Love Soto Nusantara

Seperti layaknya Asam Laksa dari Malaysia dan Bak Ku Teh dari Singapura, Soto layak mendapatkan predikat hidangan khas Indonesia diantara ratusan kuliner Indonesia lainnya. Hidangan ini memang patut mendapatkan acungan jempol oleh setiap yang menyantapnya. Dari sejumlah rempah-rempah yang dipergunakan dalam kuliner yang satu ini, kita bisa pahami akan kekayaan budaya, herba dan sistim olah yang sangat memanjakan lidah. Seperti yang disampaikan oleh Murdijati Gardjito, Guru Besar UGM menyebutkan ada 75 variasi  Soto yang tersebar di negeri kaya rempah ini.

Termyata cukup banyak juga varian kuliner segar yang satu ini, ada 75 judul resep yang bisa kita cicipi sambil sarungan dengan membaca Koran, dan si ibu belanja rempah-rempah Soto memakai daster. Dengan begini semua bahan dan bumbu Soto kemudian tersedia di dapur dan siap untuk disantap dengan nyaman oleh segenap keluarga. Dan sepertinya tidak ada yang tidak suka dengan kuliner berkuah yang satu ini. Mungkin tidak bisa dibahas semua dalam artikel karena akan menjadi Ensiklopedi Otos seperti Arema bilang. Namun hidangan berkuah ini memang cocok untuk semua umur, gender, dan di segala macam event. Salah satu contoh kali ini saya sebutkan Soto paling legendaris di dunia perkulineran NKRI ini yaitu Soto Lamongan. Mudah-mudahan teman-teman dari kota selain Lamongan tidak mengernyitkan alis karena kotanya belum saya sebut.

Namun kuliner Soto Lamongan ini cukup digemari oleh semua kalangan. Soto khas Jawatimuran yang cukup kaya dengan rempah ini bisa dibilang paling lengkap rempah-rempahnya diantara soto-soto yang lain. Dan juga dibarengi dengan topping yang beraneka ragam membuat Soto Lamongan menjadi semakin digemari. Hampir semua bumbu ada di dalamnya, kecuali rimpang kunci. Bisa disebutkan yaitu : bawang merah, putih, jahe, kunyit, kemiri, ketumbar, merica, daun jeruk purut, daun salam, batang sereh dan rimpang laos. Toppingnya pun sangat menggoyang lidah yaitu bawang putih goreng, bawang merah goreng dan kerupuk udang yang ditumbuk halus menjadi Koya. Koya inilah yang menjadi kunci kelezatan dari kuliner Soto Lamongan. Dan tentu saja ditambah dengan topping beragam yaitu rajangan daun bawang, batang seledri, sohun, tauge, rajangan kol, telur rebus, perasan jeruk nipis dan kentang. Penggunaan kentang ini yang memang bervariasi di Jawa Timur.

Seperti misalnya Soto Madura. Dengan menggunakan bumbu yang nyaris sama dengan Soto Lamongan, maka kuliner yang satu ini tidak kalah lagi dengan saudara kembarnya. Penggunaan kentang di dalam Soto Madura, Soto Bondowoso dan Soto Malang hampir mirip dengan Soto Banjar yang juga menggunakan kentang sebagai topping. Soto Madura menggunakan kentang rebus yang dipotong-potong sedang Perkedal Kentang dipergunakan sebagai topping kuliner Soto Banjar. Di Malang, dengan bumbu yang nyaris sama, keripik kentang dipergunakan sebagai topping lezat. Soto ini sangat dikenal sebagai hidangan khas acara pengantin dengan metode unik Piring Terbang. Dan seperti juga saudara kembar lainnya, Soto Surabaya juga memiliki kekhasan tersendiri sebagai kuliner yang sangat dibanggakan oleh arek Suroboyo. Soto Ambengan adalah salah satunya. Kuah Soto Ambengan agak bening karena beberapa rempah cukup dengan digeprek. Namun bahan utama yang dipergunakan adalah ayam kampung yang sudah cukup tua sehingga kuah Soto ini sangat legit dan memiliki penggemar tersendiri. Disamping juga dipergunakan Koya di Soto Suroboyoan tersebut.

Di Kalimantan sebagian besar penduduknya menggemari Soto Banjar yang memiliki kekhasan kuliner Banjarmasin dengan bumbu tambahannya adalah kayu manis, pala dan cengkeh. Rempah tambahan ini yang membuat Soto Banjar lebih lekoh seperti Gulai Kambing. Sebagian penduduk Kalimantan menyukai Soto Banjar yang khas rempah-rempahnya. Seperti misalnya di Balikpapan. Pada beberapa kegiatan sosial seperti selamatan pemberangkatan haji, acara pernikahan, dan aqiqah dipergunakan dua macam Soto dalam sekali waktu yaitu Soto Banjar dan Coto Makassar. Kita tahu bahwa sebagian penduduk Balikpapan adalah pendatang dari Makassar, sehingga banyak sekali kuliner di Balikpapan berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Seperti misalnya Pecel Madiun, Sup Ayam Pak Min Klaten, Soto Lamongan, Gudeg Jogja, Coto Makassar, Sate Madura, Warung Padang, dll. Jarang kita temui masakan asli Balikpapan. Ini karena kota ini baru saja didirikan seiring dengan pengeboran minyak di lepas pantai Balikpapan. Hingga kemudian tidaklah aneh bila kita temui dalam satu kali waktu terdapat dua hidangan cantik yaitu Soto Banjar dan Coto Makassar. Ini yang membuat tamu-tamu jadi bingung mau pilih yang mana, karena semua enyak.

Karena menyebut Coto Makassar, maka inilah cerita yang patut disimak. Hidangan berlatar belakang sejarah yang cukup kuat ini berasal dari pulau Sulawesi tepatnya dari Sulawesi selatan. Kita bisa menemui Coto Makassar hingga ujung paling utara Sulsel yang berbatasan dengan Sulteng. Konon khabarnya, Coto Makassar dahulu adalah hidangan para raja. Suktan Hasanuddin yang berkuasa di Gowa sangat menyukai Coto Makassar.  Juga raja-raja Bugis Makassar yang lain termasuk Aru Palakka, Raja Bone dan La Madukelleng, Raja Wajo. Dan memang seluruh raja di pulau Celebes menjadikan kuliner ini sebagai hidangan sehari-hari. Bagi kita yang sudah banyak menjauhi jerohan sapi seperti hati, paru, ginjal, limpa dan usus, namun tidak dengan kuliner Soto yang satu ini. Dengan mempergunakan rempah Soto Nusantara, kecuali kunyit, Coto Makassar menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan karena mengandung nilai sejarah cukup tinggi. Resep Coto Makassar seperti Soto lainnya, mempergunakan bumbu Soto Nusantara standar. Dan bahan utama Coto adalah jerohan. Uniknya, dipergunakan air cucian beras yang terakhir dalam kuah Coto. Hal ini dimaksudkan agar kuah Soto menjadi kental. Kalau rajanya makan Soto jerohan, pertanyaannya rakyatnya makan dagingnya kah? Pertanyaan yang harus ditelusuri jawabannya. Namun belakangan bila kita ingin menyantap Coto Makassar di warung-warung Coto, biasanya kita ditanya mau daging atau jerohan. Coto Makassar disantap dengan sejenis lontong yang disebut dengan Buras. Buras lebih kecil dari Lontong dan tidak dihidangkan dalam bentuk irisan layaknya Lontong atau Punten melainkan langsung digigit seperti Nogosari. Dan orang Makassar sangat menyukai masakan yang asam-asam sehingga banyak terdapat irisan jeruk nipis di meja hidang. Bila persediaan jeruk di Sulsel menipis ini menjadikan kiamat kecil bagi orang Makassar, maka dipergunakanlah cuka masak sebagai pendamping. Atau mendatangkan jeruk nipis dari luar pulau. Hal ini sering dilakukan oleh para pedagang jeruk nipis karena permintaan cukup tinggi.

Dengan mempergunakan topping kacang goreng atau kedelai goreng, kita bisa temukan kuliner Soto Nusantara di Bandung yaitu Soto Bandung dan Soto Pacitan yaitu Saoto. Soto Bandung berwarna bening karena tidak mempergunakan kunyit dan kemiri. Yang membuat Soto Bandung sangat segar adalah adanya bahan irisan lobak. Topping yang dipergunakan adalah irisan daun seledri, kedelai goreng, bawang merah goreng, jeruk nipis dan telur rebus. Untuk bahan pedasnya yaitu potongan cabe rawit hijau yang direndam dengan cuka. Meskipun bertekstur bening, Soto ini cukup digemari di Jawa Barat termasuk juga sangat digemari oleh suami saya. Eh..

Di Pacitan, Sotonya berbasis Jawatimuran. Artinya bahan-bahan, rempah=rempah dan topping yang dipergunakan adalah khas Jawatimuran. Topping kacang tanah dipergunakan pada Soto ini, sehingga rasa gurih muncul saat kita mengunyah kacang dan menyeruput kuah soto bebarengan. Mudah-mudahan nggak batuk-batuk.

Di sebuah desa di Saradan Madiun, terdapat kuliner Soto yang cukup sederhana. Masih mempergunakan bumbu Jawatimuran namun siapa sangka, Soto ini tidak mempergunakan daging ayam atau daging sapi. Melainkan tahu. Tahu ini digoreng setengah matang dan menjadi bahan utama dalam Soto Klangon, sebuah desa yang terletak di puncak gunung Pandan diantara pepohonan Jati milik Perhutani. Desa yang cukup pelosok dan lumayan terpencil ini, tinggalah disana sekelompok masyarakat yang cukup sederhana yang hidup dari menanam palawija di tengah-tengah jati, mengkonsumsi ulat jati dan daun krokot. Namun bukan berarti Soto Klangon ini berkurang rasa legitnya. Rasa Soto khas Jawatimuran masih bisa ditemukan dalam Soto ini karena bumbu yang dieprgunakan cukup lengkap dan mempergunakan topping kacang tanah goreng, kerupuk dan perasan jeruk nipis.

Seperti halnya Soto Jawatimuran, Soto Jawa Tengah juga sangat lezat. Seperti misalnya Soto Solo yang dikenal dengan nama Soto Rempah. Sesuai dengan namanya, Soto Solo ini mempergunakan rempah lengkap meski tidak sekental Soto Lamongan atau Coto Makassar. Soto Rempah Solo ini lumayan bening. Tapi penjualnya bisa saja berkelakar, kalau mau agak kental dan berempah datang saja subuh. Masih kimleq-kimleq (kental dengan lemak) ungkapnya. Solo terlenal dengan warung hiq nya (hik) yaitu sejenis warung lesehan yang buka pada  malam hari. Sajian yang dihidangkan di warung hik kebanyakan adalah gorengan dan nasi kucing. Gorengannya banyak ditemukan dalam bentuk tusukan atau sundukan. Nah sundukan-sundukan inilah yang selalu tersedia di meja-meja hidang Soto Rempah Solo. Tadinya Soto Rempah hanya disajikan dengan topping irisan daun seledri dan bawang merah goreng, namun karena setiap orang selalu menyantap Soto Rempah Solo dengan pendamping sundukan maka resep khas Soto Rempah Solo menjadi sedikit bergeser. Tambahan hidangan pendamping ini menjadi resep tetap Soto Rempah Solo. Diantaranya adalah : tempe goreng, tahu goreng, sundukan bakso, sosis solo tahu dan tempe bacem, dan karak.

Seperti halnya Soto yang lain, Soto Pekalongan sangat legendaris. Sebutannya adalah Tauto atau Tauco Soto. Dari sebutannya sudah bisa kita bayangkan bahwa bahan dasar Tauto adalah tauco. Tauco adalah bahan fermentasi yang sudah dikenal cukup lama sebagai warisan  dari masyarakat Chinese yang pernah bermukim di nusantara. Masyarakat Chinese banyak menggunakan metode fermentasi karena banyaknya panenan sehingga membuat mereka harus memutar otak bagaimana menyimpan hasil panenan agar tidak busuk. Dan tauco ini adalah salah satunya. Karena mempergunakan bahan tauco, maka Soto Tauto berasa segar karena adanya rasa asam tauco di dalam Soto ini. Topping yang dipergunakan masih lumayan sama yaitu bawang goreng dan irisan daun bawang. Seperti Coto Makassar, Soto Tauto ini disantap dengan lontong atau ketupat. Warna merah dari Soto Tauto berasal dari tauco dan kecap sebagai topping. Dan yang membuat Tauto lezat adalah daging yang dipergunakan sebagai bahan utama adalah daging kerbau. Hmm jadi pingin L

Rendang Padang memang paling top di Nusantara ini karena rempahnya yang cukup kuat dan kualitas memasak dengan rentang waktu cukup lama. Tidak ada yang bisa mengalahkan Rendang Padang di negeri ini sepertinya. Para jamaah hajipun dengan berbagai cara ingin membawa rendang sebagai sangu ke tanah Suci. Namun siapa sangka Soto Padang mampu mengejar kakaknya agar bisa setara dan mendapatkan predikat soto nusantara terdebest. Hal ini karena bumbu Soto Padang tidak jauh beda dengan Gulai Kambing, sehingga rempah yang cukup banyak dan lengkap ini sanggup menyaingi Rendang Padang. Sebut misalnya adanya tambahan bunga lawang, cengkeh, kayu manis, kapulaga, pala dan jintan hijau. Dari ragam bumbunya bisa dicermati bahwa Soto Padang ini sangat berempah dan layak bersaing dengan Rendang Padang. Kerupuk pink yang sering digunakan oleh masyarakat Betawi pada Ketoprak, Gado-gado, Karedok, dan Soto Betawi, juga ditemukan sebagai topping di Soto Padang. Sehingga menambah kecantikan soto ini hingga menimbulkan lapar mata. Disamping kerupuk pink, soto ini juga menampilkan perkedel kentang seperti Soto Banjar dan juga irisan jeruk nipis sebagai salah satu topping. Memang orang Indonesia tidak bisa jauh-jauh dari yang asam-asam.

Mirip dengan Coto Makassar, Soto Betawi ini mempergunakan jerohan sebagai bahan utamanya.Bahan yang dipergunakan adalah paru, babat dan sebagian lemak sapi. Yang membuat Soto Betawi ini menjadi cukup legit adalah penggunaan santan sebagai kuahnya. Di beberapa tempat di Jakarta, Soto Betawi dihidangkan dengan kuah susu, sehingga rasanyapun menjadi semakin nendang. Bagi mereka yang punya masalah dengan dengkul linu sepertinya menghindari dulu. Layaknya kerupuk pink, orang Betawi dangat menyukai emping belinjo sebagai topping, apapun hidangannya. Baik karedok, ketoprak, gado-gado, bakso, nasi goreng. Hingga Soto Betawi pun menggunakan topping emping belinjo. Topping lain digunakan juga potongan kentang rebus seperti soto Jawatimuran.

Bumbu Soto Nusantara memang tak terkalahkan, hingga banyak orang berkreasi menciptakan hidangan lezat Soto ala-ala. Seperti misalnya Rujak Soto. Penganan terdebest di Banyuwangi ini menjadi ikon penting dan menjadi jujukan wisata Banyuwangen. Hal ini dikarenakan banyak orang yang penasaran dengan Nusantara Fusion ini. Bayangkan saja Soto dicampur dengan rujak petis dimana keduanya mempunyai bumbu yang cukup berbeda. Namun hidangan ini menjadi cukup viral karena rasanya yang unik. Kalau pernah mencicipi Tahu Campur Lamongan, maka Rujak Soto ini memiliki rasa yang hampir mirip karena ada beberapa unsur yang sama. Yaitu petis, tauge, daun selada, daging, tahu goreng, dan sohun. Namun di Banyuwangi memang tidak mau kalah seru dengan adanya Rujak Soto, ada pula Rujak Bakso dan fusion-fusion lainnya.

“Bila kita ingin mengenal budaya sebuah negeri, kenalilah dulu kulinernya”

Investasi Amal Untuk Kehidupan Uchrawi


Sejatinya kita sebagai manusia harus menyadari bahwa perjalanan hidup kita di dunia ini akan bertemu “titik akhir” berupa kematian. Pada saat kematian itu tiba, maka sirnalah segala kenikmatan hidup. Dan dimulailah awal perjalanan kita menuju akhirat. Sungguh sangat mengherankan jika ada manusia lebih memilih dunia daripada akhiratnya. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Betapa banyak manusia sibuk mengejar dunia dan melupakan akhirat. Mereka bersemangat untuk mendapatkan dunia, meskipun harus dengan meninggalkan kewajiban yang disyariatkan Allah Ta’ala. Mereka kemudian terbenam dalam kubangan syahwat dan maksiat. Mereka lupa untuk bersyukur kepada Dzat yang telah memberi segala kenikmatan.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُالْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya ?(QS. al-An’am : 32)

✍️ Agama Islam telah memberikan tuntunan bahwa kehidupan di dunia ini laksana bercocok tanam di mana hasilnya akan dinikmati di akhirat. Siapa yang menanam kebaikan ia akan memperoleh kebaikan dan siapa yang menanam keburukan, maka diapun akan mendapatkan hasil dari keburukan yang ia tanam. Betapa banyak orang yang berlomba-lomba untuk dapat hidup ‎sukses di dunia, tetapi sangat sedikit yang bersusah payah untuk ‎dapat hidup sukses di akhirat. Jika untuk kehidupan dunia, manusia ‎umumnya tak kenal lelah, tetapi untuk kehidupan akhirat begitu berat ‎kaki melangkah untuk ibadah. ‎Dalam kitab Nasho’ihul Ibad disebutkan peringatan Rasullah saw kepada umatnya, yang berbunyi

سَيَأْتِى عَلَى اُمَّتِى زَمَانٌ يُحِبُّوْنَ الْخَمْسَ وَ يَنْسَوْنَ الْخَمْسَ يُحِبُّوْنَ الدُّنْيَا وَ يَنْسَوْنَ اْلآَخِرَةَ , يُحِبُّوْنَ الَحَيَاةَ وَ يَنْسَوْنَ الْمَوْتَ , يُحِبُّوْنَ الْقُصُوْرَ وَ يَنْسَوْنَ الْقُبُوْرَ , يُحِبُّوْنَ الْماَلَ وَ يَنْسَوْنَ الْحِسَابَ , يُحِبُّوْنَ الْخَلْقَ وَ يَنْسَوْنَ الْخَالِقَ

“Akan ‎datang pada umatku suatu masa di mana mereka mencintai lima ‎perkara dan melupakan lima perkara pula. Mereka mencintai dunia dan ‎melupakan akhirat. Mereka mencintai kehidupan dan melupakan ‎kematian. Mereka mencintai gedung-gedung mewah dan melupakan kuburan. ‎Mereka mencintai harta benda dan melupakan hisab (perhitungan amal ‎di akhirat). Mereka mencintai makhluk dan melupakan penciptanya ‎‎(Khaliq) ”.‎🙏

👉 Sungguh tepat prediksi Rasulullah SAW tersebut. Di zaman ‎modern sekarang ini sangat mudah kita jumpai manusia-manusia ‎seperti yang digambarkan Rasulullah SAW tersebut. Bahkan mungkin, ‎sosok yang digambarkan Rasulullah SAW itu adalah diri kita sendiri. ‎Ya, disadari atau tidak, sebagian besar dari kita sangat ‎mencintai dunia dan sering melupakan akhirat. Kita lebih mencintai ‎kehidupan dan melupakan kematian. Kita berbangga diri dengan ‎kemewahan rumah yang kita miliki, sementara kita lupa bahwa kelak ‎kita akan mati dan berada di dalam kubur, rumah masa depan kita. ‎🌷

👉 Kita tumpuk pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi ‎kita lupa bahwa kelak di akhirat akan ada yaum al-hisab (hari ‎perhitungan), dimana seluruh harta yang kita miliki akan dimintai ‎pertanggung-jawabannya di hadapan Allah. Kita akan ditanya darimana ‎semua harta yang kita miliki berasal, dan untuk apa harta tersebut ‎dibelanjakan ? ‎

👉Sesungguhnya, barang siapa yang mendahulukan akhiratnya, maka ia akan mendapatkan kenikmatan akhirat dan kenikmatan dunia sekaligus. Hal ini mudah bagi yang diberi kemudahan oleh Allah swt. Dan semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kemudahan oleh Allah swt. untuk beramal shalih. Karena sesungguhnya, orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah swt, maka Allah swt. akan menggantinya dengan yang lebih baik dari yang ia tinggalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [an Nahl/16:97].🙏

✍️ Al Imam At-Thabari ra di dalam kitab tafsirnya ketika menjelaskan makna Hayatan Thayyibatan (kehidupan yang baik) beliau mengutip pendapat para ahli tafsir, memiliki banyak arti,
a. Allah hidupkan mereka yang beriman dan beramal saleh di dunia dengan limpahan rizki yang halal lagi baik
b. Allah karuniakan mereka yang beriman dan beramal saleh sifat qanaah terhadap pemberian Allah swt
c. Hidup dalam keadaan beriman kepada Allah, dan beramal saleh serta patuh terhadap setiap perintah-Nya
d. Kehidupan yang bahagia lahir batin di dunia dan akherat
e. Kehidupan yang penuh kenikmatan di surga

✍️ Jadi bagi kita sebagai seorang mukmin harus menampilkan diri menjadi pribadi yang thayyib sebagaimana pohon yang akarnya kuat dan rantingnya menjulang tinggi ke langit, maka ia akan senantiasa memberikan manfaat berupa buah dan keteduhan sepanjang masa, maka demikianlah watak seorang mukmin sehingga kebaikan yang ia produksi akan muncul setiap saat untuk dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Bukan sekedar kebaikan yang bersifat musiman. dan Ini adalah petunjuk Al-Qur’an.

👉Maka dari itu, mari kita lihat realitas kehidupan manusia sekarang ini, kita lihat ada sebagian kaum muslimin rajin shalat berjamaah, sedekah, puasa, qiyamul lail hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, namun setelah itu ia meninggalkan semua ibadah tersebut pada bulan-bulan lain. Untuk itu kebaikan yang kita lakukan di dunia ini harus rutin, ajeg dan setiap saat ada kesempatan, bukan hanya musiman saja

IKAMI Sulsel Inspirasiku

I

Oleh : Ika Farihah Hentihu (Daeng Te’ne)

“Puang Ika..” Salah satu teman, Ipung mahasiswa UIN anggota IKAMI SULSEL MALANG memanggilku dengan serta merta. Kelihatannya aku masih belum familiar dengan panggilan ini. Puang terdengar sangat hormat dan menjadi terhormat saat diucapkan. Dan dengan tanpa menunggu langsung kubrowsing kata Puang ini karena rasa penasaran. Terkejut setelah membacanya. Ternyata Puang sangat berarti dalam. Begitu juga dengan Andi, Baso, Daeng, Karaeng, Tetta bahkan Petta.. dan lain-lainnya.

Berawal dari sebuah puisi yang kutulis dengan judul KARAENG GALESONG di blog pribadi, puisi yang mengisahkan tentang perjalananku mencapai lokasi makam dan merenung yang tak pernah kukenal sebelumnya, meski aku tinggal di kota yang sama dengan lokasi makam ini. Dan iyya, sekali lagi aku gunakan Google untuk mengetahui apa makna dari kata Karaeng. Saat itu tahun 2006, Google masih sepi penghuni, apalagi saat menelusuri kata Karaeng dan Karaeng Galesong. Hanya ada beberapa halaman saja kemunculannya.

Tapi rasa penasaranku Alhamdulillah kemudian terjawab saat ada seorang teman berkomentar terhadap puisi yang telah kutulis di blog. Adalah Ucheng atau Ahmad Husain yang kemudian menjadi sahabatku dan sumber inspirasiku. Dari dia pula kemudian aku berkenalan dengan IKAMI SULSEL MALANG. Uchenglah yang memberi komentar terhadap puisi yang telah kubuat di blog. Kemudian dia menghubungiku melalui email. Dan sekali lagi saat itu masih belum banyak aktifitas internet, sehingga lama baru kubalas email dari dia. Saat bertemu Ucheng, aku juga bertemu dengan Kahfi yang juga sama-sama memberiku kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-tema IKAMI SULSEL MALANG.

Foto 1. Blogger kampus putih UMM bertemu di cafe

Inilah puisi yang kuciptakan hingga membawaku berkenalan dengan sahabat-sahabatku IKAMI SULSEL MALANG.

Rinduku Galesong

Oleh : Ika Farihah Hentihu

Rinduku

Aku Rindu

Aku Rindu Pada Galesong

Aku Rindu Pada Sombayya, Ayahku

Aku rindu dimandikan Di Bungung Baraniya

Aku terpaksa tak kembali duhai Sombangku

Tapi Aku tahu, Ayah panggil nama kecilku

Baso…sini kau nak, Baso…sini kau nak

Aku disini aman Ayah, bersama dengan istriku…

Potre Koneng

Bermimpikah engkau tentang diriku wahai ayahku?

Aku selalu bermimpi tentang ayah

Saat kita bersama berkuda di Pantai Galesong

Mendengar nasihat-nasihat bijakmu

Aku ingin bersimpuh di depanmu ayah

Mengenang saat aku akan pergi ke Marege

Aku tidak ke Marege Ayah, tolong percayalah

Aku tidak ke Marege

Marege!

Ayah pasti tahu itu.

(Karaeng Galesong, Malang)

Masih saja terngiang aku saat membaca puisi ini. Ini adalah kegalauan Karaeng Galesong karena tidak kembali ke Gowa. Dia pun rindu ingin bertemu Sultan Hasanuddin dan ingin mengungkapkan bahwa dia tidak jadi pergi ke Marege Australia. Hal ini karena saat Karaeng Galesong berpamit, dia mengatakan akan pergi ke Marege. Dan saat melalui pulau Bali, Karaeng Galesong dengan pasukannya berhenti untuk mengambil air dan makanan. Dari situlah sejarah dimulai. Karaeng Galesong mendapat khabar bahwa Trunojoyo berjuang melawan VOC. Sehingga beliau meneruskan perjalanan ke Barat. Semua pasukan yaitu terdiri dari 700 buah kapal dan sekitar 8000 lasykar dan keluarganya bergerak menuju Probolinggo dan selanjutnya menuju Malang, kota kelahiranku.

Berkenalan dengan mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG memang cukup seru. Dan ini menjadi sumber inspirasi keduaku setelah bertemu dengan Ucheng. Maklum aku hanyalah penulis pemula yang tau-tau tertarik dengan budaya Bugis Makassar. Padahal aku sama sekali tidak memiliki informasi tentang Sulsel. Aku belum pernah mencapai pulau Celebes. Sehingga saat itu hanya berangan-angan saja, bisakah aku mencapai pulau itu. Melihat secara langsung, life, lokasi dimana Sultan Hasanuddin berada, lokasi dimana Karaeng Galesong dilahirkan dan juga tak ketinggalan aku ingin sekali melihat Bone untuk ‘bertemu’ dengan Aru Palakka. Itu semua hanya angan-anganku selama 6 tahun berinteraksi dengan mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG.

Masih penasaran dengan bermacam nama panggilan yang sering dilontarkan oleh sahabat-sahabat IKAMI SULSEL MALANG, akupun bergerak ke asrama mereka yang kutau hanya di Telaga Al Kautsar. Belakangan baru ku tau bahwa asrama mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG adalah di Jl. Dieng. Dan jujur aku hanya duduk terdiam mendengar mereka bicara dengan logat yang berbeda, kata panggil yang bermacam pula. Dan dari sini lah rasa penasaranku berlanjut. Banyak nama panggilan yang sering disebut oleh mereka, termasuk Daeng. Ini yang paling populer. Hanya saja setelah kubrowsing info tentang nama panggilan, ada beberapa kata panggil untuk masyarakat Makassar dan Bugis.

Daeng adalah kata dalam bahasa daerah Sulawesi Selatan yang berarti kakak lelaki atau seseorang yang lebih tua. Tapi kata Daeng mempunyai makna yang berbeda di tiap suku daerah di Sulawesi Selatan. Suku Bugis dan Makassar adalah suku yang besar di daerah Sulawesi Selatan yang sering menggunakan kata Daeng dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. “Kita biasanya memanggil daeng sebagai panggilan untuk lebih menghormati, karena kalau langsung nama akan terkesan kasar,” Seperti yang dituturkan Ucheng kepadaku.

Di dalam perkembangannya sendiri, panggilan Daeng telah memiliki makna yang beragam. Bisa bermakna kakak, bisa juga menunjukkan kelas sosial seseorang. Dengan demikian penggunaannya harus diperhatikan baik-baik, karena kata Daeng sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Beberapa pergeseran kutemui saat berada di Makassar yaitu memanggil supir pete-pete dengan panggilan Daeng.

Sedangkan masyarakat Bugis sangat ketat dalam penerapan tata adat di kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan sosial. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial (pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal/bertingkat). Berkembangya pelapisan masyarakat secara tajam tumbuh di saat yang sama terbentuknya kerajaan. Hal ini menimbulkan jarak sosial antara golongan bawah dan golongan atas dalam lapisan masyarakat.

Suku Bugis pada jaman dulu mengenal tiga kasta. Kasta yang paling tinggi adalah Arung (Bangsawan) yang memiliki beberapa sub kasta turunan. Kasta selanjutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (Masyarakat Kebanyakan). Sedangkan kasta yang paling bawah adalah Ata yang berarti budak. Kasta terendah ini kurasa sudah tidak pernah lagi disebut-sebut alias tidak ada. Hal ini tampak pada bangunan rumah Bugis yang tidak lagi ditemukan berspesifikasi Ata. Dan kita sebenarnya adalah To Maradeka, tidak pernah ada lagi yang membedakan status sosial kecuali kalau memang dibutuhkan untuk kegiatan upacara.

Foto 2. Rumah kediaman Bapak Rindam Latief di Sengkang

Mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG untungnya sangat rajin dan peduli. Berbagai kegiatan diadakan oleh komunitas ORDA ini. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dari mulai yang paling kecil skalanya sampai yang paling megah yaitu BUDAYATA. Diskusi lepas diadakan tiap minggu, hingga ulang tahun salah satu anggota yang dibuat surprised. Aku tenggelam dalam gegap gempita celoteh mahasiswa asal Celebes yang cukup nano-nano bagiku. Kadang mengernyit karena tidak tau artinya. Tapi pelahan kupahami apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka ungkapkan dan apa yang mereka lakukan dan inginkan.

Mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG sangat peduli dengan lingkungan. Beberapa kali saya diundang untuk memperingati Hari Bumi, Hari Ibu dan juga hari-hari lainnya. Saat itu mereka berduyun-duyun menuju alun-alun kota Malang dan membantu membersihkan daun-daun disana. Benar-benar cape menjadi mahasiswa IKAMI MALANG sepertinya karena tiada hari tanpa kegiatan bagi mahasiswa. Sampai ada yang sakit hingga dirawat di RS karena lumayan parah. Sehingga berduyun-duyunlah teman-teman IKAMI ini, ikutan nginep di RS jagain Syifa Rasyid. Kemanapun mahasiswa IKAMI selalu grubyak grubyuk, rame dan bersama-sama.

Sesekali mereka sembelih kambing dan mengolahnya menjadi Coto Makassar. Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan kuliner terbaik Celebes yang sangat legendaris ini. Sempat kuajak teman kantor yang berasal dari Sengkang untuk ikut menikmati Coto di Asrama DIeng. Sempat dia ungkapkan dengan nada gurauan bahwa setiap hari dia makan pecel yang disajikan oleh istrinya yang orang Jawa. Sehingga menyantap Coto Makassar membuatnya merasa refreshing. Semua teman disana ketawa renyah mendengar curhatannya.

Setelah kenyang menyantap Coto, seperti biasa kubrowsing makna kuliner ini. Ternyata sangat mengejutkan. Coto Makassar dahulu adalah hidangan para raja. Tidak seperti soto-soto Nusantara yang lain yang memiliki latar belakang budaya lokal, Coto ini sangat dikenal legend. Dan baru kutahu bahwa isi Coto Makassar adalah jerohan sapi dimana hidangan ini sangat disukai oleh para Raja Bugis dan Makassar. Pertanyaannya kalau jerohannya disantap oleh para raja, apakah rakyat jelata kemudian yang mengkonsumsi dagingnya. Ini masih menjadi pertanyaan bagiku. Namun kalau saat ini kita bisa memilih karena sudah banyak yang peduli dengan kesehatan, untuk tidak terlalu banyak mengkonsumsi jerohan sapi. Setuju lah.

Beberapa kali mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG mengadakan kegiatan pra acara BUDAYATA. Meski begitu tidak mengurangi hingar binger kegiatan BUDAYATA yang sesungguhnya. Akupun mencoba hadir di kegiatan yang mereka adakan, sambil korek-korek kebiasaan rakyat SULSEL yang tercermin pada sahabat-sahabat IKAMI SULSEL MALANG. Ada tari-tari yang menggambarkan permainan saat masa kecil, drama-drama dengan dialog Bugis bahkan kegiatan permainan anak-anak. Permainan anak sangat seru apalagi kalau dihadiri oleh mahasiswa Pasca S2 dan S3 asal Bugis Makassar. Kebanyakan mereka berumur hampir paro baya, sehingga saat diajak main kelereng, egrang, dende-dende dan permainan lainnya, mereka sangat menikmati. Teman-teman mahasiswa bahkan sudah pada pulang, tapi teman-teman Pasca masih bertahan lompat-lompat disana, Kasiang..

Pengalaman yang paling berkesan saat itu adalah saat Irma, salah satu mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG asal Kalimantan meminjamiku baju Bodo atau baju Tokko. Baju-baju tersebut adalah koleksi pribadi komunitas, termasuk pula perhiasannya. Wah betapa bahagianya aku mengenakan baju dan sarung tersebut. Dan surprised, kemudian kukenakan baju adat Sulsel, ini adalah moment yang kutunggu-tunggu. Bangga sekali rasanya, setelah sekian lama hanya bicara dan menulis, akhirnya aku mengenakan. Baju ini yang akhirnya kukenakan saat acara BUDAYATA pertama di café itu.

Foto 3. Festival Budayata pertama

Adalah Abi, seorang mahasiswa jurusan Teknik yang memiliki jiwa seni dan budaya cukup kental yang dengan ikhlas menyerahkan koleksi keluarga di Bone kepada komunitas mahasiswa IKAMI. Baju-baju, sarung dan pernak perniknya inilah yang salah satunya kupakai pada BUDAYATA. Gelang lengan yang tadinya belum lengkap, dengan petunjuk Abi, akupun mencoba untuk menjahit. Dan jadilah sebuah gelang lengan yang sesekali dipergunakan menari oleh mahasiswi-mahasiswi. Tari Angin Mamiri, tari Kipas dan yang paling heboh tari yang para penarinya membawa obor. Abi pun dengan sangat serius mengolah acara ini dari sejak pemilihan busana hingga mata acara yang ditampilkan. Abi tipe orang serius, berpuluh toko telah dia lewati bersamaku dengan Irma. Tapi sedikitpun tidak ada yang menggoyah hatinya. Kain-kain di Malang tidak ada yang sesuai dengan kata hatinya. Walhasil teman-teman pun mendatangkan kostum-kostum ini dari Makassar sekaligus dengan pemain perkusinya. Heboh banget pokoknya.

Sampailah kemudian pada moment paling penting, aku bisa datang dan hadir melihat Makassar secara langsung. Saat kuinjak pulau Celebes, udara hangat menyelimuti. Tapi kebahagiaanku sudah terbayar karena 6 tahun menunggu agar bisa menginjak pulau Celebes. Adalah Prof. Aminuddin Salle yang banyak membaca tulisanku tentang Karaeng Galesong di website, beliaulah yang memfasilitasiku untuk datang ke Galesong dan mengijinkan tulisan-tulisanku untuk diterbitkan oleh Yayasan AS Center. Merupakan suatu kebanggan dan kehormatan bagiku karena dengan tulisan yang remeh temah namun membawa dampak cukup terasa bagi keluarga keturunan Karaeng Galesong hingga raja terakhirnya sekarang yaitu Prof. Aminuddin Salle. Seorang guru besar bidang Hukum Tanah Adat Universitas Hasanuddin. Dan beliau pula yang mengantarku ke Bala Lompoa Galesong dan memberiku nama Paddaengang yaitu Daeng Te’ne. Beberapa kali masih tergagap-gagap karena belum hafal dengan nama ini. Namun kemudian menjadi terbiasa karena banyak yang memanggilku dengan nama paddaengang ini, Daeng Te’ne.

Foto 4. Launching Novel Karaeng Galesong Sang Penakluk Mataram

Tiba di Bala Lompoa Galesong adalah sebuah keniscayaan, namun siapa nyana aku bisa mencapai Istana Galesong dimana disana masih tersimpan artefak-artefak peninggalan Raja Galesong pertama hingga sekarang. Ada juga Bungung Baraniya, sebuah sumur yang tak jauh dari Bala Lompoa Galesong dimana para lasykar-lasykar Karaeng Galesong yang hendak berangkat menuju medan laga, dimandikan di sumur ini. Sumur ini cukup tua, legend dan berbau sejarah cukup kuat. Akupun sudah mencoba minum air dari Bungung Baraniya, segar dan viral. Karena setelah aku minum air ini, fotoku tersebar ke socmed. Dibilang seorang peneliti sejarah  minum air dari Bungung Baraniya. Waduh!

Foto 5. Minum air dari Bungung Baraniya Galesong Takalar

Wajo, Sengkang, Barru, Sidrap dan Takalar adalah daerah yang sudah kulalui, sangat membahagiakan sudah berada di tanah Bone. Seorang sahabat mengajakku kesana. Beberapa tempat kulalui, yaitu Tosora dan makam Syekh Jamaluddin Akbar Al Husaini dan juga tak lupa pula mendatangi makam La Madukeleng. Saat melalui Tosora, temanku banyak bercerita bahwa daerah ini adalah daerah pertempuran Aru Palakka. Dan sepertinya aku bisa rasakan itu disana. Sempat mampir sebentar setelah melihat seorang wanita menenun kain, dan semangat selfie ku jadi membara melihat mesin tenun manual tersebut. Lalu jadilah sebuah foto seorang cewek asal kota Malang yang menenun di Tosora. Ngakak berkali-kali melihat polahku yang tak terkendali.

Foto 6. Di Tosora

Kalau selama ini aku mendengar lagu Danau Tempe, nah saat itu aku melihat secara life danau tersebut. Memang airnya sudah sangat berkurang. Hal ini karena pasokan air dari Sungai Sa’dang Toraja yang juga berkurang. Sungai Sa’dang adalah sungai yang acap kali dipergunakan para rafter karena geografi sungai yang lumayan menantang. Namun tidak mengurangi rasa bahagiaku bisa melihat Danau Tempe ini dari dekat sambil nyanyi-nyanyi Bulu Alauna Tempeeeee.. yihaaa.

Banyak kenangan manis yang kudapatkan dari mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG. Jayalah IKAMI SULSEL, Jayalah IKAMI SULSEL MALANG.

                                                                              Malang, 22 Sept 2021

Perilaku Zuhud

 

Mengenai perilaku zuhud disebutkan dalam sebuah hadits,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan) 🙏

👉 Hadits di atas mengisyaratkan suatu perilaku yang dapat mengantarkan seseorang meraih cinta Allah SWT dan manusia. Perilaku itu adalah zuhud.
Secara etimologi, zuhud adalah menjauhkan diri dari sesuatu karena menganggap hina dan tidak bernilai. Bagi para sufi, zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang lebih dari keburukan hidup walaupun sudah jelas kehalalannya.

Berlaku zuhud tidak berarti berdiam diri dan tidak melakukan usaha apa pun untuk mendapatkan rezeki yang halal. Zuhud bukan sikap malas. Seorang zahid (orang yang zuhud) sama sekali tidak identik dengan orang fakir yang tidak mempunyai harta apa pun. Seorang zahid adalah orang yang mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak memalingkan dirinya dari ibadah kepada Allah. Ia tidak diperbudak dunia dengan segala kenikmatannya, dan mampu menahan diri untuk tetap berada di jalan yang diridhai Allah.

Zuhud adalah perbuatan hati (af’al al-qulub). Seorang zahid, dalam hatinya tumbuh keyakinan bahwa apa yang ada dalam genggaman Allah lebih bernilai daripada yang ada dalam genggaman manusia. Ia yakin Allah adalah al-razzaq, penjamin rezeki semua makhluk. Imam Husain bin Ali berkata, ”Salah satu ciri lemahnya iman seseorang adalah menganggap bahwa yang ada pada manusia lebih bernilai daripada yang ada pada Allah.”

<!--more-->
Abu Dzar mengatakan,

الزَّهَادَةُ فِى الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِى الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِى يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِى يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِى ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ

“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadapp apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.”

Perilaku zuhud juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Zuhud dalam bermasyarakat adalah dengan menjauhkan diri dari segala bentuk kejahatan sosial yang dapat merusak keharmonisan hidup bermasyarakat seperti menggunjing, mengadu domba, berjudi, dan mengonsumsi narkotika, psikotropika, dan barang terlarang lainnya. 🌿

👉 Dalam hidup bermasyarakat, seorang zahid mampu menahan diri untuk tidak mengambil hak milik orang lain dengan cara yang dilarang oleh agama. Allah SWT berfirman, ”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2: 188). 🙏

👉 Seorang zahid tidak akan dengki terhadap kenikmatan yang dimiliki orang lain. Ia sadar, perbedaan nikmat yang diberikan Allah kepada manusia adalah ujian bagi ketaatannya kepada Allah. Rasulullah SAW memerintahkan setiap Muslim untuk menjauhi sifat dengki karena dapat menghapus semua pahala kebaikan seperti api melalap kayu bakar. (HR Abu Daud).🎋

👉 Setiap Muslim hendaknya mampu menanamkan zuhud dalam hidupnya agar mampu menyikapi kenikmatan dunia searif mungkin dan mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia.

Maulud Nabi


Berbicara “Maulud Nabi” (Nabi Muhammad saw) atau kelahiran Nabi, berarti berbicara Islam, itu dilahirkan. Sebab, Islam tidak akan diketahui tanpa kelahiran Nabi Muhammad saw yang lahir di Makkah dengan seorang ibu bernama Aminah dan seorang ayah bernama Abdullah, berbangsa dan berbahasa Arab. Maka, dengan kelahiran seorang Nabi yang sangat mulia ini, wujud basyar atau manusia biasa, agar mudah dicontoh suri tauladannya oleh umat manusia pada umumnya; Beliau Nabi Muhammad saw dilahirkan dan dibangkitkan dengan misi dan tugas utamanya untuk memperbaiki akhlaq budi manusia. Maka, dengan demikian, Islam dapat diketahui. Artinya, mengetahui dan bertemu Islam adalah bertemu dengan yang membawa Islam, yaitu Nabi Muhammad saw, agar manusia selamat mulai awal diadakan sampai kembali ke asal muasal manusia berasal, yaitu Allah swt.

Lalu apa Islam itu, kiranya perlu dijelaskan agar didapatkan suatu pengertian. Sehingga, seseorang yang telah mendapatkan pengertian, sedapat mungkin dirinya bisa mempraktekan atau memperlakukannya secara tepat dan benar. Perlakuan atau praktek yang tepat dan benar, maka akan didapatkan paham yang benar, demi terhindarnya seseorang dari kesalah pahaman atau pahamnya menjadi salah.

Islam, sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah swt, di dalam surat Ali Imron ayat 19 adalah yang di sisi Allah. Artinya, Islam itu, yang di sisi Allah. Jalan tempuh menuju yang di sisi-Nya adalah agama (QS 3 : 19). Maka,yang di sisi Allah (‘inda-llah) itulah, al Islam yang musti ditemukan melalui jalan tempuh agama (diin), atau lebih jelasnya disebut “diinul haq”, yaitu jalan kebenaran, berupa petunjuk risalah kenabian beliau Muhammad saw (QS. 48 : 28). Untuk bertemu dengan al Islam yang di sisi Allah, jalan tempuhnya adalah bertemu dengan yang membawa Islam, yakni Nabi Muhammad saw. Bertemu dengan yang membawa Islam, maka bertemu Islam.

Untuk bisa bertemu dengan yang membawa Islam, janganlah seseorang bersikap keterlaluan (baghyan) dan ingkar terhadap berbagai ayat Allah dengan memperselisihi catatan (imannya) dan ilmu yang ada di dalam dadanya. Maksudnya, setiap diri manusia hendaknya mengikuti catatan (al kitab) yang tiada keraguan di dalamnya, ia bersifat benar, terpercaya, jujur dan tidak dungu (QS. 2 : 2). Catatan itulah, yang disebut dengan iman, ilmu (QS 29 : 49), nikmat (QS QS. 55 : 13, 16, 18, 21 dst) dan taqwa (QS. 22 : 32). Mengikuti iman, ilmu, nikmat dan taqwa, berarti manusia tidak mengikuti keinginan (hawa) nafsu yang bersifat mendorong untuk melakukan kejahatan (ammarah bi su’), wujud mencela selain dirinya (lawwamah). Sehingga, kedua dorongan nafsu nafsu tersebut menjadi tertundukan. Selanjutnya, ia (nafsu) mendorong diri manusia untuk melakukan kebaikan (mulhamah), sehingga didapatkan ketenangan (muthmainnah, kerelaan (radhiyah), demi untuk mendapatkan ridho Allah swt (mardhiyah), agar diri manusia mampu bergabung dengan seluruh manusia (QS. 89 : 27, 28, 29, 30), bagai hamba Allah yang selalu berkasih sayang laksana saudara sekandung (rahim ibu), sebagai cerminan atau pantulan dari rahmah Nabi Muhammad saw (QS. 21 : 107) sebagai Rasul utusan Allah Yang Maha Rahman dan Rahiim.

Manusia yang mengikuti imannya, maka ia bersifat mukmin dan mukminlah yang menegakkan sholatnya (QS 23 : 1, 2). Maka, manusia yang bersifat mukmin itu, akan menjalankan sholat secara rukun (fisik) yang dipimpin oleh imannya yang di dalam dadanya, minimal 5x dalam sehari semalam. Yaitu, Maghrib, Isya’, Shubuh, Dhuhur dan Ashar.

Maka, “maulud” atau dilahirkan, itu pada diri Nabi Muhammad saw, dan “maulid” adalah pada diri mukmin yang menegakkan sholatnya. Oleh karena itu, lahirnya diri mukmin pada diri manusia dengan menegakkan sholat, merupakan pertemuannya dengan diri Nabi Muhammad saw yang telah dilahirkan atau “maulud” sang pembawa yang di sisi Allah atau atau al Islam. Bertemu dengan yang membawa keselamatan atau Islam, berarti bertemu dengan yang di sisi Allah. Bertemu dengan yang di sisi Allah, berarti kembali kepada Allah. Kembali kepada Allah, berarti kembali kepada asal muasal manusia berasal, yakni Allah swt, bersama dengan yang di sisi Allah, yaitu Nabi Muhammad saw sebagai Rasul utusan Allah. Sebab, beliau Nabi Muhammad saw sebagai Rasul utusan Allah, adalah “wasilah” perantara bagi manusia yang dipimpin oleh imannya untuk bisa sampai kepada Allah swt.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

(QS. 3 : 35)