mungkin saja.
Bisa minta tolong
ambilkan nasinya?
3 Menjadi pesimistis
Anda tidak bisa
meminjami saya uang seribu dolar, bukan begitu?
4 Mengurangi pembebanan
Tidak sampai
melebihi jarak ke arahmu, cuma jarak beberapa blok.
5 Menggunakan struktur yang jelas, seperti nominalisasi,
pasif atau pernyataan peraturan umum
Saya harap
pelanggaran tidak dilakukan.
Pengunjung mengisi
buku besar.
Meludah tidak akan
ditoleransi.
6 Meminta maaf
Saya minta maaf, banyak yang saya minta, tapi
bisakah anda meminjami saya seribu dolar?
7 Menggunakan kata ganti plural
Kita menyesal telah memberitahumu
Semua strategi ini memiliki efek mencoba untuk memperhalus
atau meminimalisir pembebanan kepada H.
Buah pare memiliki banyak khasiat meskipun rasanya cukup pahit. Banyak orang masih sulit mengkonsumsi buah pare sehingga ingin mengolah pare menjadi sedikit berkurang rasa pahitnya dan menjadi lebih lezat.
Namun siapa sangka bukan hanya buahnya yang bisa dikonsumsi . Ternyata daun pare pun memiliki khasiat yang tidak sedikit seperti buah pare. Manfaat daun pare adalah bisa menurunkan tekanan darah tinggi atau tensi dan bisa mengencangkan payudara.
Untuk menurunkan tekanan darah tinggi ada dua cara. Cara pertama adalah dengan meremas-remas daun pare dan diberi air masak kemudian disaring dan diminum. Atau bisa juga dengan cara direndam dengan air masak (bukan panas) lalu masukkan dalam botol minuman. Minum larutan ini setelah emrendam daun pare selama 5 jam. Herbal daun pare ini bisa dikonsumsi seminggu 3x. Waktu yang paling baik untuk mengkonsumsi herbal ini adalah pagi hari bersamaan dengan sarapan atau sebelum sarapan pagi.
Untuk mengencangkan payudara bisa dengan cara meremas-remas daun pare hingga mengeluarkan air. Lalu oleskan beserta ampas daunnya ke payudara. Diamkan selama 15 menit lalu basuh. Ini bisa dilakukan 2x seminggu.
Bagaimana cara
mempelajari dan menjadikan ideologi kepribadian lokal? Bagaimana bisa terwujud
dalam tindakan naluriah mereka? Secara garis besar, seperti yang diterangkan
Gergen (1990:585) melalui kegunaan bahasa (lihat kutipan pada halaman 262).
Selama kita bertentangan dengan hubungan antara 2 orang, dengan demikian
membentuk structural coupling, tindakan verbal kita menjadi selaras
dengan tindakan komunikatif yang berkelanjutan dengan structural coupling. Ini
melalui koordinasi structural coupling yang telah ditempa, dan ini
merupakan sejarah hidup yang terkumpul yang mana menentukan orang. Maturana dan
Varela (1987) menggarisbawahi peran pokok yang
berperan pada structural coupling sosial dengan mengistilahkan sebagai
”lingual axis”, bagian dari trophal axis bahasa, istilah biologis pada
korelasi struktural yang terjadi antar organisme melalui pertukaran makanan dan
sekresi kimia, seperti ketika oraganisasi sarang lebah ditentukan oleh
keseimbangan sekresi hormonal tertentu. Gagasan tindakan linguistik seperti
lingual axis didiukung oleh Aiello dan Dunbar (1993) yang menegaskan evolusi
bahasa utamanya sebagai jenis dari perekat dalam sosial, menambah dalam
merapikan kumpulan manusia meningkatkan ukurannya: perilaku tubuh yang
komunikatif dalam social coupling (trophallaxis: grooming) yang
ditambahkan oleh perilaku linguistik (lingual axis), yang mana menggantikan
secara bertahap pembentuknya selama rangkaian evolusi manusia. Untuk sarang
lebah, perubahan dalam keseimbangan hormon dan anda merubah organisasi pada
sarang; untuk pengelompokan sosial manusia, dan perubahan pola perilaku verbal
(lingual axis) yang sama-sama bisa menghasilkan efek dramatis pada kedudukan
sosial, hanya untuk memeprtimbangkan perkara pertemuan sapaan Wolof. lebih
jauh, Scweder dan Bourne (1984) memberitahukan bahwa ideologi lokal kepribadian
telah disepakati oleh apa yang diketahui orang ketika berbicara, pada jalan
yang sangat Whorfi, pembicara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan orang
dan perilaku yang diturunkan keduanya dan bersifat membangun pemahaman lokal
kepribadian.
Goffman (1967, 1971) mengamati secara kasar pada bagaimana koordinasi
perilaku linguistik pada hubungan 2 orang berperan pada pemahaman budaya kita
pada kepribadian tertentu. Ia memberitahukan bahwa tujuan orang yang
berinteraksi pada pertemuan sosial untuk melindungi harga diri rapuh yang
mereka miliki, paling sedikit, untuk meminimalisir bahaya ini, yang terbaik,
untuk meningkatkannya. Harga diri ini diistilahkan oleh Goffman (1967),
menjelaskan sebagai “citra diri publik dimana setiap anggotanya ingin
menegaskan dirinya” (Brown dan Levinson 1987:61). Rupa sangat berperan secara
linguistik antara orang-orang yang berinteraksi (meskipun cara lain mungkin
bisa dilakukan, lihat Goffman (1956) untuk penjelasan klasik yang lebih rinci).
Melalui kata yang kita dan yang lain pilih dan gunakan, rupa kita dan orang
yang berinteraksi lainnya pada interaksi sosial mempersoalkan modifikasi dan
merusak yang mungkin. Rupa secara linguistik dibangun, dan kemampuan untuk menggunakan
keahlian verbal dengan fasilitas adalah bagaimana kita bisa memanipulasi
pertemuan sosial untuk memaksimalkan rupa yang kita dapatkan dan meminimalisir
kehilangan kita, dan lagi, pertemuan sapaan Wolof merupakan paradigma eksemplar
pada fakta ini.
Dari sekian arca Dwarapala yang pernah saya temui, baik di kompleks percandian maupun di gerbang gedung atau kota, mungkin Dwarapala di Singosari Malang inilah yang paling unik. Bukan karena saya yang tinggal dekat Dwarapala kemudian ingin mengekspos patung ini. Tapi memang patung Dwarapala di Singosari ini sangat bisa disebut dengan patung keren.
Dwarapala adalah sesosok patung yang memiliki tugas menjaga sebuah bangunan. Meski dia berbentuk patung, Dwarapala membawa misi seperti security. Yaitu misi menjaga gedung atau bangunan. Gedung yang dimaksud disini contohnya adalah bangunan suci seperti candi atau gedung-gedung yang lebih kekinian seperti misalnya musium, gedung bersejarah, dan juga gedung modern lainnya. Dwarapala juga ditemukan di pintu masuk sebuah kota atau kabupaten, keraton, makam, dan jembatan besar.
Sosok dwarapala di singosari cukup unik karena desain ukirannya adalah dimulai dengan tangan yang menunjukkan dua jari seperti simbol Peace. Simbol ini sangat cocok sebetulnya dengan ciri khas anak-anak muda Arema yang selalu mengacungkan dua jari. Sehingga simbol dua jari ini adalah salah satu inspirasi juga untuk para arema dan aremanita yang mencintai damai dan kedamaian, tidak mengunggulkan tawuran dan sejenisnya. Simbol dua jari atau sebutlah dengan simbol peace ini sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan kedamaian dalam memberikan makna sebuah patung dwarapala. Simbol dua jari ini ternyata adalah sebuah ajakan untuk taat beragama. Ini adalah termasuk dalam salah satu ajaran Buddha karena patung ini dibangun di masa Hindu-Buddha.
Seperti bangunan candi, arca atau patung dwarapala dibangun dengan bahan batu andesit. Batu andesi memiliki ciri khas tidak mudah ditumbuhi oleh lumut. Ternyata para seniman pahat ini memikirkan membangun sebuah patung ini sampai segitunya ya. Dan memang ternyata kita masih bisa menikmatinya hingga detik ini. Patung dwarapala singosari ini masih berdiri tegak dan tersenyum pula. Untungnya ini patung dibangun dengan bahan batu andesit, coba kalau dibangun dengan bahan roti tawar, lak wes mbok krokoti. Kwkwk.. canda.
Satu tangan yang lain dari dwarapala ini memegang gada terbalik. Gada ini juga unik karena cukup gemoy, gemoy seperti tubuh dwarapala yang lumayan gede, chubby dan gemoy pulak. Mata dwarapala yang melotot tapi senyumnya menawan seperti senyum Michael Jackson. (jauh amat Michael Jackson). Senyum dwarapala ini sangat khas karena tersungging dengan gigi taring yang panjang. Jangan-jangan senyum-senyum membawa modus, ingin menerkam siapa-siapa yang mengganggu.
Maklumlah, patung dwarapala memang memiliki misi security yaitu menjaga bangunan suci. Bangunan yang sudah dipastikan untuk tempat peribadatan, dan tempat penghormatan kepada Raja atau tokoh yang sudah meninggal.
Disamping menunjukkan dua jari dan memegang gada, dwarapala singosari juga berkalung selempang ular, beranting-anting dan berkalung tengkorak. Ada semacam ikat kepala yang unik di kepala dwarapala yaitu berhias tengkorak. Sebagian penutup kepala tersebut lebih banyak menutupi kepala bagian belakangnya. Saya melihat itu seperti penutup kepala baju zirah. Namun ada terpikir bahwa itu adalah rambut dwarapala yang berbentuk keriting. Hampir mirip seperti abis dikribo oleh salon pas.
Bagaimanapun bentuknya, keunikannya, dwarapala ini adalah yang terbaik diantara yang pernah kutemui. Keren mujinya.
Sakit pada saluran kencing bisa berupa perih di lubang kencing. Salah satu penyebabnya adalah kurang minum. Namun bisa jadi karena adanya infeksi pada salurannya yang disebabkan oleh bakteri.
Untuk infeksi saluran kencing bisa dipergunakan dalam hal ini adalah daun Tempuyung. daun ini seperti gulma karena sering ditemukan tumbuh bersama-sama dengan rumput. Namun banyak masyarakat terutama di kota Malang mengkonsumsinya sebagai sayuran lalapan.
Untuk anak-anak bisa diolah dengan cara diseduh dengan air panas lalu diminum saat hangat. Untuk herbal sangat baik apabila diminum saat pagi. Anak-anak biasanya tidak suka mengkonsumsi dalam bentuk pedas seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Karena daun ini memang seringkali diolah sebagai masakan urap-urap atau gudangan, atau bisa juga diolah dalam bentuk sayur pecel atau sayur bobor.
Untuk itu agar supaya anak-anak mau mengkonsumsinya maka tambahkan 1 sm madu. Masukkan madu saat air rendaman daun tempuyung ini sudah hangat. Minum air daun tempuyung selama 1 minggu, sehari 1x.
Diatas telah
diuraikan secara singat batasan konsep orang, sekarang saya berpindah ke
beberapa perbedaan antar budaya dalam pengucapannya, Ideologi lokal kepribadian. Saya mulai dengan yang familiar bagi sebagian
besar pembaca– Konsep orang Eropa Barat. Ideologi tempat mungkin akan
diringkas dalam satu kata, individualisme, yang mungkin sangat ditekankan dalam
Budaya Amerika. Alasan ideologi ini adalah otonomi egosentris personal, yang
diringkas oleh Geertz (1983:59) dalam penjelasan klasik berikut:
Konsep Barat tentang orang seperti terikat , unik,
lebih atau kurang mempersatukan seluruh teori motivasional, pusat kesadaran
dinamis, emosi, pertimbangan dan tindakan yang disusun ke dalam seluruh dan
sekumpulan perbedaan khusus terhadap keseluruhan yang lain pada latar belakang
sosial dan alam..Pada ideologi egosentris individualis orang, individu
memperbudak masyarakat, pada fashion yang berhubungan dengan pemikiran filsuf
seperti Hobbes dan Locke, masyarakat membayangkan terciptanya “kontrak sosial”
untuk menjaga kepentingan mengidealkan otonomi individu, independen atau
masyarakat, sebelum hidup didalamnya. Para individu ini lebih penting dari
setiap kelompok pemilihnya. Indikasi dari semua ini adalah pentingnya budaya
Barat yang bertempat pada orang dan sifat orang, ini menegaskan adanya
pemusatan individu dengan keinginan dan kebutuhannya.
Apakah sifat dari individu sebenarnya? Kebebasan
dari paksaan dan sifat otonomi dalam tindakan telah memasuki kriteria ideologi
orang sebagai individu. Perhatikan bahwa yang ditangkap dari gerakan feminis
yaitu, “orang dengan haknya sendiri” secara tidak langsung menghubungkan
kepribadian dengan hak individu atas tindakan dan kebebasan dari paksaan. Setiap
orang dipandang memiliki hak yang tidak bisa direnggut pada otonomi yang
diklaim oleh individu. Setiap individu adalah unik, tapi semua, setidaknya
secara ideologi, memiliki hak yang sama, sistem etika umum yang berpengaruh
terhadap semua hubungan sosial, tak diragukan lagi merupakan hasil moralitas
para universalis budaya Barat berdasarkan agama Kristen, supaya, menurut ajaran
agama Kristen, komponen spiritual yang diberikan ke seluruh orang dalam jumlah
yang tak terhitung yang mana harus diakui sebelum secara kemanusiaan atau
secara sosial menciptakan sebuah nilai. Ini membawa kita pada pandangan orang
sebagai individu, perwujudan absolut sebuah nilai dalam haknya sendiri, dan
bukan benar-benar pada kedudukannya dalam setiap pola sosial. Ketidaksamaan
yang sebenarnya diantara manusia secara ideologi diterjemahkan sebagai hasil
persaingan bebas untuk mendapat penghargaan status antar individu yang menurut
teori adalah sama, terlindungi melalui sekumpulan peraturan dan hukum dalam
“kontrak sosial”. Tetapi gagasan pada perbedaan status yang tidak sama dan
peluang individu yang sama dapat dengan mudah dibedakan. Ini merupakan prinsip
yang terdapat dalam sistem yang telah berlaku pada birokrasi organisasi,
sebagaimana pengertian oleh Max Weber (1968[1922]). Karakteristik birokrasi
yang telah dijelaskan Adalah perbedaan antara pegawai dan pemimpin pegawai atau
peran sosial yang tidak sama dan sama dengan individu. Pembagian tugas pegawai
pada orang tertentu telah ditentukan, setidaknya secara ideologi, oleh kemampuan
individu, tidak berdasarkan pada koneksi sosial. Jadi, ketidaksamaan dan
hierarki merupakan ciri-ciri masyarakat; setiap orang adalah bebas dan sama
dengan individu.
Konsep egosentris individualis orang pada budaya Barat dianggap kontras
dengan berbagai tradisi budaya. Budaya sebelumnya bersifat sosiosentris,
konteks tergantung pada konsepsi kepribadian (Scweder dan Bourne 1984). Pada
budaya ini budaya individu dan otonominya tidak diperlakukan sebagai pemahaman lokal orang, agaknya menempel pada
konteks sosial merupakan hal yang menyangkut definisinya sebagai orang. Jadi,
kepribadian dalam istilah sosiosentris merupakan atas dasar kedudukan sosial
khusus yang ditempati manusi. Konsep sosiosentris kepribadian memandang
kebaikan social grouping secara fundamental dan membawahi keinginan dan
kebutuhan individu pada kebaikan bersama. (Perhatikan disini bahwa poinnya
adalah tidak untuk berpendapat bahwa budaya sosiosentris secara eksplisit telah
menuturkan ideologi kepribadian sejajar dengan ideologi Individualisme Barat
(meski apakah semua masyarakat Barat secara eksplisit peduli terhadap koherensi
ideologi yang menciptakan prinsip individualisme yang tercatat untuk
diperdebatkan secara serius); agaknya, pernyataannya bahwa pemahaman
kepribadian, apakah itu diam-diam atau tidak, dijadikan, dibangun ke dalam
berbahasa dan perilaku budaya dan dengan demikiran, ditanamkan dalam tindakan
naluriahnya. Tentunya dengan kepercayaan yang dilepaskan melalui kontak budaya,
yang mungkin akan dituturkan, seperti halnya yang dikatakan pelajar Bali
setelah 2 tahun hidup di Australia, menuturkan pemahaman aslinya, “Kita (orang
Bali) punya budaya berkumpul.”) Konsepsi lokal orang secara luas telah ada,
contohnya oleh budaya yang sebaliknya sangat berbeda seperti di Bali dan tanah
Gahuku di New Guinea.