Relativitas Linguistik dan Tradisi Boasian

Tradisi Boasian menurut Foley (1997) diambil dari nama Franz Boas yang lahir dan dilatih di Jerman. Tidak mengherankan jika banyak gagasan khas dari tradisi Boasian, termasuk relativitas linguistik dan memiliki prekursor dalam pemikiran Jerman abad kesembilan belas. Semua pemikiran Jerman pada periode ini tentu saja berada dalam bayangan sintesis filosofis Kant yang hebat, sehingga sikap epistemologisnya (yaitu bahwa kategori mental dipaksakan pada pengalaman yang masuk akal) diterima secara luas. Tetapi warisan Kant dikaitkan dengan penekanan romantisme pada kreativitas bebas dan individual, dan makna subjektifnya, yang mengarah pada campuran relativis neo-Kantian yang membingungkan dan memperdebatkan keragaman di antara kategori mental masyarakat menurut budaya, ras, bangsa, dengan akibat perbedaan pengalaman dan harapan mereka.

Boas

Boas yang telah dilatih di Jerman, menurut Foley (1997) mengimpor tradisi intelektual Jerman Herder dan Humboldt ke Amerika Serikat, yang saat itu adalah tokoh sentral dalam tradisi antropologi dan antropologi Amerika. Boas menerima gelar Ph.D. tidak dalam disiplin ilmu ini, namun dalam psikofisika, dan memiliki motivasi yang dalam mendalami pekerjaannya secara empiris yang didasarkan pada antropologi dan linguistik. Hal ini sesuai dengan perannya dalam bereksperimen mengenai ilmu pengetahuan alam. Dia menemukan ketertarikan dalam studi komparatif dan analisis tentang berbagai budaya dan bahasa penduduk asli Amerika Utara, Indian Amerika. Dia mendalami antropologi dan linguistik dalam kerja lapangan di antara budaya dan bahasa. Oleh karena itu, benar-benar untuk pertama kalinya, gagasan Herder dan Humboldt dapat diselidiki berdasarkan fakta empiris yang solid. Boas berpendapat bahwa pembentukan kategori, bahasa, atau etnografi yang tidak disadari, adalah fakta mendasar tentang kehidupan manusia, namun penyelidikan kategori linguistik sangat penting karena mereka selalu tidak sadar dan dapat dipelajari untuk mengetahui apa yang mereka nyatakan tentang konstruksi simbolis budaya.

Sapir

Edward Sapir adalah murid linguistik Boas yang paling cemerlang dan mungkin ahli bahasa Amerika termasyhur pada abad kedua puluh. Dia melanjutkan banyak tema Boas. Namun beliau menambahkan pandangan strukturalis tentang bahasa sebagai sistem koheren dari seperangkat subsistem yang saling terkait dengan gagasan Kantian, guru tentang kategori linguistik sebagai klasifikasi pengalaman. Dengan demikian, setiap bahasa adalah sistem yang secara formal lengkap, keragamannya membuat bahasa tidak sebanding satu sama lain sampai tingkat tertentu (Sapir, 1964 dalam Foley, 1997). Bagi Sapir, sebuah bahasa adalah saluran yang membatasi penuturnya untuk menafsirkan pengalaman, serupa dengan salah satu dari model listrik, bukan cerminan dari beberapa realitas yang sebelumnya diberikan secara independen, baik fisik maupun mental.

Whorf

Benjamin Lee Whorf bukanlah seorang akademisi professional. Setelah mendapat gelar sarjana insinyur kimia, dia bekerja sebagai penyidik ​​perusahaan asuransi dan mempelajari linguistik di waktu senggangnya. Dia berhubungan dengan Sapir setelah terakhir kali datang ke Universitas Yale pada tahun 1931 dan terus melakukan kontak intensif dengan ahli bahasa profesional sejak saat itu sampai kematiannya pada tahun 1941. Whorf adalah nama yang paling akrab dikaitkan dengan Prinsip Relativitas Linguistik, walaupun sebagian besar pemikirannya langsung terinspirasi oleh Sapir. Namun, Whorf berlatih sebagai ilmuwan alam dan minatnya yang tidak biasa membuatnya berhasil menguraikannya dengan caranya sendiri. Dia mengikuti Boas dalam melihat kategori linguistik sebagai kelas inheren dan Sapir dalam desakannya terhadap sistematika kategori ini, namun dia memperkenalkan perbedaan baru dan penting antara dua jenis kategori: terbuka dan tertutup.

Model, Metafora dan Kategori Gramatikal

Model, metafora, dan kategori gramatikal dalam kali ini dimulai dari pernyataan bahwa inti metafora sangat penting pada saat kata-kata leksikal independen sebelumnya dianalisis kembali sebagai morfem gramatikal, seringkali harus melalui proses metaforis. Misalnya kepala ranjang, kaki gunungnya, benda-benda tubuh dapat digunakan untuk menunjukkan bagian benda mati, namun dengan lebih komprehensif.

Kembali ke bahasa Angkola, analisis akan ditelusuri berdasarkan beberapa contoh yang diambil dari penelitian Daulay (2016) dan dimodifikasi oleh penulis.

Adapun anggota tubuh yang dapat bersifat metaforis jika digabung dengan kata benda yang lain adalah:

  1. Mata yang bahasa Angkolanya juga mata terdiri dari:
  2. Mata ni angin

N     prep N

mata dari angin

‘mata angin’

  1. Mata ni ari

N     prep Ket.

mata dari hari

matahari

 

  1. Mata ni pat

N     prep N

mata dari kaki

‘mata kaki’

Berdasarkan ketiga contoh mata di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kata mata (nomina) sebagai bagian dari anggota tubuh dapat mewujudkan sebuah benda yang baru jika digabungkan dengan kata angin (nomina), ari (nomina), dan pat (kaki). Mata yang berfungsi untuk melihat dapat berubah menjadi mata dalam mata ni angin untuk menentukan duabelas arah angin, mata dalam mata ni ari sebagai cahaya dan sumber energi bagi kehidupan di bumi, mata dalam mata ni pat sebagai tanda pergelangan pada kaki.

  1. Kepala yang bahasa Angkolanya adalah ulu terdiri dari:
  2. Godang ulu

Adj        N

Besar kepala

‘besar kepala’

Kata ulu ‘kepala’ (nomina) pada contoh di atas bukalah sebuah kepala yang bentuknya besar, tetapi seseorang yang seolah-olah menganggap dirinya sudah sangat hebat karena banyaknya pujian yang datang kepadanya. Kata ulu sebagai anggota tubuh manusia yang berada paling atas adalah bagian tubuh yang paling terhormat. Tetapi ketika ulu itu digabungkan dengan kata godang ‘besar’ (adjektiva), maka telah menjadi besar kepala karena pujian yang berlebihan. Akibatnya, dari ulu tersebut akan melahirkan sikap yang negatif yang akan berdampak pada perilaku orang tersebut. Dengan demikian, orang yang memiliki sikap tersebut tidak akan disukai dalam komunitasnya.

  1. Tangan yang bahasa Angkolanya juga tangan terdiri dari:
  2. Ginjang tangan

Adj        N

Panjang tangan

‘panjang tangan’

Kata tangan (nomina) ini merupakan bagian dari anggota tubuh yang dapat mengambil atau memberikan sesuatu pada yang lain. Pada saat kata tangan ini digabungkan dengan kata ginjang ‘panjang’ (adjektiva), bukan berarti ukurannya yang panjang, tetapi sikap yang mencerminkan sanggup mengambil barang yang bukan miliknya. Dengan kata lain dapat disebut dengan panangko ‘pencuri’.

  1. Muka yang bahasa Angkolanya adalah muko terdiri dari:
  2. Pasuo muko

V         N

bertemu muka

‘tatap muka’

Berdasarkan contoh di atas, muko ‘muka’ (nomina) sebagai pembeda antara satu dengan yang lain dan berada di sebelah depan. Apabila digabungkan dengan kata pasuo ‘bertemu’ (verba) di sebelum kata muko ‘muka’ tadi, maka akan menjadi tatap muka atau bertemu dengan berhadap-hadapan.

  1. Kaki yang bahasa Angkolanya adalah pat terdiri dari:
  2. Pat ni meja

N   prep N

kaki dari meja

‘kaki meja’

Kata pat ‘kaki’ (nomina) merupakan salah satu dari bagian anggota tubuh sebelah bawah yang berfungsi untuk berjalan. Namun apabila digabungkan dengan kata meja (nomina), maka akan menunjukkan bagian kaki dari meja itu. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kaki meja adalah tiang-tiang penyangga meja dengan ukuran yang proporsional sesuai dengan bentuk mejanya. Dengan demikian, kaki meja dapat menyempurnakan letak meja pada suatu ruangan karena dapat berdiri dengan baik.

Model dan Metafora Kultural: Emosi Dalam Bahasa Inggris

Metafora emosi dalam bahasa Inggris Amerika adalah marah (Lakoff dan Kuvecses, 1987 dalam Foley, 1997) dan cinta (Kovecses, 1986 dalam Foley, 1997). Marah dan cinta ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Foley (1997).

Berikutnya, akan dijelaskan metafora emosi dalam dalam bahasa Angkola. Berdasarkan penelitian Siregar dan Setia (2013) bahwa metafora cinta dalam bahasa Angkola kaya dengan ekspresi metaforis untuk menyatakan cinta. Konsep holong ‘cinta dan kasih sayang’ menjadi sumber hukum adat masyarakat. Hal ini terungkap holong manjalahi domu ‘kasih sayang akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan’ dan domu manjalahi holong ‘persatuan dan kesatuan akan menumbuhkan kasih sayang’ (Lubis dalam Siregar dan Setia, 2013).

Contohnya:

  • Hami sannari giot padomu

Kami sekarang mau rajut sayang

‘Kami sedang merajut cinta.’

  • Parrosuan on adong bondul makkalang.

Hubungan ini ada aral melintang

‘Hubungan ini mendapat rintangan.’

 

Konsep cinta diungkapkan dengan kata holong pada (1) dan dibentuk oleh kombinasi kata parrosuan ‘hubungan’ dengan bondul makkalang ‘aral melintang´pada (2). Interpretasinya ialah (1) mengekspresikan CINTA sebagai KESATUAN (melalui kata padomu), sedangkan (2) mengekspresikan CINTA sebagai PERJALANAN (melalui kata bondul makkalang).

Metafora cinta ini mempenyai nilai signifikansi yang tinggi sebagai sebuah konsep emosi. Ciri-ciri semantik pada konsep cinta kadang-kadang bertumpang tindih dengan konsep emosi lain. Misalnya konsep gembira sebagai berikut.

  • Matania bolnang.

Matanya terbelalak

‘Matanya berbinar.’

  • Mukonia jeges.

Mukanya cantik

‘Mukanya berseri-seri.’

  • Parmikimnia manarik.

Senyumnya menarik

‘Senyumnya sumringah.’

 

Metafora pada kalimat 3, 4, dan 5 mencerminkan salah satu dari dua keadaan emosional, yakni cinta atau gembira. Tanpa pelibatan konteks, contoh-contoh itu cenderung ditafsirkan sebagai metafora gembira. Hal ini menunjukkan bahwa metafora cinta dalam bahasa Angkola mengandung potensi ketaksaan yang tinggi sehingga tingkat analisisnya lebih rumit. Dengan demikian, agar diperoleh interpretasi yang tepat perlu disediakan bukti-bukti pendukung tentang fenomena seperti itu.

Aliran Metafora dan Pemahaman Arti

Metafora merupakan bagian dari bangunan metafora yang besar (Reddy dalam Foley, 1997). Kemudian, teori bentuk bahasa dan penguasaan bahasa dalam budaya Barat, menurut Johnson (dalam Foley, 1997) terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  1. Gagasan atau pemikiran adalah objek.
  2. Kata dan kalimat adalah wadah untuk benda-benda ini.
  3. Komunikasi terdiri dari menemukan kata yang tepat.

Apabila direalisasikan ke dalam bahasa Angkola, maka akan terlihat seperti pada penjelasan Harahap (2004) berikut.

  1. Gagasan atau pemikiran adalah objek.

Gagasannya adalah sebuah objek bernama siala. Siala bernama Latin Nicolaia speciosa HORAN (Elettaria sspeciosa BL) tumbuh di berbagai tempat di Indonesia. Pakar botani, seperti Georg Ebehard Rhumpius (1627-1702), Justus Karl Hasskari (1811-1894), K. Heyne, Valeton, Jasper, Pirngadie, dan lain-lain menyatakan bahwa tumbuhan ini sangat berguna bagi manusia.

Palak adalah bunga siala yang masih kuncup berwarna merah yang dipakai juga sebagai penyedap gule bulung gadung na niduda. Sayur ini merupakan sayur yang paling popular di kalangan masyarakat di daerah ini. Batang siala biasa dijadikan anyaman atau tali setelah diproses, antara lain dilulus, dipanaskan di atas api, atau bisa juga dijemur di bawah sinar matahari. Setelah layu, lembaran-lembaran lapisan batang itu diiris dengan memakai jangka. Alat ini terbuat dari beberapa mata pisau dari seng yang dipasang dengan jarak yang sama pada belahan bambu yang sudah dihaluskan berukuran lebar 5 cm panjang 15-20 cm, sehingga irisan kulit batang siala itu berukuran sama. Kemudian direndam selama satu malam, sesudah itu dijemur. Kulit batang siala yang telah kering dihaluskan dan diratakan permukaannya dengan menggunakan sebilah bambu yang dibuat kias. Setelah itu siap untuk dianyam atau dijadikan tali yang cukup kuat.

  1. Kata dan kalimat adalah wadah untuk benda-benda ini.

Karena buah siala merupakan buah yang banyak, tersusun rapih dan kuat sekali menempel pada tandannya. Keadaan kata siala yang seperti itu, menarik perhatian leluhur kita dan menjadikannya sebagai satu perumpamaan bagi pergaulan yang kuat, setia, dan jujur. Kemudian, kalimat ungkapan yang lahir dari kata siala adalah:

Songon siala na sampagul

Rap tu ginjang rap tu toru

Muda malamun saulak lalu

Mula magulang rap margulu

Bagaikan siala setandan

Bersama ke atas bersama ke bawah

Jika ranum, serentak ranum

Jika terguling, sama berlumur

#metaphor

#metafora

Metafora dan Pengalaman yang Diwujudkan

Sumber domain sebagian besar berpusat pada pengalaman yang diwujudkan. Pemahaman manusia terhadap setiap target domain pertama terstruktur, khususnya pada tubuh manusia dan interaksi dunia fisik sehari-hari, dan inilah yang menjadi sumber metafora (Lakoff dalam Foley, 1997).

Pengalaman yang diwujudkan dari sebuah metafora dapat dilihat dari arah atas, bawah, kanan, dan kiri. Misalnya pada metafora mata guru, roha sisean yang artinya mata sebagai guru, hati sebagai bacaan. Makna metaforanya adalah mata untuk melihat dan hati yang menyaringnya baik atau tidak. Apabila dilihat dari arah atas, bawah, kanan, dan kiri, maka akan terlihat sebagai berikut.

Untuk metafora mata guru, yang diambil adalah salah satu anggota tubuh, yaitu mata. Mata merupakan salah panca indera yang digunakan untuk melihat. Mengapa dimetaforakan sebagai guru? Karena semua awal perbuatan kita berasal dari apa yang kita lihat, apakah kita akan berperilaku positif ataupun berperilaku negatif, tergantung dari respon mata kita tadi.

Kemudian, roha sisean berarti hati bacaan maksudnya hati membaca apa yang telah dilihat tadi. Hati dimetaforakan sebagai perpustakaan yang dapat membaca apakah yang dilihat tadi pantas atau tidak, baik atau tidak, dan seterusnya.

Demikianlah salah satu metafora dengan pengalaman yang diwujudkan dari bahasa Angkola, dapat menggunakan bagian tubuh yang mengandung makna filosofis. Metafora dalam bahasa Angkola sungguh banyak, apalagi yang dikiaskan dalam bahasa adat. Berikutnya dapat diperdalam dalam buku Sutan Managor (1995) Pastak-Pastak ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan. CV. Media Medan: Medan.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

Managor, Sutan. 1995. Pastak-Pastak ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan. CV. Media Medan: Medan.

#metafora

#lakoff

#foley

Metafora Sebagai Bangunan Dari Pemahaman

Banyak studi dalam linguistik antropologi sejak tahun 1980. Masalah yang diperhatikan adalah konstruksi model dalam bahasa untuk menafsirkan pengalaman. Contohnya teori umum tentang listrik karena mekanisme listrik pada dasarnya tidak terlihat sehingga orang menggunakan model untuk menjelaskannya agar wujudnya dapat dipahami (Foley, 1997).

Seiring berjalannya waktu, selain masalah teknologi yang dimetaforakan dan dibuat modelnya, maka hal ini berkenaan pula dengan bidang-bidang bahasa lainnya. Misalnya, pada bahasa Angkola, metafora mardakka abara adalah pesan yang selalu disampaikan kepada pengantin wanita. Karena mardakka ‘bercabang’ dan abara ‘bahu’ bila diartikan secara etimologi maka akan bermakna bahu yang bercabang. Namun hal ini tidak masuk akal sebab tidak mungkin bahu seseorang dapat bercabang. Dengan demikian, inilah yang disebut dengan metafora. Modelnya adalah bahu yang bercabang, makna metaforanya adalah memiliki keturunan yang banyak.

            Hal mendasar yang perlu diketahui tentang metafora adalah kita menggunakan informasi yang kita miliki tentang satu domain yang yang dikenal (Foley, 1997). Misalnya, bahasa Angkola, ketika ada seseorang mengatakan songon itik surati ‘seperti itik surati’ maka itu berarti menyatakan lambat. Bangunan pemahaman yang telah dibentuk adalah itik surati merupakan salah satu hewan yang jalannya lambat. Karena itu, jika ada seseorang yang pergerakannya lambat maka akan dimetaforakan menjadi itik surati sebagai sindiran yang akan membuat orang lambat tersebut berubah.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#williamfoley

#metafora

#stylistics

Relativisme dan Enaksionisme Bahasa Daerah

Relativisme sangat sesuai dengan enaksionisme atau pendekatan praktik yang diwujudkan dalam pengetahuan: pengetahuan tidak dikodekan dalam pikiran seorang peneliti, namun diwujudkan dalam kebertahanan sejarah dari praktik budaya atau bahasa dari suatu komunitas. Pemahaman adalah hasil dari sejarah interaksi seseorang, sejauh apapun perbedaannya, hasilnya sangat relatif bagi siapa saja (Foley, 1997).

Misalnya, dalam budaya Jawa, makanan yang khas salah satunya adalah pecel lele. Pecel lele merupakan sebuah hidangan yang terdiri dari nasi putih, ikan lele goreng, sambal terasi, dan lalapan yang terdiri dari kemangi, kol, dan timun.

Berdasarkan komposisi hidangan tadi, maka dinamakanlah pecel lele. Sementara itu, dalam bahasa Angkola pemahaman tentang konsep pecel dalam bahasa Jawa tadi yang diimajinasikan adalah pecal bahasa Angkolanya adalah pocal. Pocal terdiri dari beberapa rebusan sayur kacang panjang, daun ubi, jantung, genjer, mie kuning, irisan telur rebus, kerupuk merah yang dicampur dengan ulekan kuah kacang berbumbu dan langsung digabungkan di atas penggilingan batu. Ketika orang Angkola pertama kali mendengar kata pecel lele yang dibayangkan adalah ikan lele dicampur dengan sayuran rebus berkuah kacang tadi karena background knowledgenya seperti yang sudah dijelaskan tadi. Dengan demikian, relativitas dan enaksionisme tidak dapat dipisahkan karena terwujud dalam pengetahuan seseorang.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#relativisme

#enaksionisme

Hermeneutika dan Penerjemahan Kategori Gramatikal

Hermeneutika atau pengiterpretasian berkaitan erat dengan kategori gramatikal. Mulai dari penggunaan tunggal atau jamak, nomina, verba, adjektiva, dan sebagainya. Pemahaman kategori gramatikal yang baik akan menghasilkan penginterpretasian yang baik pula. Para pakar linguistik antropologi telah melakukan pemetaan terhadap kata-kata dari bahasa Indo Eropa dan membuat arti kata-katanya (Foley, 1997).

Salah satu cara untuk memahami hal ini dengan lebih sederhana adalah sebagai berikut.

  1. Kata almoire dalam bahasa Perancis adalah cikal bakal kata lemari dalam bahasa Indonesia. Sebelum menjadi kata lemari terlebih dahulu diucapkan dengan kata almari kemudian terakhir menjadi kata Kemudian diadaptasi oleh bahasa Angkola menjadi kata lamari.
  2. Kata mabit dalam bahasa Arab yang berarti bermalam, merupakan salah satu kegiatan berhaji yaitu mabit di Mina ‘bermalam di Mina’. Kata mabit diadaptasi oleh bahasa Angkola menjadi mebat tetapi artinya memang bermalam hanya saja bermalam yang dimaksud adalah bermalamnya pengantin pria dan wanita ke rumah pengantin wanita setelah mereka menikah.
  3. Kata on the cost dalam bahasa Inggris artinya adalah atas biaya. Jika dibaca dengan cepat, maka secara fonologis akan terdengar seperti bunyi ongkos dalam bahasa Indonesia dan juga digunakan dalam bahasa Angkola yang artinya biaya.
  4. Kata mengangkat dalam bahasa Indonesia terdiri dari dua morfem, yaitu {meng-} yang berfungsi sebagai prefiks penanda aktif dan {angkat} yang berfungsi sebagai verba yang memindahkan sesuatu dari bawah ke atas. Dalam bahasa Angkola, kebetulan memiliki kosakata yang sama dengan bahasa Indonesia, khusus pada kata angkat Namun, perbedaannya adalah pada prefiksnya. Jika dalam bahasa Indonesia menggunakan meng- maka dalam bahasa Angkola menggunakan mang- sehingga menjadi mangangkat, yang terdiri dari {mang-} dan {angkat}.

Dengan demikian, pemahaman grammar memang sangat mendukung dalam menghasilkan interpretasi yang baik. Karena jika ditarik benang merah, akan ditemukan persamaan walaupun sangat tipis, dan itu akan menjadi petunjuk untuk membantu interpreter dalam menerjemahkan bahasa sasaran yang ingin dianalisis.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#hermeneutika

#williamfoley

#almoire

#phonology

 

Hermeneutika, Sebuah Proses Penerjemahan dan Penafsiran

Hermeneutika merupakan proses interpretasi; penerjemahan; penafsiran. Namun, permasalahannya adalah bagaimana jika makna yang sama diungkapkan dalam bentuk yang berbeda dan hal ini berada pada sistem makna dan sistem yang ditentukan sendiri, baik secara parsial maupun secara temporal. Proses hermeneutika ini telah dilakukan langsung terhadap suatu penduduk asli untuk mengetahui teks bahasa proses ritual. Interpretasi seperti ini harus juga didukung dengan kekuatan imajinasi dan mengesampingkan keyakinan penafsir sendiri untuk evaluasi kritis, sehingga mampu mengungkapkan asumsi terdalam berdasarkan sejarahnya. Revisi juga tidak luput untuk dilakukan seiring dengan meningkatnya kemampuan imajinasi dan pemahaman empati kita (Foley, 1997).

Misalnya, pada bahasa Jawa sangat kental dengan undha usuknya sehingga pada saat berbicara dan menginterpretasikan sesuatu kepada mitra tutur sangat berhati-hati dan mempertimbangkan usia, gender, dan jabatannya. Kapan menggunakan ngoko, kromo, kromo inggil sangat diperhatikan karena bentuk kesopanan sebagai orang Jawa. Contohnya: mangan tidak baik diucapkan oleh istri pada suaminya karena kata mangan adalah ngoko, tetapi istri harus menggunakan kromo pada suami yaitu kata dhahar. Contoh ini dilihat berdasarkan gender dari hubungan suami istri pada orang Jawa.

Sementara itu, dalam bahasa Angkola tidak ada speech level seperti pada bahasa Jawa tadi, yang ada adalah bahasa umum dan bahasa adat. Misalnya, kata mangan dalam bahasa Angkola yang kebetulan sama dengan bahasa Jawa, artinya adalah makan. Kata ini dapat digunakan oleh siapa saja tanpa memandang usia, gender, dan jabatannya. Tetapi, ketika masuk dalam acara adat, maka kata mangan ‘makan’ tadi berubah menjadi sangat halus dengan ungkapan marrasoki ‘berezeki; menikmati rezeki (dalam hal ini makanan yang sudah terhidang di depan mata)’. Hal seperti ini membutuhkan kepekaan interpretasi yang terlatih agar tidak terjadi misinterpretasi.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#penerjemahan

#williamfoley

#bahasadaerah

Jembatan Penerjemahan Bahasa Daerah

Pencarian jembatan sebagai sarana untuk memahami bahasa dan budaya tidak selalu mudah ditemukan. Namun, yang dapat menjembatani hal ini adalah latar belakang kepercayaan dan pemahaman universal bagi setiap manusia. Misalnya, Putnam (1981) mencoba membangun jembatan pemahaman melalui ilustrasi perbedaan suhu dengan pemahaman ilmu modern pada abad ketujuh belas. Sayangnya, mengingat konsep suhu pada dewasa ini dengan konsep suhu pada abad ketujuh belas sangat berbed, maka akan menghasilkan penerjemahan yang berbeda. Yang menjembatani adalah suhu, namun konsep berpikirnya berbeda karena zamannya sudah sangat berbeda, otomatis penerjemahan dan interpretasinya pun masing-masing akan berbeda (Foley, 1997).

Misalnya, kata ulang dalam bahasa Indonesia memiliki konsep berpikir sesuatu pekerjaan yang dilakukan beberapa kali, tetapi dalam bahasa Angkola, kata ulang memiliki konsep berpikir sebagai kata imperatif yang berarti jangan; jangan lakukan; hentikan. Sungguh sangat berbeda konsep berpikir dari dua bahasa ini, bagaimana menjembatani penerjemahannya? Saya sepakat dengan membuat ilustrasi akan membantu memudahkan pemahaman dari masing-masing penutur bahasa yang berbeda. Karena dengan ilustrasi, setiap bahasa dan budaya akan dapat membayangkan konsep berpikir yang sama, sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang sama pula.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#penerjemahan

#bahasadaerah

#williamfoley

#putnam