Pengetahuan Keluarga Terhadap Bahasa

Dalam berinteraksi orang tua atau anak pasti menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan sesuatu. Pada suatu kesempatan bahasa yang dipergunakan oleh orang tua ketika secara kepada anaknya dapat mewakili suatu objek yang dibicarakan secara tepat. Tetapi dilain kesempatan, bahasa yang digunakan itu tidak   mampu mewakili suatu objek yang dibicarakan secara tepat. Maka dari itu dalam berinteraksi dituntut untuk menggunakan bahasa yang mudah dimengerti antara komunikator dan komunikan. Keluarga yang terbiasa dalam berkomunikasi menggunakan bahasa yang santun maka budaya berbahasa santun pun akan diterapkan dimanapun itu berada tergantung dari pengetahuan dan kemampuan dalam berbahasa yang baik dan sopan berdasarkan unggah ungguh.

Pola interaksi dipengaruhi oleh usia. Itu berarti setiap orang tidak bisa berbicara sekehendak hati tanpa memperhatikan siapa yang diajak bicara. Berbicara kepada anak kecil berbeda ketika berbicara kepada remaja. Mereka mempunyai dunia masing-masing yang harus dipahami. Budaya dan bahasa berbeda berdasarkan perbedaan usia.

#keluarga

#bahasa

#bahasakeluarga

Pandangan Keluarga Terhadap Kepemimpinan

Dalam keluarga seorang ayah sebagai pemimpin mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis. Dinamika hubungan dalam keluarga dipengaruhi oleh pola kepemimpinan. Karakteristik seorang pemimpin akan menentukan pola interaksi bagaimana yang akan berproses dalam kehidupan yang membentuk hubungan-hubungan tersebut. Disini keluarga memberikan contoh kepada anak-anaknya. Jika orang tua itu memiliki sikap yang bijaksana maka budaya hidup bijaksanapun akan muncul secara praktis.

Berikut ini contoh dari ajaran dalam keluarga tentang kepemimpinan: adigang, adigung, adiguno yang bermakna untuk menjaga kelakuan, menghindari kesombongan karena kekuatan, kedudukan, dan latar belakang. Aja mbedakake marang sapadha-padha yang bermakna menghargai perbedaan dan tidak membeda-bedakan. Aja dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter nanging dadiya uwong sing bisa lan pinter rumangsa yang bermakna larangan untuk jadi orang yang merasa bisa dan merasa pintar tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.

#kepemimpinan

#jawa

Kebudayaan Sebagai Sumber Pengetahuan

Kebudayaan dipandang sebagai pengetahuan karena segala aktivitas public melibatkan proses berpikir dan kemampuan untuk berinteraksi sosial (Geertz, 1973: 76 dan 1973: 83).  Untuk memahami suatu budaya kita dapat melihat perbedaan-perbedaan yang dapat diinterpretasikan dengan pola yang berbeda-beda (Becker, 1995). Pengetahuan menjadi alat budaya yang memperlihatkan intelektualitas kita. Pengetahuan menjadi representasi mental orang yang mengaplikasikannya yang menuntut adanya keseimbangan antara isi pikiran dan isi hati. Masalah antropologi pengetahuan bagaimana praktek budaya lokal  menjadi representasi mental didalam pikiran individu yang keluar menjadi pikiran public. Teori budaya harus menjelaskan cara kita berbicara tentang budaya suatu kelompok tertentu dan proses apa yang terjadi didalam budaya tersebut (Goodenough, 1981:54).

Hal-hal yang menbedakan kebudayaan adalah perbedaan prinsip logis dalam berpikir. Saat ini yang menjadi fokus perhatian adalah model budaya tentang hubungan kekerabatan (kinship) karena hubungan kekerabatan dianggap sebagai jaringan perilaku budaya. Anak-anak yang bersosialisasi didalam lingkungan kelas pekerja (working class children) cenderung memiliki hubungan yang sangat dekat dengan tetangga dan teman-teman di sekolah. Disatu sisi, mereka hanya memiliki pilihan hidup mereka yang cenderung untuk meneruskan pekerjaan dari orang tuanya. akan tetapi disisi lain, mereka akan belajar dan bekerja keras karena budaya bekerja di lingkungan keluarganya terbawa di sekolah. (Willi, 1977). Berikut ini adalah contoh dari budaya yang muncul dari hubungan kekerabatan (kinship) dengan capaian interaksi sosialnya:

Berikut ini faktor-faktor pengaruh interaksi didalam keluarga yang mempengaruhi terbentuknya budaya dalam berinteraksi dengan orang lain yang disesuaikan dengan budaya Jawa

  1. Pengetahuan keluarga tentang citra diri dan citra orang lain

Setiap keluarga mempunyai peranan penting untuk memberikan pengajaran tentang gambaran-gambaran tertentu mengenai dirinya, statusnya, kelebihan dan kekurangannya didalam keluarga. Gambaran itulah yang menentukan apa dan bagaimana orang tua mendidik dalam hal tata cara berbicara, bagaimana berpikir untuk menjaring apa yang dilihatnya, didengarnya, dan bagaimana penilaiannya terhadap segala yang berlangsung disekitarnya. Dengan kata lain, citra diri menentukan ekspresi dan persepsi orang. Tidak hanya citra diri, citra orang lain juga mempengaruhi cara dan kemampuan orang berinterakasi. Orang lain mempunyai gambaran  khas bagi dirinya. Jika seorang ayah mencitrakan anaknya sebagai manusia yang lemah, ingusan, tak tahu apa-apa, harus di atur, maka ia berbicara secara otoriter. Akhirnya, citra diri dan citra orang lain harus saling berkaitan, saling lengkap-melengkapai. Perpaduan kedua citra itu menentukan gaya dan cara komunikasi. Disini dapat disimpulkan keluarga adalah pembentuk budaya dalam mewujudkan citra diri, gaya, dan cara berkomunikasi.

Berikut ini contoh dari ajaran tentang citra diri dalam keluarga Jawa tentang citra diri:  ngundhuh wohing pakarti (menuai buah pekerti) yang bermakna setiap orang akan mendapatkan akibat dari perilakunya sendiri

#kebudayaan

#budaya

#antropologi

Makna dan Praktek Kehidupan, Simbol Antropologi

Domain kebudayaan disini adalah praktek budaya dalam seni dan ritual yang mencerminkan karakteristik individu (Silverstein, 1979 & 1981). Contoh dari makna dalam praktek kehidupan sebagai symbol antropologi adalah kehidupan dalam memahami bahasa yang valid, nyata, benar, dan bagus bagi dunia yang tidak boleh dirusak atau digantikan. Indonesia kaya akan symbol antropologi budaya dan bahasa. Kebudayaan dan bahasa membentuk sebuah prinsip yang mengikat setiap individu untuk melakukannya Levi-Strauss (1966). Bahasa dapat memberikan contoh refleksi budaya dan cara mereka berbagi ide dan pola pikir (Goodenough, 1970, 1981, 1964).

Bahasa merupakan perwujudan budaya masyarakat tergambar pada pepatah Jawa ajining diri dumuning ana ing lathi. Berbicara dengan bahasa yang sopan, dengan kata yang manis, dengan suara yang halus akan membuat simpatik. Dalam bahasa menunjukkan jati diri seseorang terungkap. Orang yang santun, santun pula bahasanya. Bahasa Jawa mengajarkan kepada kita tentang nilai-nilai kemanusiaan antara lain andap asor (rendah hati), empan papan, saling menghormati, pengakuan akan keberagaman, aja dumeh dan tepo seliro. Kesantunan dalam berbahasa Jawa didominasi oleh rasa, oleh karena itu kita sering mendengar orang Jawa mengatakan nek tak rasakake, menawi kula manih, saking manah kula. Ini menunjukkan orang Jawa didalam mengambil keputusan tidak hanya berdasarka logika tetapi rasa dan pikir atau nalar terjadi secara otomatis

Berikut ini adalah contoh-contoh prinsip atau norma didalam kebudayaan Jawa

  • Contoh ngoko lugu yang menunjukkan situasi tidak resmi, status sosial yang sama, berbicara dengan orang asing:

Sapa sing methuk tamu ana ing stasiun Gubeng?

Aku arep menyang pasar

Adhiku arep ditukokake wedhus

  • Contoh ngoko andhap antya basa yang menunjukkan situasi dimana penutur lebih tua daripada mitra tutur, antar priyayi yang sudah kenal dan akrab (kowe diganti seliramu):

Apa wingi seliramu (Kangmas) sido tindak menyang Ngayogya?

Wulan Nopember iki seliramu (Mbakyu) tak aturi rawuh ing kongres Basa Jawa ing Surabaya.

Adhiku arep dipundhutke menda ta pak

  • Contoh ngoko andhap basa antya yang menunjukkan situasi yang akrab dan saling menghormati.

Jare mirsani kethoprak, saiki tindak menyang endi?

Mau esuk tindak kantor, sore iki ngrawuhi pepanggihan ana ing RT

Adhik arep dipundhutke menda to pak

  • Contoh madya ngoko yang menunjukkan situasi akrab, tidak resmi, dan santai antara sesama teman, atasan kepada bawahan (kowe diganti “ndiko”):

Ndiko wayah ngeten kok lungo teng pasar

Kulo ajeng mantuk riyin

  • Contoh Madyatara yang dipakai oleh penutur kepada yang lebih muda atau memiliki derajat yang lebih rendah (kowe diganti kang sliro atau sampeyan):

Sampeyan (kang sliro) napa duwe perlu wigati kok gita-gita?

Kang sliro saiki nyambut gawe ana ngendi?

  • Contoh Madya krama yang dipergunakan untuk menghormati orang lain, tetapi sifatnya sementara dalam suasana yang akrab (tidak ada kosa kata goko kecuali akhiran –e dan –ake dan menggunakan sebutan ‘sampeyan

Wanci ngeten kok sampun kondur, napa empun rampung pandamelan sampeyan?

  • Contoh Basa Krama-Muda Krama yang dipergunakan oleh orng muda kepada orang tua, murid kepada guru, antar teman yang belum akrab. Bentuknya ialah krama, kosa kata krama inggil, kowe diganti dengan panjenengan, awalan dan akhiran krama.

Lho kok, kang Mas, panjenengan punapa saestu tindak dhateng rapat nitihsepeda motor punapan becak?

  • Contoh Basa Krama Kramantara yang dipergunakan dalam pembicaraan antar sesama tetapi si penutur tingkat status sosialnya lebih tinggi dan bukan di tempat umum. Bentuk tuturannya adalah krama. Kata ganti orang kedua ‘kowe’ menjadi ‘sampeyan’.

Sampeyan punapa sampun mlebet dados anggotanipun partai politik, partai punapa?

  • Contoh Basa Krama Wredakrama dipakai dalam pembicaraan oleh orang yang lebih tua kepada mitra bicara yang lebih muda. Betuk tuturannya ialah krama untuk awalan dan akhiran ngoko.

Kados pundi nak, rembag bab kemajenganipun nagari ing parlemen?

  • Contoh Basa Krama Inggil yang dipergunakan oleh orang yang tinggi status sosialnya karena asal usulnya dan jabatannya dimana mitra tutur usianya lebih tua. Krama inggil digunakan untuk menunjukkan rasa hormat.

Nyuwun duka Gusti, kala wingi dalem mboten saged dherekaken tindak dalem, awit anakipun dalem saweg sakit sanget.

  • Contoh Krama Desa yang dipergunakan oleh orang desa yang tidak memahami system tingkat tutur atau kaidah bahasa krama. Kosa kata dijadikan krama karena ingin menunjukkan rasa hormat kepada orang yang diajak bicara misalnya Gunung Kidul menjadi Redi Kidul, Boyo lali menjadi Boyo kesupen, sawahan menjadi sabenan.

Sampeyan punapa kersa mundhut sawo kagungan kula piyambak?

Kula badhe tindak dating sabinan methuk simbah

Punapa panjenengan saking Medunten?

  • Basa Kedaton atau Basa Bagongan adalah bahasa khusus yang dipaki oleh anggota kerajaan dan para pembantu (abdi dalem) bila ada pertemuan dengan raja atau melakukan percakapan di lingkungan kerajaan. Kata-kata yang termasuk bahasa kedaton adalah manise (aku), pukulun atau jengandiko (kowe), enggeh, punapi, boya (ora), seto (doyan), darbe (duwe), besaos (bae).

Pakenira mekaten ampun boya kekirangan punapa-punapi, bebasan kantun dhahar lan tilem besaos

 Basa Kasar adalah bahasa yang dipergunakan oleh penutur untuk merendahkan orang lain karena marah atau emosional

Yen kowe ora jegos, wis minggato kono

Gunung atau Gunungan, Samakah?

Didalam masyarakat Jawa, gunungan biasa dipakai dalam pewayangan, khususnya wayang purwa. Biasanya gunungan ini disebut juga dengan istilah kayon. Gunungan ini dipakai untuk melambangkan pohon kehidupan. Pohon kehidupan yang digambarkan didalam gunungan biasanya adalah pohon Nagasari yang melambangkan pohon kahyangan yakni pohon Dewandaru. Selain pohon kehidupan, juga terdapat gambar binatang yang melukiskan situasi alam.

Dalam pewayangan, ada dua macam gunungan, yakni: gunungan gapuran dan gunungan blumbangan yang diciptakan oleh seniman keraton Kasunan atas perintah Sri Susuhunan Paku Buwana II pada tahun 1737 Masehi atau 1659. Keunikan dari gunungan gapuran adalah gambar gapura (pintu gerbang) dan diatasnya terdapat gambar banteng dan harimau yang melambangkan konfrontasi antara yang baik dan yang buruk dan ada dua raksasa yang bersenjatakan gada dan perisai yang mengapit gapura disisi kiri dan kanan.

Didalam pewayangan, gunungan digunakan untuk membuka suatu lakon tertentu. Biasanya jika wayang atau lakon belum dimainkan, gunungan ditancapkan di tengah-tengah layar (kelir) dan posisinya sedikit condong ke kanan. Setiap lakon dalam pewayangan mengandung ajaran tentang kebijaksanaan dalam kehidupan.

#gunungan

#gunung

#jawa

Siapa Punakawan Sebenarnya?

“Puna” atau “Pana” dalam terminology Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakikat dibalik kejadian peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia sedangkan kawan berarti pamong atau teman. Jadi punakawan dimaknai seorang yang menjadi teman yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia.

Punakawan dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan berpikir, ketajaman batin, kecerdikan akal budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama, tidak bertentangan “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”.

Tokoh wayang yang dikenal memiliki sifat punakawan adalah Lurah Semar. Pada hakikatnya semar adalah manusia setengah dewa yang bertugas mengemban (momong) para ksatria sejati. Ki Semar adalah guru sejati atau sukma sejati yang merupakan hakikat tertinggi yang dianggap setiap ucapannya adalah kehendak Tuhan dimana para ksatria jika diasuh beliau akan beruntung karena negaranya menjadi adil dan makmur, gemah ripah, murah sandang pangan, tentram, selalu terhindar dari musibah. Punakawan adalah symbol kerendahan hati dan penebar hikmah yang dimiliki oleh Semar.

#punakawan

#wayang

Simbol Kepemimpinan Dalam Masyarakat Jawa

Dalam falsafah Jawa, pemimpin yang baik dianggap sebagai titisan Tuhan. Masalah kepemimpinan dalam masyarakat Jawa selalu dikaitkan dengan nilai-nilai ideal yang berorientasi pada dunia supra natural. Pemimpin yang terpilih adalah yang mendapat pulung/ndaru atau wahyu keprabon yang hinggap dalam dirinya sehingga ia sanggup menjadi perantara dunia dan alam gaib, dunia ilahi. Oleh karena itu, pemimpin yang baik adalah orang yang mampu terjemahkan nilai-nilai keadilan dalampraktisi kehidupan.

Tanda-tanda pemimpin sejati (Astabratha) terurai dalam delapan (asta) brata: a) Watak bumi: symbol kemurahan hati seorang pemimpin yang senantiasa memberi kepada sesama, tanpa pamrih menyediakan apapun yang dibutuhkan bagi rakyat yang hidup dibawah naungannya; b) Api: symbol energy dan kekuatan, bukan materi. Kesanggupan dan keberanian untuk menyelesaikan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara; c) Air atau banyu: adalah watak yang menggambarkan pemimpin harus selalu mengalir dinamis dan memiliki watak rendah hati, andhap asor dan santun dan tidak sombong; d) Watak angin atau udara: watak yang memberikan hak hidup kepada masyarakat dengan memperhatikan kenyamanan bagi masyarakat yang dipimpinnya; e) Surya atau matahari: pemimpin harus menjadi penerang dan pemberi energi kehidupan; f) Bulan atau candra: memiliki kelembutan yang menentramkan; g) Bintang atau kartika: Pemimpin harus menjadi orientasi dan panutan sekaligus mampu memahami perasaan masyarakatnya; Langit atau angkasa: Pemimpin harus memiliki keluasan hati, perasaan, dan pikiran dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa dan Negara.

#jawa

Ciri-ciri Fonetis Dalam DIstribusi Komplementer

Distribusi Komplementer merupakan ciri-ciri fonetis yang mengarah pada terima atau tidak terimanya suatu gabungan bunyi oleh masyarakat penuturannya. Adapun  Vokal dan Konsonan Bahasa Jawa, secara ringkas diuraikan sebagai berikut:

  1. Fonem Vokal

Bunyi vokal dibedakan berdasarkan posisi lidah dalam mulut, bentuk bibir, dan tingkat pembukaan mulut.

Bunyi vokal dalam bahasa jawa ada sepuluh yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ε/, /ә/, /ʊ/, /ͻ/, dan /I/. Sedangkan fone, bahasa jawa  ada enam yaitu [a], [i], [u], [e], [o], dan [ͻ]. Serta simbol fonetik ada sepuluh yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ε/, /ә/, /ʊ/, /ͻ/, dan /I/.

  1. Fonem Konsonan

Konsonan merupakan bunyi yang timbul akibat udara yang keluar dari paru-paru melalui rongga mulut dan rongga hidung. Yang terpenting  dalam konsonan adalah daerah artikulasi dan cara artikulasi.

Ø  Bunyi Bilabial,  yaitu bunyi bahasa yang dihasilkan oleh kedua bibir yang saling menyatu. Yang termasuk bunyi bilabial yaitu [b], [p], [m], dan [w].

contoh:            -biyung [biyʊŋ]           -rebab [rәbab]              -anteb [antәb]

-palsu [palsu]               -sapi [sapi]                   -karep [karәp]

Ø  Bunyi Dental atau Alveolar, yaitu bunyi bahasa yang dihasilkan oleh daun lidah yang menempel gigi/gusi depan atas bagian dalam.  Yang termasuk bunyi dental yaitu [d], [t], [s], [n], [r], dan [l].

contoh:                        -adil [adɪl]       -babat [babat]              -wekas [wәkas]

-apal [apal]      -reged [rәgәd]             -sikil [sikɪl]

-nakal [nakal]

Ø  Bunyi Retrofleks

adalah bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan ujung lidah bagian bawah yang menempel atau menyentuh langit-langit keras karena hembusan udara dari paru-paru.

Contoh:           -dhawuh [ɖawʊh]        -godha [goɖɔ]

-thuthuk [ʈuʈʊʔ]           -pathi [paʈi]

Ø  Bunyi Palatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh pelepasan daun lidah yang menempel pada langit-langit keras yang disertai hembusan udara dari paru-paru. Yang termasuk bunyi palatal adalah [j], [c], [z], [y], [ʃ], dan [ɲ].

Contoh:                   -jipuk [jipʊʔ]                    -lunyu [luɲu]               -cekel [cәkәl]

-pacul [pacʊl]

Ø  Bunyi Velar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh rongga tenggorokan. Yang termasuk bunyi velar adalah [g], [k], [x], dan [ŋ].

Contoh:           -gedhe [gәɖә]              -kawat [kawat]            -ngilo [ŋilo]

Ø  Bunyi Glotal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh pita suara tertahan di tenggorokan. Yang termasuk bunyi glottal yaitu [h] dan [ʔ].

Contoh:           -tahu [tahu]                             -takwa [taʔwa]

-dhahar [ɖahar]                        – bapak [bapaʔ]

  1. Konsonan Homogan

Konsonan homorgan adalah konsonan yang berasal dari satu daerah artikulasi. Seperti bunyi [b] dan [p], [f] dan [v], [d] dan [t], [ɖ] dan [ʈ], [j] dan [c], dan [g] dan [k].

Contoh : -bubut [bubʊt]           ><        puput [pupʊt]

‘cabut’                                 ‘putus’

-bakul [bakʊl]          ><        wakul [wakʊl]

‘penjual’                             ‘tempat nasi’

  1. Fonem Khas Bahasa Jawa
  2. Bunyi Aspirat

Semua bunyi hambat bersuara dan takbersuara dalam bahasa jawa cenderung diikuti bunyi aspirat, yaitu bunyi frikatif glottal takbersuara, atau bunyi [h].

Contoh:           -bapak             →  [bʰapʰaʔ]

-sapa                →  [sɔpʰɔ]

-ketan              →  [kәtʰan]

-adus               →  [adʰʊs]

-adhi                →  [aɖʰi]

-thuyul             →  [ʈʰʊyʊl]

-jembar            →  [jʰәmbʰar]

-ucul                →  [ucʰul]

-gulu                →  [gʰulu]

  1. Bunyi Pranasal, yaitu bunyi yang mendahului nasal.

Contoh:           -bali                 → [ᵐbali]

-boten              → [ᵐboten]

-gresik             → [ᵑgʰrәsɪʔ]

  1. Diftong dan Monoftong

Ø  Diftong atau Vokal Rangkap

Diftong merupakan deret dua fonem vokal yang berbeda yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Contoh: danau, pulau, kerbau dsb.

Bunyi [au] pada contoh tidak dapat dipisahkan menjadi *dana-u, *da-na-u, *pula-u, *pu-la-u.

Ø  Monoftong atau Vokal Tunggal

Contoh:           danau  → dano           satai     → sate

Pulau   → pulo            gulai    → gule

  1. Gugus Konsonan (Klaster)

Klaster adalah dua konsonan yang berbeda berderat dan membentuk satu kesatuan.

Contoh:           -[bl]     → blirik, blarak, bleseg

-[pr]     → priya, prentah, prawan

-[gr]     → griya, grendhel, grudug

-[ky]    → kyai, mangkya

-[sw]    →swiwi, swara, swargi

#phonetic

#phoneme

Logo BST Adalah Wayang

Wayang berarti bayangan, gambar, citraan. Zaman pra sejarah (sebelum orang Hindu), alam pikiran nenek moyang orang Jawa masih sangat sederhana. Mereka selalu dikuasai keinginan untuk mengetahui seluk beluk semua masalah yang berada di sekelilingnya. Mereka percaya bahwa roh yang sudah mati dianggap masih tinggal didaerah sekelilingnya. Roh orang yang sudah meninggal diapandang sebagai pelindung yang kuat artinya dapat memberikan perlindungan kepada orang-orang yang masih hidup. Kehadiran roh yang telah meninggal tersebut diharapkan dapat memberi pertolongan dan bantuan atau berkah kepada mereka yang masih hidup.

Berdasarkan angan-angan itu dengan sendirinya orang sampai pada suatu usaha mendatangkan roh-roh itu. Kesempatan itu adalah kesempatan yang sangat penting karena mereka yang masih hidup dapat menghormati roh leluhurnya. Dengan peristiwa ini orang tersebut merasa terjamin kelangsungan nasib baik, kebahagian dan kemakmuran. Harapan-harapan itulah yang mendorong orang menghasilkan pembuatan wayang, dimana orang dapat membayangkan roh-roh yang telah meninggal. Gambar dari roh-roh tersebut bukan gambar realistis dari nenek moyang tapi berwujud remang-remang atau semu.

Wayang melukiskan manusia, binatang, raksasa, tooh berbudi halus, kuat, lucu. Setiap tokoh yang terdapat dalam wayang memiliki ragam yang disebut wanda. Wanda adalah penggambaran watak yang mengungkapkan perasaan dan keadaan tertentu. Setiap tokoh dapat memiliki 4, 5 bahkan 12 wanda yang masing-masing memiliki perasaan dan keadaan berbeda. Hal ini dilihat dari “tundukan kepala, badan, lekukan mata, mata dan mulut, jarak antara mata dan mulut, serta warna yang digunakan.

Pementasan wayang diadakan dalam berbagai acara keluarga dan sosial untuk menjaga kesejahteraan dan keselamatan, misalnya: upacara tingkepan, khitanan, perkawinan, ruwatan, bersih desa.

 #wayang

Fenomena Sosial atau Social Phenomenon

Manusia hidup didalam kelompok sosial sehingga mereka tidak dapat hidup sendiri atau mereka hidup dengan struktur berpasangan dan saling membutuhkan dengan orang lain. Interaksi tersebut merupakan hukum alam yang harus dijalani yang sudah menjadi ketentuan manusia untuk menjaga hubungan dengan sesama manusia dan Tuhan. Fenomena sosial ini pun akhirnya muncul sebuah fenomena bagaimana manusia itu mengetahui dan membuat pilihan yang mana yang berguna dan mana yang tidak berguna bagi mereka sehingga ada praktek budaya didalam kehidupan mereka sehari-hari yang dianggap sebagai pemahaman pribadi (private understanding) yang menjadi symbol budaya lokal (Geertz, 1973:10-11).

Berikut ini adalah symbol dari budaya lokal Jawa yang menjadi fenomena sosial di masyarakat Jawa didalam berinteraksi dan didalam membuat pilihan hidup

  1. Aksara Jawa (ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga)

Keluhuran budaya Jawa tercermin dalam pemaknaan para leluhur terhadap makna huruf-huruf atau aksara Jawa. Huruf  da-ta-sa-wa-la memiliki makna kehidupan manusia adalah sebuah ketentuan yang memiliki batas waktu. Semua makhluk hidup akan mengalami kematian dan tidak abadi. Oleh karena itu manusia tidak bisa sawala atau mengelak dari kehendak dan kepastian dari Allah. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, manusia harus senantiasa bersedia menerima, melaksanakan, dan memenuhi takdir dan nasib manusia. Akan tetapi, karena manusia tidak mengetahui nasibnya seperti apa, maka ia berkewajiban untuk bekerja sebaik mungkin dan berusaha sekuat kemampuannya untuk memenuhi takdir yang baik dari Allah kemudian menyerahkan segalanya  kepada kehendak Tuhan.

Pa-dha-ja-ya-nya berarti menyatukan zat pemberi hidup (Khalik) dengan yang diberi hidup (makhluk). Kalimat ini juga bisa berarti menyatunya kata dengan perbuatan, selarasnya ungkapan dan tindakan yang membuat manusia dihargai karena jujur dan dapat dipercaya. Dalam bahasa Jawa, padha artinya “ sama”, sesuai, jumbuh, cocok, manunggalna lahir batin, kata tindakan yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan budi pekerti. Dengan perilaku semacam ini, orang menjalaninya akan mencapai ke-jaya-an. Jaya berarti menang atau unggul dalam arti yang sungguh-sungguh, bukan sekedar menang-menangan.

Ma-ga-ba-tha-nga berarti taqwa, yaitu berusaha melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan Allah dengan sekuat tenaga berupaya menjauhi apa yang dilarang Allah, Zat yang memberi hidup dan penghidupan. Manusia harus pasrah-sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya. Namun ada garis ketentuan Allah yang tak dapatdirubah manusia yaitu kelahiran dan kematian. Keduanya tidak dapat dihindari oleh manusia manapun, tanpa memandang status sosial, pangkat, jabatan maupun kekayaan.

#hanacaraka

#socialphenomenon