Lebih Mendalam Tentang Zoroaster

zoroaster

Zoroastrianisme, agama Iran pra-Islam kuno yang bertahan di sana di daerah terpencil dan, lebih makmur, di India, tempat keturunan imigran Zoroastrian Iran (Persia) dikenal sebagai Parsis, atau Parsees.

Nabi Iran dan pembaharu agama Zarathushtra (berkembang sebelum abad ke-6 SM) —lebih dikenal di luar Iran sebagai Zoroaster (bentuk Yunani dari namanya) —secara tradisional dianggap sebagai pendiri agama. Zoroastrianisme mengandung fitur monoteistik dan dualistik. Itu kemungkinan besar mempengaruhi agama-agama besar Barat lainnya — Yudaisme, Kristen, dan Islam. Untuk diskusi tentang konteks di mana Zoroastrianisme muncul, lihat agama Iran kuno.

Orang Yunani kuno melihat dalam Zoroastrianisme pola dasar dari pandangan dualistik tentang dunia dan takdir manusia. Zarathushtra seharusnya telah menginstruksikan Pythagoras di Babel dan telah mengilhami doktrin astrologi dan sihir Kasdim. Sangat mungkin bahwa Zoroastrianisme mempengaruhi perkembangan Yudaisme dan kelahiran agama Kristen. Orang-orang Kristen, mengikuti tradisi Yahudi, mengidentifikasi Zoroaster dengan Yehezkiel, Nimrod, Seth, Bileam, dan Barukh dan bahkan, melalui yang terakhir, dengan Yesus Kristus sendiri. Di sisi lain, sebagai pendiri astrologi dan sihir, Zarathushtra dapat dianggap sebagai bidat agung.

Meskipun Zoroastrianisme tidak pernah, bahkan dalam pemikiran pendirinya, sebagai monoteistik yang terus-menerus seperti, misalnya, Yudaisme atau Islam, itu memang merupakan upaya orisinal untuk menyatukan di bawah penyembahan satu tuhan tertinggi agama politeistik yang sebanding dengan orang-orang Yunani kuno. , Latin, India, dan orang-orang awal lainnya. Ciri menonjol lainnya, yaitu dualisme, tidak pernah dipahami dengan cara yang mutlak dan ketat. Baik dan jahat bertarung dalam pertempuran yang tidak setara di mana yang pertama dijamin akan menang. Dengan demikian, kemahakuasaan Tuhan hanya terbatas untuk sementara. Dalam perjuangan ini semua manusia harus mendaftar karena kemampuan mereka untuk memilih secara bebas. Mereka melakukannya dengan jiwa dan tubuh, bukan melawan tubuh, karena pertentangan antara kebaikan dan kejahatan tidak sama dengan pertentangan antara roh dan materi. Bertentangan dengan sikap Kristen atau Manichaean (dari Manichaeisme — agama dualistik Helenistik yang didirikan oleh nabi Iran Mani), puasa dan selibat dilarang kecuali sebagai bagian dari ritual penyucian. Perjuangan manusia memiliki aspek negatif, bagaimanapun, dalam hal itu harus berjuang untuk kemurnian dan menghindari pencemaran oleh kekuatan kematian, kontak dengan benda mati, dll. Jadi, etika Zoroastrian, meskipun dengan sendirinya luhur dan rasional, memiliki aspek ritual yang adalah semua-meliputi. Secara keseluruhan, Zoroastrianisme optimis dan tetap demikian bahkan melalui kesulitan dan penindasan para penganutnya.

Agama Iran sebelum zaman Zarathushtra tidak dapat diakses secara langsung, karena tidak ada sumber terpercaya yang lebih kuno daripada yang disusun oleh atau dikaitkan dengan nabi sendiri. Itu harus dipelajari secara tidak langsung berdasarkan dokumen-dokumen selanjutnya dan dengan pendekatan komparatif. Bahasa Iran sangat mirip dengan bahasa India utara, dan karenanya, orang-orang di kedua negeri itu mungkin memiliki nenek moyang yang sama yang berbicara bahasa Indo-Arya yang sama. Agama masyarakat tersebut telah direkonstruksi melalui unsur-unsur umum yang terkandung dalam kitab suci Iran dan India, terutama Avesta dan Weda. Kedua koleksi menunjukkan jenis politeisme yang sama dengan banyak dewa yang sama, terutama Mitra India (Mithra Iran), kultus api, pengorbanan melalui minuman keras suci (soma di India, di Iran haoma), dan kesejajaran lainnya . Selain itu, ada daftar dewa Indo-Iran dalam perjanjian yang dibuat sekitar tahun 1380 SM antara kaisar Het dan raja Mitanni. Daftar tersebut mencakup Mitra dan Varuna, Indra, dan kedua Nāsatya. Semua dewa ini juga ditemukan di Veda tetapi hanya yang pertama di Avesta, kecuali Indra dan Nāñhaithya yang muncul di Avesta sebagai setan; Varuna mungkin bertahan dengan nama lain. Maka, perubahan-perubahan penting pasti terjadi di pihak Iran, yang tidak semuanya dapat dikaitkan dengan nabi.

 

Bangsa Indo-Iran tampaknya membedakan antara dewa-dewa mereka dengan daiva (Indo-Iran dan Persia Kuno yang setara dengan daeva Avestan dan deva Sansekerta, terkait dengan bahasa Latin deus), yang berarti “surgawi”, dan asura, kelas khusus dengan okultisme. kekuatan. Situasi ini tercermin dalam Veda India; kemudian, asura datang untuk menandakan, dalam bahasa Sansekerta, sejenis iblis, karena aspek mengerikan dari kekuatan tak terlihat asura. Di Iran, evolusinya pasti berbeda: para ahura dipuja hingga mengesampingkan para daeva, yang direduksi menjadi setan.

 

Resto Yang Geje

Krusty Crab

Baru tau ada restoran dengan konsep pelayanan jutek. Bahasa Ngalam nya NGESROH. Katanya lagi viral ya?

Sorry, foto gak nyambung. Kita pake foto resto Krusty Krab aja, soalnya males posting foto restonya, ntar kesannya endorse gratis. Wkwk.

Kita sebut saja Kirun’s Dinner. Banyak review berseliweran di beranda saya, dan gak ada yang bagus.

Lah, siapa juga yang menikmati makan sambil dimarah-marahin? Bayar mahal-mahal buat dikata-katain sama waitress. Dilemparin sendok, dibantingin piring berisi makanan. Sakit nih orang-orang.. Kayak orang masokis aja, menikmati disakiti.

Di rumah saya, kalo suami ngomelin anak dikiiit aja kalo pas saya lagi makan, kadang saya yang baper, udah susah lanjut nelannya. Dampak omelan itu seolah paralel. Kayak diretweet. Wkwk..

Lah, apalagi ini. Di video yang beredar malah ada customer yang dikatain waitress kalo mukanya kayak bokong panci. Dikiranya maba ospek kali. Gak natural lah ngeroasting-nya, harus belajar dulu sama Kiky Saputri.

Gak kebayang ketika pegawai Kirun’s memulai aksinya tapi ternyata customer yang datang adalah player Mobile Legends. Atau ketemu orderan ojol yang lagi mumet belum mencapai target. Bisa-bisa abis tuh waitress lambenya dikruwes.

Apa-apa dibawa ke Indonesia, padahal belum tentu cocok. Apa pada gak survey dulu ya?

Padahal kita orang Timur, plus mayoritas muslim pula, di mana sudah diedukasi secara budaya maupun syariat bagaimana memuliakan tamu.

Kalopun misalnya sekadar iseng pengen merasakan dijutekin, kan bisa datang ke petugas akademik kampus, loket BPJS RSUD, atau Dukcapil saat pelayanan lagi padat antrian. Wkwk..

Sekali lagi, gak semua budaya barat cocok dibawa ke Timur.

Noh, David Vujanic aja excited merasakan nikmatnya budaya cebok pake air.

Owalah

Mawas Diri Dari Penyakit Hati

Hati adalah cermin diri. Jika hati kita kotor, akhlak dan perilaku kita pun akan lebih kuat ke arah yang maksiat. Untuk itu, mari kita kenali penyakit-penyakit hati dan cara mengobatinya. Bila seseorang mengidap penyakit hati, maka dampaknya sungguh-sungguh sangat dahsyat. Ia tidak hanya tak mampu merasakan ketenangan, ketenteraman dan kebahagiaan dalam hidupnya, tapi penyakit hati itu secara perlahan akan menggerogoti fisiknya hingga membuatnya didera berbagai penyakit. Tentu saja penyakit hati sangat banyak ragamnya, mulai dari iri hati, dengki, hasut, fitnah, buruk sangka, dan khianat.
Iri hati adalah suatu sifat yang tidak senang akan rezeki dan nikmat yang didapat oleh orang lain dan cenderung berusaha untuk menyainginya. Iri hati yang diperbolehkan dalam ajaran Islam adalah iri dalam hal berbuat kebajikan seperti iri untuk menjadi pintar agar dapat menyebarkan ilmunya di kemudian hari dan semacamnya.
Dengki adalah sikap tidak senang melihat orang lain bahagia dan berusaha untuk menghilangkan nikmat tersebut. Sifat ini sangat berbahaya karena tidak ada orang yang suka dengan orang yang memiliki sifat seperti ini. Begitupun hasud, merupakan suatu sifat yang ingin selalu berusaha mempengaruhi orang lain agar amarah/marag orang tersebut meluap dengan tujuan agar dapat memecah belah persatuan dan tali persaudaraan agar timbul permusuhan dan kebencian antar sesama.
Apalagi fitnah, yakni menjelek-jelekkan, menodai, merusak, menipu, membohongi seseorang agar menimbulkan permusuhan sehingga dapat berkembang menjadi tindak kriminal pada orang lain tanpa bukti yang kuat.
Belum lagi buruk sangka. Buruk sangka berarti sifat yang curiga atau menyangka orang lain berbuat buruk tanpa disertai bukti yang jelas. Sedangkan khianat merupakan sikap tidak bertanggung jawab atau mangkir atas amanat atau kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya. Khianat biasanya disertai bohong dengan mengobral janji. Khianat adalah ciri-ciri orang munafik. Nauzubillah.
Lalu, solusinya apa? Setidaknya ada dua hal, yakni ikhlas dan tawakkal. Ikhlas adalah salah satu amal hati dan berada pada bagian pertama dari rangkaian seluruh amal-amal hati. Kesempurnaan sebuah amal, diterima atau ditolaknya bergantung pada amal hati ini, ikhlas atau tidak.
Berikutnya tawakkal. Kita harus yakin bahwa tak ada sesuatu pun yang menimpa kita di dunia ini, besar atau kecil. kecuali bahwa Allah telah menetapkannya sebelum kita lahir. Maka setelah kita berikhtiar dan berusaha secara maksimal, akhir dari itu adalah kepasrahan diri dan tawakkal atas apa yang ditakdirkan Allah. Insya Allah dengan tawakkal, kita bisa ikhlas dan rida menerima segala hal. Allah berfirman, Katakanlah Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialan Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal (QS At Taubah: 51).
Solusi selanjutnya adalah berzikir dan istigfar. Zikir adalah amalan yang diperintahkan Allah SWT kepada kita. Karena dengan zikir ini kita dapat menghadirkan Allah dalam diri kita, kapan pun dan di mana pun kita berada. Ketika muroqobah (pengawasan) Allah melekat dalam diri kita, maka selalu ada usaha agar berbagai aktivitas yang dilakukan senantiasa berada dalam bingkai syariat dan sunah Rasul-Nya.
Kita juga tidak pernah lepas dari dosa dan kesalahan, sehingga lantunan istigfar harus diperbanyak. Bahkan, Rasulullah Saw beristigfar 100 kali setiap hari, padahal beliau telah dijamin masuk surga. Maka kita yang tidak mendapatkan jaminan tersebut selayaknya lebih banyak dari jumlah istigfar Rasulullah Saw. Allah SWT berfirman:
 رَبَّنَا اغْفِرْ لَـنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَاۤ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحيم
Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr 59: Ayat 10)

Kehidupan Ibadah

Segala sesuatu yang selain di sisi-Nya, disebut dengan kehidupan. Kehidupan itu, bersifat dunia dan dunia yang dimaksud adalah permainan yang penuh dengan tipuan dan kepalsuan. Maka, kehidupan dunia yang penuh dengan permainan dan tipuan, itu tidak menyelamatkan, artinya kerhidupan dunia itu, berada di dalam zona yang tidak selamat, karena penuh dengan tipuan dan kepalsuan (QS al Qoshos (28) : 60, 61), (Al An’am (6) : 32), Al Hadid (57) : 20). 

Sedangkan, yang di sisi Allah adalah keselamatan (al Islam) dan itulah kekekalan (QS Ali Imron (3) : 19). Karena yang di sisi Allah itu, wujud keselamatan dan kekekalan, maka ia tidak hidup dan tidak mati, namun bersifat selamat dan hidup serta kekal; Dan, itulah fungsinya agama ketika anugerah akal dari Allah bagi dirinya manusia berfungsi (QS Ar Rum (30) : 30).

Maksudnya, kehidupan keduniaan itu, telah Allah berikan kepada dirinya manusia, akan tetapi perlu diingat, bahwa keduniaan dan seluk beluknya itu, semuanya hanyalah permainan dan tipu muslihat oleh nafsu dirinya manusia yang musti dipimpin oleh yang di sisi Allah lewat jalan tempuh yang disebut dengan “agama”.

Lalu, apa dan siapa yang di sisi Allah, itu? Dialah “al Islam” atau keselamatan. Maka, keselamatanlah yang musti memimpin kehidupan kemanusiaan dunia itu, agar dirinya manusia memperoleh keselamatan.

Sebenarnya bukan keselamatan yang musti memimpin kehidupan dunia, akan tetapi yang membawa keselamatan, itulah yang diinginkan untuk memimpin dirinya manusia di dalam menjalani tugas kehidupan di dunia, yang tiada lain adalah Nabi Muhammad saw sang pembawa keselamatan.

Dialah Rasul Allah satu-satunya yang bernama amin (QS Ali Imron (3) : 96,97), ia berada di Baitullah, tanda alamatnya Ka’bah, terlahir ke dunia sebagai putra Abdullah dengan Ibu bernama Aminah, diberi nama Nabi Muhammad saw, yang berbangsa dan berbahasa Arab, wafat dan dimakamkan di Madinah; Di dalam diri Nabi Muhammad saw terdapat rasul utusan Allah, yang diutus oleh-Nya untuk rahmah bagi seluruh alam insan (QS Al Anbiya’ (21) : 107). Maka, dialah satu-satunya yang “shollahu ‘alaihi wa salam” (saw), sedangkan para Nabi dan Rasul selain Nabi Muhammad sebagai rasul utusan Allah sebanyak 124.313, semuanya rasulnya amin yang selalu sambung hubungan dengan dia (amin) satu-satu rasul Allah. Oleh karena itu,  mereka seluruh para Nabi dan Rasul, semuanya selalu atasnya keselamatan (as) (QS Al Ahzab (33) : 56) atau selalu di dalam keselamatan (‘alaihis salam).

Adapun para manusia biasa selain para Nabi dan Rasul seperti yang telah disebutkan di atas; Yang mana, di dalam diri setiap diri manusia itu terdapat iman, ketika imannya berfungsi dan menegakkan 4 sifatnya : yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah, maka dirinya manusia itu sambung terhadap Nabi Muhammad sebagai rasulnya Allah, sehingga diri manusia itu, atasnya selamat. Namun sebaliknya, ketika imannya tidur atau tercover oleh sifat kafir dirinya manusia, maka dirinya manusia itu tidak di dalam keselamatan (QS At Taghabun (64) : 2). 

Oleh karena itulah, “sholat itu, lebih baik dari pada tidur” (ash-sholatu khoirun minan naum), tersambungnya iman dengan amin adalah kebaikan, sebaliknya terputusnya iman dengan amin adalah kejelekan dan kesengsaraan, karena tidak berada di dalam keselamatan.

Jadi, kehidupan itu, erat berkaitan dengan diri manusia diciptakan (fitrah), dan semuanya adalah permainan yang penuh dengan kepalsuan serta tipuan oleh diri nafsu manusia dengan berbagai sifat dirinya manusia. Maka, diri nafsu manusia yang erat hubungannya dengan kehidupan yang penuh dengan permainan (dunia) dan kepalsuan itu, musti dipimpin oleh keselamatan atau yang membawa keselamatan, yaitu Nabi Agung Muhammad saw, sebagai rasul utusan Allah melalui ajaran yang disebut dengan agama (diin-millah), agar dirinya manusia di dalam menjalani tugas kehidupannya, benar-benar penuh ketundukkan dan patuh (QS Adz Dzariyat (51) : 56) terhadap ajaran agama oleh iman, sehingga apa yang dilakukannya bernilai ibadah di sisi-Nya.

Manusia Fir’aun

Di dalam diri setiap manusia terdapat berbagai sifat makhluq ciptaan-Nya, termasuk sifat fir’aun yang ingin dipertuhan dan disembah oleh manusia yang lainnya. Sifat fir’aun dan berbagai sifat yang lainnya tersebut, tidak bisa hilang dari dirinya manusia, sebab sifat itu melekat dan bersama dengan kehidupan jasadnya manusia. Ketika jasadnya manusia mati, maka sifat tersebut akan ikut mati atau tidak ada, sehingga yang tertinggal pada dirinya manusia adalah iman, ilmu dan nikmat yang bersifat ruhaniyah, dan ia berasal dari Allah melalui tiupan, di saat jasad manusia berusia 120 hari di dalam kandungan ibunya.

Oleh karena sifat fir’aun itu, sebagaimana disebutkan di atas melekat pada dirinya manusia, maka sifat tersebut tidak bisa hilang atau dihilangkan dari jasad kehidupan manusia.

Eksistensi sifat fir’aun hanya bisa disadari atau dirasakan oleh nikmat dan bisa diketahui oleh ilmu serta bisa dibenarkan oleh iman yang ada pada dirinya manusia (QS Ar Rahman (55) : 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77), (QS Al ‘Ankabut (29) : 49), (QS Al Baqoroh (2) : 2,3).

Berbagai sifatnya manusia, khususnya sifat fir’aun itu, benar bisa dirasakan dan benar bisa diketahui serta benar bisa dicek kebenarannya oleh iman. Semuanya, baik rasa, ilmu maupun iman, itu terukir dan terdapat serta terbaca di dalam catatan (al kitab) yang terdapat di dalam dadanya manusia  (QS Bani Israil (17) : 14). Anapun lisan (qoul) atau ucapan dan tindakan (af’al-fi’li) oleh jasadnya manusia, bisa saja berbeda dengan apa yang dirasakan oleh nikmat itu. Alias, rasa sifat fir’aun di dalam diri manusia, bisa saja dikatakan oleh lisan manusia, wujud perkataan “loyalitas” dan sejenisnya. Atau sifat rasa fir’aun tersebut, diekspresikan oleh perbuatan jasadnya manusia, wujud sopan santun, ahli ibadah dan sebagainya.

Maka, bacaan catatan wujud rasa berbagai sifatnya manusia tersebut, khususnya sifat fir’aun yang menginginkan terhadap dirinya agar dipertuhan dan disembah oleh manusia atau orang lain selain dirinya, itu dikembalikan kepada dirinya masing-masing diri manusia. Oleh karena itu, beruntunglah dan menang bagi siapa yang menyadari akan eksistensi sifatnya serta mau mensucikannya atau tidak diikuti sifat jahatnya itu, khususnya sifat fir’aun yang menginginkan dirinya dipertuhan itu. 

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا 

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا 

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

QS Asy-Syams (91) : 7-8-9-10

Menjaga Fitrah

Fitrah, artinya ciptaan, bukan suci atau kesucian. Menjaga Fitrah, berarti menjaga ciptaan, bukan menjaga kesucian.

Fitrah atau ciptaan yang dimaksudkan adalah fisik atau jasadnya manusia diciptakan. Di mana, jasadnya manusia itu, memerlukan asupan makanan dan minuman serta yang lainnya yang berhubungan dengan kehidupan fisik atau jasad. Artinya, fisik jasadnya manusia itu, erat berhubungan dengan kehidupannya.

Maka, do’a ketika berbuka untuk mengakhiri puasa adalah sebagai berikut :

اللهُمّ لكَ صُمت وعَلى رِزقك أفطرت 

Ya Allah, karena dan bagi-Mu aku perpuasa dan atas rizki-Mu aku “fitrah” (makan, minum dan yang lain serta sejenisnya).

Maksudnya, puasa atau meninggalkan makan dan minum serta yang lain dan sejenisnya itu, bukanlah fitrah atau ciptaan fisiknya manusia diciptakan. Fisik atau jasadnya manusia, diciptakan (difitrahkan), ia memerlukan makan dan minum serta seterusnya, tersebut. 

Tidak makan dan tidak minum serta tidak memerlukan terjadinya hubungan saling membantu antar satu dengan yang lainnya, itu bukan sifatnya manusia diciptakan. Akan tetapi, tidak makan dan tidak minum serta tidak memerlukan bantuan atau kehadiran dari siapa dan apa saja, itu sifatnya Allah swt Yang Maha segalanya. Dan, DIA-lah yang mem”fitrah” atau menciptakan fisiknya manusia, di mana fisik manusia itu, memerlukan asupan makanan dan minuman serta memerlukan terjadinya hubungan atau kehadiran orang lain antar satu dengan yang lainnya untuk mempertahankan dan melangsungkan kehidupan fisiknya, baik melalui pernikahan maupun yang sejenisnya.

Oleh karena itulah, “menjaga fitrah” yang dimaksudkan adalah fitrah atau ciptaan fisik manusia yang memerlukan kehadiran orang lain di dalam meraih kebutuhan hidupnya, itulah yang musti dijaga lewat ajaran agama, agar di dalam meraih kebutuhan hidupnya, manusia tetap tegak lurus dan menghadapkan dirinya terhadap pencipta-Nya oleh iman yang di di dalam dadanya.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

QS Ar-Rum (30) : 30.

Maka, tegakkan dirimu untuk agama secara sungguh-sungguh, itulah fitrah Allah yang Allah fitrahkan (ciptakan) atas diri (jasad) manusia, di mana ciptaan (fitrah) itu, tidak ada perubahan. Itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Maka, puasa dalam arti “pengendalian diri manusia”, itu bukan hanya pada bulan Ramadhan saja. Akan tetapi, puasa dalam arti pengendalian dirinya manusia” atau “mengendalikan dirinya manusia”, adalah sepanjan zaman oleh iman yang di dalam dadanya manusia. Hanya saja, selama pada bulan Ramadhan, iman yang ada di dalam dada setiap manusia itu, disuruh oleh Allah untuk mengendalikan dirinya manusia, agar manusia berpuasa tidak makan dan tidak minum serta yang lainnya, sebagai “test-case” untuk pengendalian dirinya manusia yang sesungguhnya, yaitu sepanjan masa. 

Oleh karena itu, bukan orang-orang yang sudah beriman yang disuruh berpuasa, akan tetapi iman yang di dalam dadanya manusia, itulah yang mempuasakan atau mengendalikan dirinya manusia (jasad) dicipta, agar di dalam meraih kebutuhan fisiknya untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan, manusia tetap dipimpin oleh imannya yang bersifat shidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Sehingga, manusia tetap benar dan tidak melakukan kesalahan serta amanah dan tidak  khiyanat, kemudian jujur dan apa adanya di dalam meraih sarana kehidupan dunia yang bersifat jasadi itu.

Sholat Khusyu

Kata “sholat”, secara asal dan usul bahasa, artinya sambung hubungan. Kemudian, kata “khusyu’, berarti tenang, tenteram dan bahagia. Sehingga, “sholat khusyu’, bisa diartikan, sambungnya hubungan yang menenangkan, menentramkan dan membahagiakan. 

Dengan demikian, maka jika sholat atau sambung hubungan, pasti khusyu’ dan jika tidak sholat berarti, tidak sambung hubungan dan tidak khusyu’ atau tidak bahagia.

Oleh sebab itulah, “sholat” berarti pula, “bertemu” atau “berjumpa”, untuk bisa kembali ke asal mula (Al Baqoroh (2) : 45 – 46). Kalau tidak bisa bertemu atau berjumpa, maka tidak akan bahagia dan jika tidak bahagia, maka tidak akan bisa kembali ke asal mula.

Lalu, siapa dan dengan siapa yang bertemu itu, di mana tempat pertemuan dan ke manakah kembali ke asal mulanya, serta siapa yang berbahagia..?.

Yang bertemu adalah mukmin, dengan amin Rasul utusan Allah di Baitullah, karena sholat yang tertegakkan olehnya (mukmin) (Al Mu’munin (23) : 1- 2) (Ali Imron (3) : 96 – 97). Kemudian, kenapa bertemunya mukmin dengan amin di Baitullah, dan tidak langsung saja mukmin bertemu dengan Allah Yang Maha Esa..?.

Mukmin bertemu dengan amin di Baitullah, melalui sholat yang tertegakkan oleh mukmin, untuk diantar oleh amin kembali menuju bersatu dengan Allah. Sebab, Allah itu (al Mashiir), tempat kembalinya asal muasal segala sesuatu, bukan tempat pertemuan atau perjumpaan. Itulah, yang dimaksudkan dengan “wasilah”, artinya untuk bisa kembali kepada Allah, dengan dan melalui “wasilah” rasul utusan Allah (Al Maidah (5) : 35).

Baitullah itu ghoib, yang nyata adalah Ka’bah dan ia sebagai tanda atau alamat di mana Baitullah itu, berada. Ka’bah, merupakan bangunan yang terbuat dari batu, di bangun okeh Nabi Ibrahim as, bersama putranya yang  bernama Nabi Ismail as, di mana keduanya berasal dari suku Ka’b, maka bangunan berbentuk kubus dari batu tersebut, diberi nama dengan menisbatkan dari mana kedua Nabi tersebut berasal, yaitu Ka’b atau Ka’bah. 

Kemudian, pintu masuk ke Baitullah adalah Hajar Aswad, sebuah batu hitam yang secara dzat adalah jelmaan Malaikat (cahaya) yang bertugas khusus dan berfungsi sebagai pencatat (daftar hadir, cctv, photo dan atau finger print serta sejenisnya), bagi mukmin yang memasuki Baitullah lewat sholat yang tertegakkan ( Bani Israil (17) : 80).

Lalu, siapakah mukmin itu, sebenarnya..?.

Dialah hamba Allah, yang ada di dalam hatinya manusia yang bersifat iman, ilmu dan nikmat (Al Baqoroh (2) : 2 – 3), (Al A’nkabut (29) : 49),  (Ar Rahman (55) : 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77).

Artinya, sholat itu pasti khusyu’, karena sholat adalah sambungnya hubungan hamba Allah, bernama mukmin dengan amin di Baitullah (tempat pertemuan) dan khusyu’ itu, berarti bahagia.

Maka, mukminlah yang menyatu (wahhada) dengan amin (tauhid) di tempat kesatuan (Baitullah) melalui sholat yang tertegakkan, untuk bersama-sama diantar oleh amin rasul utusan Allah, menuju bersatu kembali dengan Allah Maha Ahad.

Kemudian, manusia dengan berbagai sifatnya yang ingkar, suka mengeluh, tidak sabaran dan lemah serta berbagai sifatnya manusia yang lainnya, ketika dipimpin oleh imannya yang benar dan terpercaya, dipimpin oleh ilmunya yang yang selalu mengetahui akan kesalahan dan kebenaran serta dipimpin oleh nikmatnya yang selalu merasakan dan tiada dusta, maka manusia dengan berbagai sifatnya yang ingkar dan jahat seperti tersebut di atas, menjadi mengikuti iman, ilmu dan nikmatnya sehingga tegak sholat atau hubungannya dengan amin di Baitullah. 

Itulah, yang maksudkan dengan, “Allahu Akbar”, kemudian “wajjahtu” atau aku menghadapkan diri sifat manusiaku dst.

Lalu, kapan sholat itu, tertegakkan dan dilaksanakan..?. 

Sholat ketika dilaksanakan secara terus menerus, disebut dengan “sholat daim” (mudawamah-Al Ma’arij (70) : 19, 20, 21, 22, 23 ) yang berfungsi untuk menghilangkan sifat keluh kesah dan sejenisnya pada dirinya manusia. Kemudian, sholat ketika dilaksanakan secara rukun oleh anggota badan manusia dan berkaitan dengan waktu, disebut, dengan “sholat lima waktu”, sholat malam, sholat pagi dan seterusnya yang berfungsi untuk peringatan. Karena berfungsi untuk peringatan, maka waktu, tata cara, proses dan prosedurnya serta yang berkaitan dengannya, sudah ditentukannya. Jika sholat dilaksanakan pada waktu Maghrib, maka disebut sholat Maghrib yang waktunya, bilangan rokaatnya dan sebagainya, semua sudah tertentu dan ditentukan. Demikian pula, sholat Isya’ dan  seterusnya.

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

 Tha-Ha (20) : 14.

Sesungguhnya Aku adalah Aku, Allah yang tiada tuhan selain Aku, maka sembahlah akan Aku dan tegakkan sholat untuk ingat akan Aku. 

Oleh karena itu, sholat disebut juga dengan amalan yang bersifat “fardhu ‘ain”, atau wajib atas diri masing-masing individu yang tidak boleh ditinggalkan dan tidak bisa diwakilkan terhadap orang lain selain diri orang yang bersangkutan. Meninggalkan sholat, disebut  kafir, atau tertutup dan terputus hubungan. 

Dan sholat merupakan amalan yang pertama kali dilihat atau dihisab, jika sholatnya baik dan benar, maka semua amal perbuatan manusia akan baik dan benar, itulah fungsi sholat ketika telah tertegakkan, yaitu tercegahnya seseorang dari perbuatan keji dan mungkar ( Al ‘Ankabut (29) : 45). Sebaliknya, jika sholatnya rusak, maka seluruh amal perbuatan manusia akan rusak.

Jadi, sholat khusyu’ itu, sholat daim, sholat rukun lima waktu dan waktu-waktu yang lainnya seperti sholat Tahajud, sholat  Dhuha dan sebagainya serta sholat tegaknya hubungan mukmin dengan amin di Baitullah.

Sifat Tak Baik

Yang jelek dan jahat itu, bukan dirinya manusia, akan tetapi sifatnya manusia yang suka mengeluh, gelisah, tergesa-gesa dan sejenisnya, itulah yang menimbulkan perbuatan jelek dan kejahatan, sehingga manusia menjadi jelek dan jahat.

Dirinya manusia, yang di situ terdapat iman kepercayaan Allah, yang bisa diketahui oleh ilmu dan bisa dirasakan oleh nikmatnya, tidaklah jelek dan tidak jahat.

Berbagi sifatnya manusia yang jelek dan jahat, itulah yang musti dipimpin oleh iman, ilmu dan nikmatnya, sehingga manusia yang bersifat suka bertengkar, suka menyerang orang lain, suka mencemooh dan mencela siapa saja selain dirinya itu, menjadi mengikuti imannya yang shidiq, amanah, tabligh dan fathonah yang bisa dicontrol oleh ilmu dan nikmatnya yang ada di dalam dadanya.

Oleh sebab itu, di dalam berbagai kesempatan ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan khutbahnya, beliau selalu memperlindungkan berbagai kejahatan dirinya kepada Allah. Sebab, sebenarnya kejahatan itu, tidak berada pada diri orang lain, akan tetapi berbagai kejahatan itu, ada pada diri masing-masing individu orang, yaitu sifat manusia yang terdapat pada diri orang itu sendiri.

Manusia itu ghoib, yang nyata adalah jasadnya manusia. Dan sifat itu, tampak setelah adanya perbuatan, sebab sifatlah yang melahirkan perbuatan dan perbuatan melahirkan nama atau sebutan.

Berbagai sifatnya manusia yang jahat, ketika tidak diperlindungkan kepada Allah oleh iman, ilmu dan nikmatnya, maka ia akan liar sesukanya. 

Ketika ia mengeluh dan tergesa-gesa serta kurang pandai berterima kasih, maka sebutan atau namanya adalah “sifat manusia”. 

Ketika ingin marah-marah, mudah tersulut emosinya dan ingin melenyapkan orang lain selain dirinya, maka sebutan atau namanya adalah “sifat jin”. 

Ketika menyesatkan orang lain selain dirinya, menyusahkan dan berbagai keadaan yang tidak baik pada diri orang lain, itu nama atau sebutannya adalah “sifat syetan”.

Ketika iri dan dengki serta melibatkan dan mengajak orang lain di dalam melakukan kejahatan, itu nama atau sebutannya “sifat iblis”.

Nabi Muhammad saw, menegaskan di dalam sabdanya, sbb :

المؤمن مرآة أخيه، إذا رأى فيه عيبا أصلحه

Mukmin itu cermin saudaranya. Jika terlihat di dalam cermin itu, suatu kejelekan maka mukmin akan memperbaiki (jahat diri) manusianya.

Pada setiap diri manusia itu, ada iman yang bersifat mukmin, itulah yang bersaudara sehingga berkasih sayang (Al Hujurat (49) : 10). Sedangkan sifat manusia itu, tidak untuk dipersaudarakan, tapi untuk saling diperkenalkan antar satu dengan yang lainnya, supaya kebutuhan fisiknya manusia dapat terpenuhi (Al Hujurat (49) : 13).

Maka, ketika seorang melihat orang lain sebuah aib atau kejahatan, sebenarnya aib dan kejahatan tersebut, terjadi karena perbuatan orang lain tersebut yang tidak terpimpin oleh imannya.

Dan jika seseorang tidak mampu menemukan kebaikan yang terdapat pada diri orang lain, sebenarnya orang tersebut masih jahat, karena imannya belum memimpin dirinya, sehingga iman yang bersifat bersaudara itu, terhalang oleh sifat jahatnya sendiri, alias diri orang itu masih dikuasai oleh kejahatan dirinya yaitu sifatnya manusia yang jahat itu.

Sebab pada setiap diri manusia itu, terdapat iman yang hanya bisa diketahui oleh ilmu dan bisa dirasakan oleh nikmat yang ada pada diri masing-masing orang tersebut, siapapun orangnya; Maka, siapapun orangnya jika melihat orang lain tanpa dipimpin oleh imannya, yang terlihat adalah manusia yang tidak terpimpin oleh imannya pula, sehingga saling membenci dan sebagainya sebagai dampak dari sifatnya manusia yang masih menguasai dirinya manusia itu. Sebaliknya, jika seseorang melihat orang lain selain dirinya atas dirinya yang sudah dipimpin oleh imannya, maka ia akan melihat sifat iman yang ada pada diri orang lain itu, yaitu sifat bersaudara dan kasih sayang antar satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, semua dikembalikan kepada dirinya masing-masing orang yang bersangkutan, apakah seseorang itu memperlindungkan berbagai kejahatan dirinya kepada Tuhannya dengan iman yang ada di dalam dadanya; Atau sebaliknya, ia justru mengikuti berbagai sifat jahat dirinya, sehingga berdampak pada perkataan dan berbagai perbuatan yang jahat. Di mana, berbagai kejahatan perkataan dan perbuatan tersebut,bisa dirasakan dan bisa diketahui oleh ilmu yang ada di dalamnya dadanya masing-masing orang itu.

Nilai-nilai

Di dalam olah raga, seperti sepak bola ada pertandingan yang dalamnya terdapat sportifitas. Artinya, kalau lawan tanding sudah mengalahkan terhadap lawan tanding yang lainnya, maka lawan tanding yang lainnya menjadi kalah, lalu lawan tanding yang lainnya itu, mau mengakui kekalahan dirinya dan mengakui kemenangan lawan tandingnya.

Di dalam seni terdapat keindahan yang bisa dinikmati oleh masing-masing diri orang. Di dalam permainan terdapat strategi yang mainkan oleh seseorang yang menginginkan sebuah pencapaian secara efektif. Di dalam materi, terdapat metodologi yang musti dilakukan oleh seseorang, sesuai dengan karakter materi yan ada. 

Lalu, di dalam agama terdapat dogma atau ajaran yang musti bisa ditangkap isi ajarannya secara tepat dan benar untuk diamalkan secara tepat dan benar pula, agar berdampak kebaikan diri seseorang dan memberikan makna pada diri orang lain. 

Sportifitas di dalam olah raga, rasa keindahan oleh masing-masing orang di dalam seni, permainan atau seseorang memainkan sesuatu, demi tercapainya sebuah tujuan secara efektif, perlakuan yang tepat sesuai dengan barangnya atau materi yang diperlakukannya; Semua itu, disebut dengan “nilai atau makna” yang musti dijunjung tinggi oleh masing-masing diri orang yang memiliki rasa atau kepekaan diri. 

Begitulah seseorang di dalam menjalankan ajaran agamanya, hendaknya orang yang beragama itu memperhatikan unsur nilai atau makna di balik kata sebagai sebuah dogma atau ajaran.

Oleh sebab itu, temukanlah kebenaran dogma agama itu, melalui proses kajian untuk menemukan benda yang ditunjuk oleh kata, sehingga timbul pada diri orang yang bersangkutan, sebuah laku dan perilaku serta berlaku benar dan baik pada diri orang itu, untuk melahirkan jiwa diri yang berakhlaq budi baik, yang nilai keindahannya bisa dirasakan oleh pihak lain. 

#benar itu, berada pada materi yang telah ditemukan dari sebuah dogma berupa kata-kata.

#baik itu, berada pada diri orang yang mengamalkan materi ajaran agamanya. 

#indah itu, dampak perilaku mulia yang dilakukan oleh orang yang mengamalkan materi agamanya secara tepat dan benar.

Kitab itu Catatan

Apapun yang berasal dari selain Allah dan Rasul-nya, baik lisan maupun tulisan, omongan maupun goresan pena di atas kertas dan buku-buku atau yang lainnya, ia tidak lebih dari sebuah penjelasan yang belum final. Maka,  selamanya, baik omongan maupun tulisan manusia itu, tidak akan memberikan jawaban terhadap apapun secara pasti. Oleh karenanya, hendaknya masing-masing orang siapapun orangnya, sedapat mungkin menghindarkan diri dari sebuah keterjebakan diri dengan menolak keras, bahkan mengoloknya; Atau, justru sebaliknya, berpegang teguh terhadap kata-kata atau tulisan siapapun selain yang dari Allah dan Rasulnya, itu. Sebab, apa yang dikata dan atau ditulis oleh seseorang, tidak mungkin bisa mengungkap secara total terhadap apa yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan.

Baik omongan maupun tulisan orang itu, akan selalu mengalami perubahan, seiring dengan perubahan pengalaman dan kemampuan dirinya di dalam mengungkapkan terhadap apa yang dirasakan, itulah yang secara lazim disebut dengan pengetahuan. 

Oleh karenanya, hendaknya seseorang itu, mengambil sikap “antara” atau tengah-tengah. Artinya, terhadap apa saja yang didengarkan dan dibaca, semua dikembalikan kepada rasa yang ada di dalam dirinya sendiri masing-masing dengan berpegang teguh terhadap kitab atau catatan Allah melalui sunnah rasul-Nya, yaitu iman yang bersifat shidiq, amanah, tabligh dan fathonah, serta ilmu yang bersifat tau ada di dalam dada diri masing-masing manusia, dan nikmat yang selalu merasa (QS Al Baqoroh 2 : 143), (QS Ar Rahman 55 : 13-16…), (QS Al ‘Ankabut 29 : 49).

Maka, segeralah setiap diri masing-masing orang itu, melepaskan diri dari pengetahuan yang menuntut untuk membaca apa yang di luar diri, dengan kembali kepada illmu yang mengajaknya untuk membaca apa yang di dalam diri (QS Al Isra” 17 : 14).

Sebab, Allah dan Rasul-Nya banyak membicarakan apa yang di dalam diri (hati),  sedangkan manusia banyak bicara apa yang di luar dirinya. Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk “wirid” atau banyak membaca kitab (catatan) di dalam diri, sedangkan kita banyak membaca catatan tulisan di atas kertas dan buku-buku terbitan atau karangan dan karya manusia.

Bacalah catatanmu itu, ia benar dan terpercaya serta ia tau dan bisa merasa, ia di dalam dada diri masing-masing manusia, bukan di atas kertas atau tulisan manusia (QS Al Baqoroh 2 : 2).

Maka, kitabmu itu adalah catatan dan ukiran yang dicatat dan diukir oleh-Nya, sehingga  catatanmu itu tidak ada sedikit pun apa yang diragukan di dalamnya. Sedangkan tulisan manusia atau omongnya, itu banyak terdapat di dalamnya keraguan. 

Lalu, kenapa kita memperbanyak membaca yang banyak keraguan, itu..?.