
Diatas telah diuraikan secara singat batasan konsep orang, sekarang saya berpindah ke beberapa perbedaan antar budaya dalam pengucapannya, Ideologi lokal kepribadian. Saya mulai dengan yang familiar bagi sebagian besar pembaca– Konsep orang Eropa Barat. Ideologi tempat mungkin akan diringkas dalam satu kata, individualisme, yang mungkin sangat ditekankan dalam Budaya Amerika. Alasan ideologi ini adalah otonomi egosentris personal, yang diringkas oleh Geertz (1983:59) dalam penjelasan klasik berikut:
Konsep Barat tentang orang seperti terikat , unik, lebih atau kurang mempersatukan seluruh teori motivasional, pusat kesadaran dinamis, emosi, pertimbangan dan tindakan yang disusun ke dalam seluruh dan sekumpulan perbedaan khusus terhadap keseluruhan yang lain pada latar belakang sosial dan alam..Pada ideologi egosentris individualis orang, individu memperbudak masyarakat, pada fashion yang berhubungan dengan pemikiran filsuf seperti Hobbes dan Locke, masyarakat membayangkan terciptanya “kontrak sosial” untuk menjaga kepentingan mengidealkan otonomi individu, independen atau masyarakat, sebelum hidup didalamnya. Para individu ini lebih penting dari setiap kelompok pemilihnya. Indikasi dari semua ini adalah pentingnya budaya Barat yang bertempat pada orang dan sifat orang, ini menegaskan adanya pemusatan individu dengan keinginan dan kebutuhannya.
Apakah sifat dari individu sebenarnya? Kebebasan dari paksaan dan sifat otonomi dalam tindakan telah memasuki kriteria ideologi orang sebagai individu. Perhatikan bahwa yang ditangkap dari gerakan feminis yaitu, “orang dengan haknya sendiri” secara tidak langsung menghubungkan kepribadian dengan hak individu atas tindakan dan kebebasan dari paksaan. Setiap orang dipandang memiliki hak yang tidak bisa direnggut pada otonomi yang diklaim oleh individu. Setiap individu adalah unik, tapi semua, setidaknya secara ideologi, memiliki hak yang sama, sistem etika umum yang berpengaruh terhadap semua hubungan sosial, tak diragukan lagi merupakan hasil moralitas para universalis budaya Barat berdasarkan agama Kristen, supaya, menurut ajaran agama Kristen, komponen spiritual yang diberikan ke seluruh orang dalam jumlah yang tak terhitung yang mana harus diakui sebelum secara kemanusiaan atau secara sosial menciptakan sebuah nilai. Ini membawa kita pada pandangan orang sebagai individu, perwujudan absolut sebuah nilai dalam haknya sendiri, dan bukan benar-benar pada kedudukannya dalam setiap pola sosial. Ketidaksamaan yang sebenarnya diantara manusia secara ideologi diterjemahkan sebagai hasil persaingan bebas untuk mendapat penghargaan status antar individu yang menurut teori adalah sama, terlindungi melalui sekumpulan peraturan dan hukum dalam “kontrak sosial”. Tetapi gagasan pada perbedaan status yang tidak sama dan peluang individu yang sama dapat dengan mudah dibedakan. Ini merupakan prinsip yang terdapat dalam sistem yang telah berlaku pada birokrasi organisasi, sebagaimana pengertian oleh Max Weber (1968[1922]). Karakteristik birokrasi yang telah dijelaskan Adalah perbedaan antara pegawai dan pemimpin pegawai atau peran sosial yang tidak sama dan sama dengan individu. Pembagian tugas pegawai pada orang tertentu telah ditentukan, setidaknya secara ideologi, oleh kemampuan individu, tidak berdasarkan pada koneksi sosial. Jadi, ketidaksamaan dan hierarki merupakan ciri-ciri masyarakat; setiap orang adalah bebas dan sama dengan individu.
Konsep egosentris individualis orang pada budaya Barat dianggap kontras dengan berbagai tradisi budaya. Budaya sebelumnya bersifat sosiosentris, konteks tergantung pada konsepsi kepribadian (Scweder dan Bourne 1984). Pada budaya ini budaya individu dan otonominya tidak diperlakukan sebagai pemahaman lokal orang, agaknya menempel pada konteks sosial merupakan hal yang menyangkut definisinya sebagai orang. Jadi, kepribadian dalam istilah sosiosentris merupakan atas dasar kedudukan sosial khusus yang ditempati manusi. Konsep sosiosentris kepribadian memandang kebaikan social grouping secara fundamental dan membawahi keinginan dan kebutuhan individu pada kebaikan bersama. (Perhatikan disini bahwa poinnya adalah tidak untuk berpendapat bahwa budaya sosiosentris secara eksplisit telah menuturkan ideologi kepribadian sejajar dengan ideologi Individualisme Barat (meski apakah semua masyarakat Barat secara eksplisit peduli terhadap koherensi ideologi yang menciptakan prinsip individualisme yang tercatat untuk diperdebatkan secara serius); agaknya, pernyataannya bahwa pemahaman kepribadian, apakah itu diam-diam atau tidak, dijadikan, dibangun ke dalam berbahasa dan perilaku budaya dan dengan demikiran, ditanamkan dalam tindakan naluriahnya. Tentunya dengan kepercayaan yang dilepaskan melalui kontak budaya, yang mungkin akan dituturkan, seperti halnya yang dikatakan pelajar Bali setelah 2 tahun hidup di Australia, menuturkan pemahaman aslinya, “Kita (orang Bali) punya budaya berkumpul.”) Konsepsi lokal orang secara luas telah ada, contohnya oleh budaya yang sebaliknya sangat berbeda seperti di Bali dan tanah Gahuku di New Guinea.
Bali (Geertz 1983: 62):