Lama tak Bertemu
Lama tak bertemu, mungkin sekitar 12 tahun yang lalu. Lama tak bertemu secara fisik dengan pimpinanku, rector UIN Maulana Malik Ibrahim, rektor yang jabatannya baru berakhir, 2013 lali. Beliau Prof. Imam Soeprayogo, orang yang sebenarnya sudah lama kukenal dari sejak saya masih kecil.
Awalnya saya tidak mengira akan bertemu beliau kembali. Terakhir saya melihat beliau setahun yang lalu saat pertemuan antar dosen dengan pejabat. Tentu saja beliau tidak begitu perhatian pada satu-satu undangan karena banyak, ada sebanyak 400 dosen di ruangan gedung aula rektorat lantai 5. Mungkin itulah kali terakhir saya melihat beliau namun tidak secara dekat seperti 3 hari yang lalu, saat saya bertemu beliau secara langsung. Saat itu kebetulan saya mendapat amanah dari kepala langsungku, ibu Mufidah untuk menyerahkan sesuatu ke Prof. Imam. Dan kemudian saya berangkat menuju kampus Pasca UIN di kampus II, Batu.
Pak Imam yang masih saja duduk berkoantor meskipun beliau sudah mendapatkan gelar Professornya, memiliki ruang khusus bertuliskan nama beliau di pintu. Persis seperti ruang Prof. Sutandyo, guru besar di UNAIR. Saya ingat betul pak Imam pernah mengatakan tentang ruangan prof. Sutandyo di UNAIR yang tetap dibiarkan seperti itu tanpa ada perubahan. Pak Imam mengatakan bahwa ruangan prof Sutandyo menjadi spirit bagi semua mahasiswanya sehingga memberikan semangat dan motivasi untuk maju seperti beliau. Begitupun dengan pak Imam, beliau mendapatkan ruangan yang tidak terlalu luas namun lengkap dengan satu set computer dan LCD di atap. Saat saya kesana, seperti biasa beliau menhadap ke computer, tetap dengan kesehariannya, menulis.
Teringat saat itu beliau selalu bertanya kepada semua kolega, mana buku yang sudah kamu buat. Ini suatu hal yang tidak mudah. Lama saya jajaki pernyataan itu. Bagaimana saya bisa seproduktif beliau, ratusan buku sudah dikarang. Belum lagi ribuan tulisan, jurnal dan artikel. Menurut pak Imam itu adalah aktifitas rutinnya saat pagi setelah subuh. Ada sedikit waktu sampai menjelang keberangkatan beliau ke kampus sehingga kesempatan tersebut dipergunakannya untuk menuangkan pikiran ke dalam tulisan. Apabila sehari satu tulisan saja, bisa dibayangkan dalam setahun ada lebih dari 300 sentuhan jari-jarinya kedalam tulisan. Entah bagaimana saya bisa membayangkan saya pribadi, apakah saya bisa seperti beliau. Saya sendiri baru mencapai 175 artikel dalam kurun waktu 3 tahun, dan baru satu buku yang sudah terbit. Yaelah broo!
‘Asslamualaikum’, saya mencoba menyapa beliau pelan. Takut mengganggu aktifitasnya, beliau seperti sedang sibuk di depan PC. Saya yang masih berada di luar ruang beliau, tepat di depan pintu. Saya melirik beliau yang masih sibuk menggerakkan jarinya menuliskan dan mencurahkan ide-idenya. Dan segera beliau menjawab ‘Waalaikum salam’ dan segera saya masuk ke dalam ruangan beliau. Saya katakan maksud kedatangan saya dan menyerahkan berkas yang dimaksud untuk ditandatangani. Sambil memeriksa kertas-kertas tersebut beliau sempat menanyakan saya bertugas di fakultas apa, dan saya pun menjawab dengan jujur bahwa saya di humaniora namun berkantor di LP2M. Oh di bu Mufidah situ, responnya. Saya pun mengangguk. Hari sudah menjelang Jumatan, beliau segera berdiri dan mempersiapkan akan berangkat shalat, sambil beresin ini itu, masih saja bertanya. Sedianya saya sudah akan meninggalkan ruang beliau dan berpamit.
Tau-tau pertanyaan lain muncul lagi, “lha sampean itu namanya siapa?”.. Saya terperanjat. “LHAH!”.. jadi dari tadi pak Imam itu lupa sama saya. Ya ampun.. Jadi inget, saya terakhir bertemu dekat dengan beliau itu tahun 2002. Lama sekali memang. Saat itu saya juga bertemu untuk menyampaikan ‘amanah’ kepada beliau. Dan memang sudah kebiasaan pak Imam dari dulu sampai sekarang, masih aja tetep sama. Pak Imam dengan kesederhanaannya, tak pernah mau menerima honor. Alasannya katannya beliau tidak ikut-ikut bekerja dalam kegiatan itu. Dan kemarin itu saya masih membuktikkannya, beliau masih saja lagi-lagi mengeluarkan lembaran-lembaran tersebut dari amplop. Perasaan saya berkecamuk, ingin sekali menolak pemberian beliau itu, dalam kepala saya ada suara-suara mengatakan rejeki koq ditolak. Entah kenapa, setelah 12 tahun tak bertemu perasaan saya jadi iba.
Beliau sudah seperti bapak bagi saya karena memang sejak kecil saya sudah mengenal beliau, Pak Imam pun paham sekali kronologis saya dari sejak kecil. Saat bertemu kemarin sempat mengatakan tentang itu, mengingatkan bapak saya almarhum yang berjuang sejak awal UIN berdiri bersama beliau hingga saya masuk UIN pada 1999. Sayapun mengiyakan. Saya sempat pula ungkapkan saat beliau berhaji bersama-sama dengan keluarga, juga dengan bapak dan ibu saya ke tanah Suci, saya sempat bilang, bapak yang mendampingi orangtua saya dan sempat mengambil banyak gambar foto bapak dan ibu saya yang kemudian menyerahkan foto-foto tersebut kepada orangtua saya. Masih sempat-sempatnya beliau mengafdruk ratusan foto tersebut dan menyerahkannya kepada masing-masing rekan beliau dalam kelompok haji ini.
Dan sambil mengunci ruangan beliau yang bertuliskan Prof. Dr. Imam Soeprayogo, MA tersebut, beliau masih saja bertanya dan bercerita. Padahal sedianya saya sudah berpamitan pulang. Saya tak mungkin jalan bersama beliau, rikuh rasanya. Eh ternyata enggak. DI sebelah ruangan beliau di lantai 3 tersebut ada lift . Bahkan beliau sampai di lift pun masih saja berceritera tentang nostalgianya dengan orangtua ku. Saya jadi kikuk, masak mau turun satu lift dengan beliau, nggak pantas rasanya. Saya masih saja melongo saat beliau memencet tombol lantai satu. Sedianya biarlah saya turun lewat tangga. Tidak terlalu berat karena turun, kalau naik emang iya. Heheh..
“Ayo masuk” katanya. Saya yang ndlahom aja di luar segera maju dan masuk ke dalam lift. Untung tidak terlalu lama. Namun masih saja beliau tidak diam dan bercerita. Saya hanya senyam-senyum aja, lha mau gimana lagi. Jadi bingung ini. Sesampai di lantai satu, saya yang masih kebingungan karena jarang masuk di kampus pasca, masih sempat bertanya sambil bingung. “Lantai berapa ini prof?”.. Sambil clingak clinguk. Bingung saya kemudian hilang karena pak Imam bilang “yaa ini sudah nyampe”
Hahaha..dasar blo’on aku
Dan sambil berlalu beliau masih saja berbicara, padahal sudah beda arah. Saya tunggu sampai bayangan beliau menghilang, baru kemudian saya berlari menuju parkiran. Olala sungguh pengalaman yang unik.
Pribadi beliau memang saya akui, kesederhanaannya yang begitu bergema pada kita semua rekan kerjanya terutama yang sering dekat dan melihat. Makanan kesukaan beliau adalah pecel dan tahu tempe. Sekali pernah putra-putri pak Dimyati Akhyat (alm), sahabat pak Imam, mereka pernah mengatakan..pada suatu saat pernah pak Imam datang ke rumah pak Dimyati yang saat itu masih di dalam perumahan kampus UIN. Sempat pak Imam melihat meja makan yang ditutup oleh tudung saji. Kemudian beliau membuka tudung saji tersebut dan mengatakan Waaaaahhhh. Hahahaha saya jadi ketawa ketiwi diceritain mereka. keluarga Pak Dim, panggilan pak Dimyati, biasa menyajikan masakan-masakan seperti jerohan sapi. Kata pak Imam, wah disini ternyata makanannya enak-enak yah.. sambil berkelakar pak Imam melihat lauk-lauk yang tersaji di rumah pak Dim.
Suatu saat dating tamu-tamu dari luar negeri, para duta besar dari Negara-negara Timur Tengah. Pak Imam menyarankan untuk menyajikan kue dan buah di meja tamu. Dan orang yang sering disuruh beliau adalab ibu Luluk sahabatku, sehingga saya tau betul ceritanya dari bu Luluk. Dia bilang, pak Imam selalu menyuruh memotong kue yang berukuran besar menjadi kecil. Beliau bilang kalau ukurannya besar itu tidak pantas disajikan, orang akan susah memakannya karena harus membuka mulut lebar-lebar. Pak Imam nggak mau hal seperti itu terjadi. Sehingga ibu Luluk selalu siap dengan pisau-pisa di pantry yang dipersiapkan untuk memotong kue-kue ini. Pada suatu saat ada acara lain di ruang beliau, yaitu kedatangan tamu Negara. Saat itu bukan ibu Luluk yang mempersiapkan konsumsinya, sehingga kue-kue yang masih asli dari took itu tidak dipotong-potong. Sehingga setelah acara beliau mulai menyindir dengan bahasa Jawa, “wong opo kon arep maaangapp!” (apakah orang disuruh membuka mulut lebar-lebar)
Ahahaha, saya nggak habis-habis tertawa saat diceritain ibu Luluk. Memang benar kalau dipikir-pikir. Saya bayangin kalau makan lapis Surabaya itu bingung karena lebar banget. Belum lagi kalau makan bikang, roti bikang itu selebar lepek cangkir..xixixi. :D.
Pernah juga saat beliau akan berangkat ke Jakarta, saya dan ibu Luluk berangkat ke loket tiket pesawat untuk membelinya. Ibu Luluk mengatakan sambil melihat-lihat jadwal pesawat, “Pak Imam itu harus dibelikan tiket pagi Ika, supaya berangkatnya aman dan nyaman”, kata nya begitu. Suatu saat pak Imam kembali akan melaksanakan perjalanan jauh menyuruh orang lain untuk membeli tiket. Sehingga dia tidak tau jam-jam berapa yang biasa dipakai oleh beliau apabila. Dan ternyata benar, tiket pesawat tersebut dibeli dengan jadwal berangkat jam 2 dini hari.
Apa yang dikatakan pak Imam saat tau akan berangkat jam 2, “wong opo kon budal bareng maling!” beliau menggerutu.
Saya nggak habis-habis ketawa cara beliau berbicara dalam bahasa Jawa ala Trenggalek, kota kelahiran beliau. Sangat medok.
Lagian beli tiket aja susah amat. Pilih jadwal koq jam 2 pagi. Bingung bayanginnya, brangkat malem-malem. Owalah!
Pak Imam, mudah-mudahan anda membaca tulisan saya. Hehe.
Terimakasih bapak.. J