Sesajen di Makam Karaeng Galesong

Sesajen di Makam Karaeng Galesong

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang memiliki beragam kebudayaan dan budaya yang masih berkembang hingga saat ini. Adanya beragam suku, dan agama di masyarakat jawa dan di temukan sistem nilai-nilai budaya. Salah satu tradisi masyarakat Jawa yang hingga sekarang masih tetap eksis dilaksanakan dan masyarakat Jawa adalah ritual sesajen. Ritual sesajen ini merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di pulau Jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang.

Di era globalisasi masyarakat jawa masih menggunakan sesajen sebagai sarana untuk menghormat roh-roh nenek moyang yang telah meninggal dunia. Banyak orang yang masih menggunakan tradisi jaman dulu tentang sesajen yang digunakan untuk selametan atau memuja para roh-roh. Orang-orang menganggap bahwa memuja roh sudah menjadi tradisi para leluhur terutama di pulau jawa kejawen. Banyak terjadi di masyarakat jawa yang masih memuja roh-roh para dewa yang di anggap sebagai ritual agar mendapatkan keselamatan.

Dalam agama Buddha seseorang yang masih menggunakan sesajen dalam altar yaitu berupa buah-buahan dan makanan sebagai simbol penghormatan. Menghormat merupakan memberi atau menyatakan hormat. Dalam falsafah hidup Jawa berbakti kepada kedua orang tua dan para leluhur yang menurunkan adalah suatu ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup tentunya kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya.

Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga dapat kita nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup kita.

Sesajen yaitu makanan  yang disajikan kepada arwah yang telah meninggal dengan tujuan ingin mendoakan dengan media. Tujuan dari sesajen yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada semua mahkluk atau kepada roh-roh.

Sarana yaitu segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan. Keagamaan orang jawa kejawen selanjutnya ditentukan oleh kepercayaan pada berbagai macam roh yang tidak kelihatan. Orang melindungi diri dengan memberi sesajen yang terdiri dari nasi dan makanan lain, daun-daun bunga dan kemenyan. Bunga mempunyai makna filosofis agar kita dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur.

Masyarakat kota Malang sering melihat bunga-bunga yang berserakan di perempatan jalan. Tujuannya mungkin agar semua yang melewati perempatan tersebut aman-aman saja atau tidak terjadi kecelakaan. Ritual pemberian sajen memang memiliki nilai magis yang sangat tinggi. Kesalahan umat manusia sering terjebak pada hal-hal yang bersifat abstrak sebagai dunia yang pasti atau nyata demi membela keyakinan dunia ghaibnya. sesungguhnya orang yang menabur bunga di perempatan jalan sambil mengucapkan doa yang mensiratkan makna yang dalam dalam limpahan kasih sayang yang tidak pilih kasih. Adapun doanya misalnya sebagai berikut :

“Ya Tuhan berilah keselamatan dan berkah kepada siapapun yang melewati jalan ini, baik manusia, makhluk halus, maupun binatang apapun jenis dan namanya”.

Doa dan apa yang mereka lakukan merupakan manifestasi dari budi pekerti mereka yang sungguh adiluhung. Mengucapkan doa dengan ketulusan dan kasih sayang yang penuh limpahan berkah. Alam menyambutnya dengan limpahan berkah dan keselamatan lahir batin kepada seluruh makhluk yang melewati perempatan jalan itu. Itulah kodrat alam yang telah terbentuk dalam relung-relung hukum keadilan Tuhan.

Sebelum masuknya agama Hindu, Budha, dan Islam, masyarakat Jawa sudah mempunyai tradisi menghormati Tuhan, alam, dan roh – roh leluhur.

Ini berarti umurnya sudah tua sekali, tetapi orang-orang yang masih memegang budaya  Jawa dengan erat tetap membuat sesajen pada saat-saat spesial. Sesajen dibuat untuk mengucap syukur atau sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan / leluhur. Karena kaitannya dengan hal-hal paranormal/ghaib, dan fungsinya untuk berdoa kepada leluhur, banyak yang mengatakan bahwa penggunaan sesajen adalah hal yang musrik atau menantang nilai-nilai agama. Namun sebenarnya fungsi sesajen itu adalah sebagai simbol permintaan kepada Yang Maha Kuasa. Saat dulu masyarakat masih buta aksara, doa diwujudkan dalam sesajen. Sehingga sesajen adalah pengejawantahan dan maksud dari doa yang dipanjatkan. Sunan Kalijaga acapkali menggunakan symbol-simbol dalam berdoa dalam apapun kegiatan dakwah beliau.

Kecamatan Ngantang di Kabupaten Malang sekitar 50km di sebelah Barat kota Malang adalah lokasi makam Karaeng Galesong dimana sering ditemukan sesajen pada hari-hari tertentu. Makam ini sangat kuno yaitu berasal dari abad ke 16. Itulah mengapa makam tersebut menjadi jujugan warga desa meletakkan sesajennya disana.

Dan sesajen ini pula yang saya temui beberapa kali di Makam Karaeng Galesong Ngantang, Kabupaten Malang.

Makna Simbolik Dibalik Sesajen

Ritual dalam Islam Jawa bagi masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari pcnghayatan dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga menjadi “yang sangat dekat”. Dengan simbol-simbol ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat, “menyatu” dalam dirinya, Simbol ritual dipahami sebagai perwujudan maksud bahwa dirinya sebagai manusia merupakan tajalli, atau juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Simbol-simbol ritual tersebut di antaranya adalah ubarampe (piranti atau hardware dalam bentuk makanan), yang disajikan dalam ritual selamatan (wilujengan), ruwatan dan sebagainya. Hal itu merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Upaya pendekatan diri melalui ritual sedekahan, kenduri, selamatan dan sejenisnya tersebut, sesungguhnya adalah bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak (Endraswara, 2003: 195). Hal itu terkadang juga dimaksudkan sebagai upaya negosiasi spiritual, sehingga segala hal ghaib yang diyakini berada diatas manusia tidak akan menyentuhnya secara negatif.  Memang harus diakui bahwa sebagian dari simbol-simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa, mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana kultural mistik. Asimilasi yang sering diasosiasikan para pengamat sebagai sinkretisme tersebut juga terlihat dengan diantaranya pembakaran kemenyan pada saat ritual mistik dilaksanakan, yang oleh sebagian masyarakat Jawa diyakini sebagai bagian dari penyembahan kepada Tuhan secara khusyu’ (mencapai tahap hening) dan tadharru’ (mengosongkan diri kemanusiaan sebagai hal yang tidak berarti di hadapan Tuhan), atau katakanlah sebagai salah satu bentuk akhlak penghormatan kepada Tuhan.

Membakar kemenyan itu biasanya diniatkan sebagai “talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos” (sebagai tali pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya kumara, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan agar dapat diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa). Memerhatikan niat tersebut, maka dapat dipahami bahwa pembakaran kemenyan dalam ritual mistik sebagian kaum muslim Jawa, atau memasukkannya sebagai unsur mistik bukanlah laku yang musyrik seperti yang dituduhkan oleh sebagian muslim yang merasa lebih puritan, atau sebutlah kearab-araban. Pada zaman Nabi Ibrahim AS. juga sudah ada kebiasaan membakar kemenyan. Untuk zaman Nabi Muhammad SAW., pembakaran kemenyan sering digantikan dengan mengenakan bau-bauan yang harum, yang dinyatakan sebagai “disukai oleh Allah”. Baik kemenyan maupun wangi-wangian esensinya sama, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Malahan, pada sebuah hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim dikemukakan, minyak wangi sejak zaman Rasulullah digunakan sebagai salah satu sarana penyembuhan.

Diriwayatkan oleh Anas r.a berkata :

“Sesunqquhnya Nabi SAW. pernah datang ke rumah Ummu Sulaim dan inqin beristirahat yakni tidur siang di rumahnya. Ummu Sulaim lalu meletakskan hamparan dari kulit sebagai alas tidur Nabi. Manakala di saat tidur itulah baginda mengeluarkan banyak keringat. Ummu Sulaim lalu mengumpulkati keringat tersebut kemudian mencampurnya dengan minyak wangi dan memasukkannya ke dalam botol-botol kecil. Kemudian Nabi SAW. bertanya kepada Ummu Sulaim: “Apa ini?” Ummu Sulaim menjawab: Keringat engkau Ya Rasul. Aku mencampurnya deenqan minyak wangiku.” (Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, no. 1363).  Menurut berbagai tafsir hadits, Ummu Sulaim mengggunakan campuran minyak wangi dan keringat Rasulullah itu untuk mengobati anak-anak yang sakit.

Hadits tersebut memberikan makna penting, terutama tentang, dua hal: (1) bahwa penggunaan minyak wangi sebagai sarana ritual (yang dalam hadits itu adalah penyembuhan), sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad pada abad ke-7 M, dan Rasuulullah mengiyakan. (2) Ummu Sulaim bertabarruk dengan keringat Rasulullah. Hal ini memberikan gambaran tegas, bahwa tradisi tabarruk kepada orang-orang salih dan para wali sebagaimana sangat disukai oleh kalangan mistik dan sufi Islam Jawa, oleh Rasulullah tidak dilarang. Minyak wangi atau wewangian juga dianjurkan digunakan dalam ritual syariat, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
Diriwayatkan oleh Sayidatina Aisyah r.a berkataa:

“Aku memakai wangi-wangian pada tubuh Rasulullah SAW. Ketika baginda ingin memakai Ihram untuk berihram dan ketika bertahallul sebelum baginda Tawaf di Baitullah.”(Muttafaqun ‘Alaih, al-Bayan, no. Hadits 678). Jika dilihat dalam takhrij hadits, maka kontekstualisasi penggunaan wewangian tersebut berlaku saat mandi, berpakaian, beribadah haji, tayammum, dan hampir semua ibadah dalam Islam.

Para penganut mistik dalam muslim Jawa meyakini bahwa berbagai aktivitas yang mempergunakan simbol-simbol ritual serta spiritual tersebut bukanlah suatu tindakan yang mengada-ada dan kurang rasional. Dalam bahasa akhir-akhir ini, bukanlah termasuk perkara bid’ah. Karena dibalik ritual tersebut, terkandung makna sebagai salah satu upaya menyingkirkan setan yang menggoda manusia. Berbagai ritual tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir berbagai keburukan, baik yang datang dari manusia maupun jin (Qs. Al-Nas/114).

Setan merupakan entitas yang terbuat dari nyala api (sehingga yang mengikuti perbuatannya bertempat di neraka. Neraka berasal dari bahasa Arab “naruka” yang berarti “apimu sendiri” atau api yang kamu sulut sendiri. Setan hidup dan ada karena perbuatan buruk manusia mengikuti nafsu jeleknya). Karenanya, sebagai salah satu upaya menolaknya adalah dengan “kukus” api itu sendiri. Perwujudan berbagai laku dan ritual sebagaimana sudah disebutkan di atas, tetaplah bersandar kepada kekuatan Tuhan, bukan pada benda simboliknya itu sendiri. Sebagian di antara bentuk simbol ritual dan simbol spiritual adalah apa yang disebut sebagai selamatan (slametan), atau wilujengan, yang menggunakan sarana tumpeng dengan berbagai jenis ubarampenya. Tumpeng itu sendiri bagi orang jawa merupakan ungkapan dari “metu dalam kang lempeng” atau hidup melalui jalan yang lurus (hanif), sebagai aplikasi dari ayat dan doa “ihdinash shirathal mustaqim” (Qs. Al¬Fatihah). Pada acara-acara selamatan khusus, tumpeng itu berwujud besar dan gurih, yang disebut sebagai “tumpeng rangsul/Rasul”, yang maknanya adalah mengikuti jalan lurus sesuai ajaran Rasulullah. Maka sebagian di antara ubarampenya adalah ayam yang dimasak dan disajikan secara utuh yang disebut “ingkung”. Ingkung biasanya mcndampingi tumpeng rasul, sebagai ciri khasnya. Maksudnya adalah, bahwa sebagian ciri khusus dari orang yang mcngikuti Rasulullah “inggalo njungkung” atau bersujud, juga bermakna “inggala manekung” (segera bermuhasabah dan dzikir kepada Allah).

Pada sebagian acara selamatan untuk wilujengan anak (karena sesajen yang ditemukan di makam Karaeng Galesong adalah ditujukan untuk selamatan pemberian nama) dan untuk pernikahan pengantin, kadang menggunakan nasi tumpeng yang disebut dengan “nasi uduk”. Nasi uduk sebenarnya adalah “nasi wudhu”, karena selama memasak nasi tersebut, mereka yang memasak selalu dalam keadaan berwudhu atau selalu dalam keadaan suci. Semua ubarampe wilujengan tersebut, sebelum dipersembahkan untuk orang banyak, diujubkan (sebenarnya diijabkan) terlebih dahulu. Ujub merupakan tradisi dalam bentuk ijab, penyerahan acara ritual kepada orang yang ditunjuk, yang biasanya sesepuh atau ulama setempat. Dalam ujub tersebut, dikemukakan maksud dan tujuan diadakannya selamatan, serta untuk siapa selamatan tersebut diadakan. Kemudian setelah orang yang ditunjuk tersebut memberikan jawaban, ia memulai acara dengan mengatakan tujuan dan maksud pelaksanaan acara sebagaimana ujub dari orang yang punya niat. Barulah ritual dilaksanakan. Karena kemudian ritual tersebut berasimilasi dengan tradisi Islam, maka dalam ritual selamatan muslim Jawa biasanya disertai dengan berbagai pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, wirid, pembacaan kitab-kitab maulid atau manaqib, dan diakhiri dengan doa khusus yang terkait dengan tujuan ritual tersebut.

 

Karaeng Galesong di Ngantang Kabupaten Malang

Sebagai seorang panglima kerajaan dan putra Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesong memiliki karakter kuat. Keresahannya berawal dari semakin sengsara rakyat Sulawesi terutama setelah ditandatanganinya Perjanjian Bungaya. Perjanjian yang sangat merugikan dari pihak rakyat ini membuat Karaeng Galesong bergerak dan akan membela. Sistim tanam paksa, pajak yang  tinggi, dan penyerahan paksa hasil-hasil pertanian kepada Belanda yang membuat hati Karaeng Galesong trenyuh. Setelah perjanjian Bungaya ditandatangani, maka ribuan masyarakat Sulawesi Selatan exodus ke seluruh penjuru dunia. Satu semboyan mereka adalah dari pada harga diri terinjak oleh penjajah, lebih baik pergi meninggalkan tanah kelahiran untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

“Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak”

Satu-satunya nasehat terbaik dari sang ayah Karaeng Galesong, Sultan Hasanuddin. Yang diberi gelar Ayam Jantan dari Timur. Dengan menggunakan 10.000 anak buah dan 800 kapal perang, bergeraklah Karaeng Galesong  menuju Australia. Yang sebenarnya daerah ini adalah sebagai tujuan abal-abal Karaeng Galesong agar bisa menginjak tanah Jawa. Karena dalam perjanjian Bungaya pasal 9 disebutkan bahwa  seluruh keluarga kerajaan dan para bangsawan dilarang meninggalkan tanah Sulawesi, atau bahkan menuju ke pulau Jawa. Nasehat itu pula yang pernah diucapkan oleh Syech Yusuf Al Makassari, paman Karaeng Galesong saat hendak meninggalkan tanah Sulawesi menuju Cape Town Afrika Selatan. Beliau juga merasakan harga diri yang terinjak-injak sehingga memberanikan diri meninggalkan Sulawesi menuju Afrika.

Perjuangan Karaeng Galesong di pulau Jawa membantu Raden Trunojoyo yang berasal dari Madura cukup dahsyat karena politik adu domba Belanda terhadap Mataram yang lama-lama menghilangkan kepercayaan Trunojoyo terhadap bangsa sendiri. Karaeng Galesong lah yang berkali-kali melindungi Raden Trunojoyo dari serangan-serangan Belanda. Yang lebih mengesankan lagi, Raden Trunojoyo justru sering lengah karena setiap memenangkan peperangan, telah membunuh ratusan serdadu, Raden Trunojoyo justru berfoya-foya minum tuak. Sehingga hanya Karaeng Galesong  yang mampu melindungi mertuanya. Raden Trunojoyo adalah ayah dari Potre Koneng, istri Karaeng Galesong.

Yang sungguh tragis adalah cara kematian Karaeng Galesong  yang menjadikan sejarah di Ngantang Kabupaten Malang menjadi heroik.  Dengan bantuan seorang kapitan dari Ambon, Belanda menyuruh Kapitan Jonker untuk mengejar Karaeng Galesong sampai ke pedalaman pegunungan Malang yang sangat dingin. Dan mereka bertemu. Konon pengejaran kapitan Jonker ini juga dibantu oleh Aru Palakka dari Bone. Sehingga memang yang terjadi adalah Aru Palakka dikenal sebagai pengkhianat di Sulawesi Selatan. Namun bagi warga Bone, Aru Palakka adalah pahlawan. Saat benar-benar ditemukan, sangat menyedihkan, Karaeng Galesong dibunuh dalam keadaan dikubur berdiri. Mungkin ini adalah kematian paling kejam. Namun kisah bersejarah tersebut menjadi cerita hangat  turun temurun warga Ngantang yang  memanggil beliau dengan nama “Mbah Rojo”.

Sejarah heroik Karaeng Galesong ini menjadi perhatian warga terutama karena perjuangan beliau menjadi Panglima Laut, sehingga beberapa kali yang terjadi adalah datanganya warga dari dekat maupun jauh yang akan mencalonkan diri menjadi walikota atau bupati misalnya. Kemudian mereka yang ingin diterima di angkatan baik kepolisian, angkatan darat dll. Belum lagi makam istri Karaeng Galesong. Yaitu Potre Koneng, yang cukup wingit (angker). Beberapa macam sesajen Jawa pun ditemukan disana. Yang banyak ditemukan adalah sesajen dengan maksud akan mengadakan pernikahan, mencari jodoh dll. Makam Raden Trunojoyo pun tak kalah hebohnya. Ada beberapa makam yang diyakinkan itu adalah makam Raden Trunojoyo. Maklum lah karena Raden Trunojoyo teramat sakti. Namun memang kebanyakan orang-orang yang hidup di zaman itu banyak memiliki kelebihan. Hal ini karena mereka kuat berpuasa, kuat bertirakat atau kuat begadang sambil berdoa (melekan). Konon kabarnya, kelemahan Raden Trunojoyo sudah diketahui oleh pasukan Belanda karena ada yang membocorkan. Yaitu beliau tidak akan meninggal apabila dikuburkan dalam satu lubang. Sehingga yang terjadi adalah jazad beliau dipotong-potong oleh pasukan Belanda kemudian dimakamkan di beberapa tempat.

Banyak sekali hal-hal yang belum terungkap di makam-makam mereka. Sehingga makam-makam yang jauh dari pemukiman penduduk ini menjadi sangat penting dan bersejarah bagi warga Ngantang Malang.

 

 

Sesajen di Makam Karaeng Galesong

Karena makam yang sangat dikeramatkan dan usianya yang cukup tua, dari abad 16 maka makam ini menjadi tujuan ritual warga pada hari tanggal tertentu. Selain itu banyak orang datang berziarah ke makam ini untuk berdoa khusus. Ada pula yang berlama-lama di makam tersebut hingga tak jarang sampai menemukan sesuatu disana seperti batu akik dan senjata kuno.  Dan sesajen adalah hal biasa yang selalu ditemukan disana.

Dalam sesajen tersebut ditemukan :

  1. Dupa
  2. Bubur merah putih
  3. Irisan daun pandan
  4. Bumbung berisi badeg (Air tape ketan hitam)
  5. Kendi kecil berisi air
  6. Serit dan kaca
  7. Sirih dan pinang (diikat)
  8. Takir

Pemberian sesajen ini tidak ada kaitannya dengan memberi makan jin, danyang, setan atau sebangsanya. Tetapi sesajen dalam arti yang sebenarnya adalah menyajikan hasil bumi yang telah diolah oleh manusia atas kemurahan Tuhan Penguasa Kehidupan. Sehingga apabila simbol diinterpretasikan artinya adalah :

Dupa yaitu artinya keharuman dan ketentraman, kemudian sebagai simbol sembah sujud dan penghantar doa kita pada Tuhan dan juga menunjukkan eksistensi udara yang bergerak

Bubur Merah Putih : Saat moment pemberian nama kepada anak, ‘bubur abangputih’ ini merupakan simbol dari harapan sebuah keluarga agar kelak si anak memiliki keseimbangan antara sifat berani (dalam kebenaran) dan kesucian (dalam kebenaran).

Irisan Daun Pandan : yaitu sebuah pengharapan orang tua kepada anak agar kelak sang anak memiliki kehidupan dan karir yang baik dan harum seperti daun pandan.

Bumbung Berisi Badeq yaitu simbol dari kenyamanan hidup, ketentraman hidup. Namun bisa juga diartikan adalah keinginan atau kesukaan danyang setempat.

Kendi Berisi Air berarti Sajen ini diwujudkan dalam bentuk sesajian berupa kendhi ditutup dengan daun dhadhap serep. Air tempuran adalah pertemuan dua arus sungai. Makna sajen ini adalah menggambarkan sudah pulangnya kembali arwah yang sudah meninggal di sisi Sang Illahi, seperti sebelum dilahirkan. Dengan demikian, diharapkan arwah tersebut dapat kembali menuju ke dunia kelanggengan, dunia yang kekal abadi. Dari sumber lain dikatakan  bahwa air di dalam kendi melambangkan hati yang suci dan bersih (ikhlas). Lubang kendhi dihiasi carangan (batang bambu kecil), yang menurut keyakinan masyarakat sekitar lubang tersebut bermanfaat ketika anak sedang flu, lubang itu ditiup sehingga anak tersebut sembuh dari flunya.

Serit dan Kaca : Sisir, minyak wangi dan cermin melambangkan sebagai perlengkapan make up atau untuk “dandan’/menghiasi diri, agar rapi dan wangi, jika perempuan ibarat seperti bidadari, jika laki-laki ibarat sepeti satriya yang tampan. Diharapkan anak yang diberi nama tersebut akan menjadi cantik atau tampan.

Sirih dan Pinang (diikat) : Daun ini muka dan punggungnya berbeda rupa, tetapi kalau digigit sama rasanya. Hal ini bermakna satu hati, berbulat tekad tanpa harus mengorbankan perbedaan. Dan pinang diharapkan bila dewasa nanti mudah mendapatkan jodoh.

Takir yaitu  mangku yang terbuat dari daun pisang atau jati kependekan dari tatag pikir artinya bahwa manusia dalam bertindak harus mantap dan tidak boleh ragu-ragu.

Dari berbagai sumber informasi sesajen ini diletakkan pada hari Kamis (menuju ke hari Jumat) dimana menurut kebiasaan warga mereka datang di makam ini pada hari Kamis Kliwon. Ada kalanya mereka datang pada hari Senin malam Selasa Pahing (tanggalan Jawa) atau hari Anggorokasih. Dan berdasarkan informasi penduduk, sesajen semacam ini memiliki tujuan selamatan pemberian nama pada bayi yang baru lahir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *