Nilai-nilai

Di dalam olah raga, seperti sepak bola ada pertandingan yang dalamnya terdapat sportifitas. Artinya, kalau lawan tanding sudah mengalahkan terhadap lawan tanding yang lainnya, maka lawan tanding yang lainnya menjadi kalah, lalu lawan tanding yang lainnya itu, mau mengakui kekalahan dirinya dan mengakui kemenangan lawan tandingnya.

Di dalam seni terdapat keindahan yang bisa dinikmati oleh masing-masing diri orang. Di dalam permainan terdapat strategi yang mainkan oleh seseorang yang menginginkan sebuah pencapaian secara efektif. Di dalam materi, terdapat metodologi yang musti dilakukan oleh seseorang, sesuai dengan karakter materi yan ada. 

Lalu, di dalam agama terdapat dogma atau ajaran yang musti bisa ditangkap isi ajarannya secara tepat dan benar untuk diamalkan secara tepat dan benar pula, agar berdampak kebaikan diri seseorang dan memberikan makna pada diri orang lain. 

Sportifitas di dalam olah raga, rasa keindahan oleh masing-masing orang di dalam seni, permainan atau seseorang memainkan sesuatu, demi tercapainya sebuah tujuan secara efektif, perlakuan yang tepat sesuai dengan barangnya atau materi yang diperlakukannya; Semua itu, disebut dengan “nilai atau makna” yang musti dijunjung tinggi oleh masing-masing diri orang yang memiliki rasa atau kepekaan diri. 

Begitulah seseorang di dalam menjalankan ajaran agamanya, hendaknya orang yang beragama itu memperhatikan unsur nilai atau makna di balik kata sebagai sebuah dogma atau ajaran.

Oleh sebab itu, temukanlah kebenaran dogma agama itu, melalui proses kajian untuk menemukan benda yang ditunjuk oleh kata, sehingga timbul pada diri orang yang bersangkutan, sebuah laku dan perilaku serta berlaku benar dan baik pada diri orang itu, untuk melahirkan jiwa diri yang berakhlaq budi baik, yang nilai keindahannya bisa dirasakan oleh pihak lain. 

#benar itu, berada pada materi yang telah ditemukan dari sebuah dogma berupa kata-kata.

#baik itu, berada pada diri orang yang mengamalkan materi ajaran agamanya. 

#indah itu, dampak perilaku mulia yang dilakukan oleh orang yang mengamalkan materi agamanya secara tepat dan benar.

Kitab itu Catatan

Apapun yang berasal dari selain Allah dan Rasul-nya, baik lisan maupun tulisan, omongan maupun goresan pena di atas kertas dan buku-buku atau yang lainnya, ia tidak lebih dari sebuah penjelasan yang belum final. Maka,  selamanya, baik omongan maupun tulisan manusia itu, tidak akan memberikan jawaban terhadap apapun secara pasti. Oleh karenanya, hendaknya masing-masing orang siapapun orangnya, sedapat mungkin menghindarkan diri dari sebuah keterjebakan diri dengan menolak keras, bahkan mengoloknya; Atau, justru sebaliknya, berpegang teguh terhadap kata-kata atau tulisan siapapun selain yang dari Allah dan Rasulnya, itu. Sebab, apa yang dikata dan atau ditulis oleh seseorang, tidak mungkin bisa mengungkap secara total terhadap apa yang dirasakan oleh orang yang bersangkutan.

Baik omongan maupun tulisan orang itu, akan selalu mengalami perubahan, seiring dengan perubahan pengalaman dan kemampuan dirinya di dalam mengungkapkan terhadap apa yang dirasakan, itulah yang secara lazim disebut dengan pengetahuan. 

Oleh karenanya, hendaknya seseorang itu, mengambil sikap “antara” atau tengah-tengah. Artinya, terhadap apa saja yang didengarkan dan dibaca, semua dikembalikan kepada rasa yang ada di dalam dirinya sendiri masing-masing dengan berpegang teguh terhadap kitab atau catatan Allah melalui sunnah rasul-Nya, yaitu iman yang bersifat shidiq, amanah, tabligh dan fathonah, serta ilmu yang bersifat tau ada di dalam dada diri masing-masing manusia, dan nikmat yang selalu merasa (QS Al Baqoroh 2 : 143), (QS Ar Rahman 55 : 13-16…), (QS Al ‘Ankabut 29 : 49).

Maka, segeralah setiap diri masing-masing orang itu, melepaskan diri dari pengetahuan yang menuntut untuk membaca apa yang di luar diri, dengan kembali kepada illmu yang mengajaknya untuk membaca apa yang di dalam diri (QS Al Isra” 17 : 14).

Sebab, Allah dan Rasul-Nya banyak membicarakan apa yang di dalam diri (hati),  sedangkan manusia banyak bicara apa yang di luar dirinya. Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk “wirid” atau banyak membaca kitab (catatan) di dalam diri, sedangkan kita banyak membaca catatan tulisan di atas kertas dan buku-buku terbitan atau karangan dan karya manusia.

Bacalah catatanmu itu, ia benar dan terpercaya serta ia tau dan bisa merasa, ia di dalam dada diri masing-masing manusia, bukan di atas kertas atau tulisan manusia (QS Al Baqoroh 2 : 2).

Maka, kitabmu itu adalah catatan dan ukiran yang dicatat dan diukir oleh-Nya, sehingga  catatanmu itu tidak ada sedikit pun apa yang diragukan di dalamnya. Sedangkan tulisan manusia atau omongnya, itu banyak terdapat di dalamnya keraguan. 

Lalu, kenapa kita memperbanyak membaca yang banyak keraguan, itu..?.

Ilmu Adalah Mengetahui

Kitab Al Qur’an Surat 29 ayat 49, menegaskan, bahwa di dalam dada setiap diri manusia, terdapat berbagai tanda atau ayat yang menyata sangat jelas, disebut dengan ilmu, ia (ilmu) itu, pemberian Allah terhadap setiap diri manusia. Ilmu, berarti tau. Oleh karena ilmu itu tau, maka ia bersifat benar dan tidak salah, sehingga untuk mengetahui kebenaran akan diri seseorang, sebenarnya yang bersangkutan cukup dengan membaca atau mengikuti apa yang terbaca di dalam dadanya.

Ilmu atau tau itu, berbeda dengan pengetahuan. Ilmu, anugerah dari Tuhan untuk setiap diri manusia, ia identik dengan iman dan nikmat, sedangkan pengetahuan adalah produk manusia yang sudah barang tentu, ia berbeda-beda antar satu orang dengan yang lainnya.

Ilmu atau tau, bersifat tau dan memberitahukan suatu kebenaran yang ada di dalam diri manusia, sedangkan pengetahuan bersifat upaya untuk mengetahui sesuatu yang dianggap benar, di luar diri manusia. Ilmu, itu memberitahukan terhadap sesuatu kebenaran secara mutlak apa yang di dalam diri manusia, sedangkan pengetahuan, mencari kebenaran di luar diri manusia yang bersifat nisbi. Ilmu,  selalu terbaca, sedangkan pengetahuan memerlukan upaya untuk pembacaan, analisa, metodologi dan sejenisnya. Ilmu, bersifat mutlak kebenarannya, sedangkan pengetahuan, kebenarannya bersifat paradigmatik dan seterusnya.

Oleh sebab itu, al Qur’an mengajak terhadap setiap diri manusia untuk mengikutinya, karena dengan al Qur’an itu, cukup menjadi perhitungan apapun bagi diri manusia.

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا

Al-Isra’ 17 : 14.

Bacalah catatanmu, maka cukup dengan dirimu, hari itu menjadi perhitungan atas kamu.

Berarti, Qur’an itu berupa catatan yang ada di dalam dada setiap diri manusia dan dengan terbacanya catatan yang di dalam dada setiap diri manusia tersebut, ia cukup menjadi perhitungan terhadap apapun yang ada pada diri setiap manusia itu. Bacaan tersebut, sangat jelas dan menyatakan akan kebenarannya. Hanya saja, kebenaran yang disebut dengan ilmu itu, sering diingkari oleh sifat kafir manusia yang suka menentang, tidak pandai berterimakasih, ingin menang sendiri dan sejenisnya (QS At Taghabun 64 : 2).

Lalu, bagaimana dan apa fungsinya mushaf kumpulan catatan bacaan al Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surat dan seterusnya itu?. Jika catatan mushaf atau kitab al Qur’an yang mulia itu, dibaca oleh lisan manusia yang dipimpin oleh iman, ilmu dan nikmatnya, sehingga bacaan lisan manusia tersebut, diperuntukkan sesuai dengan peruntukkannya, yaitu untuk diri sendiri masing-masing manusia, maka ia tidak akan menimbulkan problematika perbedaan dan pertengkaran apapun terhadap diri masing-masing manusia. Karena, yang demikian itu, ia (mushaf al Qur’an) dibaca dan difungsikan sesuai dengan fungsinya serta diperuntukkan tepat sesuai dengan sasarannya. 

Namun, sebaliknya, jika catatan mushaf al Qur’an itu, dibaca oleh lisan manusia untuk mengukur diri orang lain selain dirinya, ia tidak tepat sasarannya dan tidak sesuai dengan fungsinya. Karena tidak sesuai dengan fungsi al Qur’an diturunkan, yaitu menjadi hudan (petunjuk) bagi manusia yang membacanya.  Atau, dengan terbacanya al Qur’an pada diri manusia itu, bukan untuk menunjuki orang lain selain dirinya. Di samping itu pula, jika al Qur’an diperuntukkan bagi orang lain, maka ia tidak tepat sasarannya, sehingga akan menimbulkan pertentangan dan bahkan pertengkaran dan seterusnya, sehingga al Qur’an seolah menjadi tidak berfungsi apa-apa terhadap diri manusia.

Maka, sebenarnya al_Qur’an, itulah ilmu atau tau, wujudnya berbagai tanda yang menyata jelas di dalam dada setiap diri manusia. Dialah iman kepercayaan Tuhan dan dialah nikmat anugerah Allah swt, yang bisa merasakan adanya tanda atau berbagai ayat yang menyata jelas di dalam dada manusia itu; Dan ilmu atau al Qur’an itu, untuk diri manusia yang tau atau yang membaca itu sendiri, bukan untuk orang lain.

7/23/18, 21:04 – ‪+62 895-6088-99879‬: Manusia; Do’a Ifititah dan Haji Akbar

Imam Muslimin

Manusia itu ghoib dan ia berasal dari yang ghoib serta akan kembali kepada yang ghoib. Manusia yang goib itu, dinyata oleh yang ghoib wujud jasad manusia, artinya yang nyata adalah jasad, bukan manusia. Manusia yang telah dinyata pada jasad tersebut, bersama padanya yang tidak nyata, yang disebut dengan “nafsu”. Maka, nafsu itu, tidak nyata dan ia (nafsu) itu, dinyata oleh yang ghoib, wujud kemauan tampak atau nyata pada pekerjaan, oleh fisik atau jasad. Artinya, nafsu yang ghoib itu, nyata pada kemauan, wujudnya pekerjaan jasad manusia.

Yang goib, telah mengasal manusia dengan telah menciptakannya, itu menyata diri pada Akbar. Kemudian, Akbar yang telah dinyatakan oleh yang ghoib tersebut, menyebut yang ghoib yang telah mengasal manusia wujud ciptaan jasad, dengan sebutan Allah. 

Artinya, Akbar adalah sifat dari dzat yang disebut Allah. Maka Allah itu, bersifat Akbar, wujud diri manusia (basyar), pada Nabi Muhammad saw, putra Abdullah dengan Ibu bernama Aminah, lahir di Makkah dan wafat serta dimakamkan di Madinah, ia berbangsa dan berbahasa Arab. Namun, hakikinya beliau putra Abdullah tersebut, adalah rasul utusan Allah. Maka, rasul utusan Allah itu ghoib, bernama amin bersifat Akbar berada di Baitullah, wujud atau tanda fisik materi, berupa Ka’bah berada di Makkah, sebuah negeri yang diberkati.

Maka, Baitullah itu ghoib yang nyata adalah bangunan dari batu yang dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama putranya yang bernama Ismail as, di mana, keduanya berasal dari suku Ka’b. Oleh karenanya, nama bangunan dari batu tersebut, dinisbatkan dari mana mereka berdua berasal, yaitu suku Ka’b atau Ka’bah. 

Ke sanalah manusia itu, menghadap untuk bertemu dengan yang diutus, agar diantar kembali kepada yang ghoib yang telah mengutus, yaitu Allah swt; Yang menyata diri pada Akbar. Maka, Allahu Akbar, wajjahtu wajhiya lil ladzi fatoro dst, itulah iftitah (do’a iftifah) atau pembukaan. Pembukaan atau al Fatihah (pembuka segala sesuatu), itulah induk dari semua bacaan dan catatan (ummul qur’an dan ummul kitab). Maka, ia terulang 7 kali sebutan (sab’ul matsani), sebagai tanda atau ayat untuk menunjuk kepada amin. Oleh sebab itu, pembukaan atau pembuka segala sesuatu adalah Akbar sifat Allah bernama amin di Baitullah.

Oleh karena manusia yang telah dinyata pada jasad dan bersamanya ada nafsu yang berkeinginan itu, maka nafsu tersebut harus dihadapkan oleh yang dari yang ghoib dan bersama dengan yang ghoib, yaitu iman, ilmu, dan nikmat. Agar kemauan oleh nafsu wujud pada jasad tersebut, tunduk dan patuh kepada yang dari Allah, sehingga ia mendorong untuk berkemauan sesuai dengan apa yang di mau oleh yang ghoib melalui utusan yang ghoib dan berada di tempat yang ghoib, itu. 

Nafsu yang diciptakan oleh Allah bersamaan dengan jasad manusia itu, di mana nafsu itu,  tidak mati dan tidak hidup, akan tetapi nafsu itu, ada dan tiada. Sedangkan jasad manusia, itu hidup karena adanya nafsu, sehingga ada dan tidak adanya nafsu itu, bersamaan dengan hidup dan matinya jasad, sebagai nyatanya manusia. Artinya, selama jasad manusia, masih hidup maka nafsu akan selalu ada dan berada bersama jasad manusia itu. Sebaliknya, jika jasad manusia mati, maka nafsu menjadi tidak ada. 

Jasad manusia yang masih ada kehidupan, karena di dalamnya ada nafsu itu, musti dihadapkan lurus oleh iman kepada amin di Baitullah melalui sholat yang tertegakkan oleh mukmin, agar iman selalu memimpin nafsu, sehingga nafsu yang berkenginan itu, menjadi tunduk dan patuh untuk melakukan kebaikan sesuai dengan ilmu dan rasa yang dipimpin oleh iman.

Ilmu artinya tau dan dialah yang mengetahui akan salah dan benar, karena pada ilmu itu, terdapat berbagai tanda atau ayat yang jelas dan ia bisa dirasakan oleh nikmat anugerah Allah swt pada setiap diri insan manusia.

Maka, ilmu itu bersamanya tau sehingga benar dan bisa dirasakan. Sedangkan nafsu itu, bersamanya kesadaran. Maka, nafsu itulah sebenarnya yang bisa sadar atau ma’rifah. Lalu, wujud kesadaran oleh nafsu, adalah timbulnya kesadaran rahmah, sebagai risalah atau produk dari amin utusan Allah.

Karena itu, haji adalah kesadaran nafsu (arafah, ma’rifatunafs) berupa rahmah pada diri rasul utusan Allah yang bernama amin. Artinya, timbulnya kesadaran oleh nafsu wujud rahmah pada diri rasul utusan Allah bersifat Akbar bernama amin di Baitullah. 

Oleh karenanya, ketika haji dilaksanakan secara rukun oleh jasad manusia yang telah dipimpin oleh iman, ilmu dan nikmatnya, ia dimulai dari wuquf (berhenti) di Arafah, di bawah jabal Rahmah, kemudian dilanjutkan dengan mabit atau bermalam (suasana gelap) di Muzdalifah untuk jumroh aqobah pagi harinya. Kemudian dilanjutkan dengan mabit di Mina untuk jumroh ula, wustho dan aqobah selama tiga hari tiga malam dan berakhir berputar (thowaf) di sekeliling Ka’bah serta disempurnakan dengan sa’i antara shofa dan marwa sebanyak 7 kali perjalanan, sehingga tahallul. 

Maksudnya, berhenti (wuquf) atau selesai dan tuntas perjalanan manusia itu, ketika bertemu dengan rahmah, setelah berjuang melawan sifat syetan diri kegegalapan (mabit), sehingga diri manusia (dzatnya, bukan sifat) berada di Baitullah bersama amin rasul utusan Allah, untuk didapatkan shofa dan warma (senang dan gembira), karena tahallul atau halal dan boleh serta tidak haram baginya apapun yang ada di surga. 

#kesadaran, itu perlakuan dan sifatnya nafsu, wujud perbuatan jasad manusia. 

#ifitihah, itu pembuka segalanya bernama amin, wujudnya rahmah.

#haji, itu kesadaran oleh nafsu, karena bertemu dengan amin, wujudnya rahmah sifat Allah yaitu Akbar pada diri Nabi Muhammad saw.

Sehingga, haji akbar itu, hakikinya adalah terlahirnya kembali sifat dan perilaku jasad manusia yang dipimpin oleh imannya, karena ia telah berjumpa dengan amin di Baitullah, melalui kesadaran diri (nafsu) yang telah melihat rahmah.

Siti Khadijah

DETIK-DETIK WAFATNYA SITI KHADIJAH, ISTRI TERCINTA RASULULLAH*

Siti Khadijah adalah istri pertama Rasulullah. Orang yang pertama kali beriman kepada ALLAH dan kenabian Rasulullah. Orang yang sangat berjasa bagi dakwah Rasulullah dan penyebaran agama Islam.

Siti Khadijah wafat pada hari ke-11 bulan Ramadlan tahun ke-10 kenabian, tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun, saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.

PERMINTAAN TERAKHIR

Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Khadijah berkata kepada Rasululllah SAW,

Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.

Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dawah Islam sepenuhnya, jawab Rasulullah

Kemudian Khadijah memanggil Fatimah Azzahra dan berbisik,

Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.

Mendengar itu Rasulullah berkata,

Wahai Khadijah, ALLAH menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.

Ummul mukminin, Siti Khadijah pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan Rasulullah. Didekapnya istri Beliau itu dengan perasaan pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia Beliau dan semua orang yang ada disitu.

KAIN KAFAN DARI ALLAH

Saat itu Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan. Rasulullah menjawab salam Jibril dan kemudian bertanya,

Untuk siapa sajakah kain kafan itu, ya Jibril?

Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, Ali dan Hasan jawab Jibril. Jibril berhenti berkata dan kemudian menangis.

Rasulullah bertanya, Kenapa, ya Jibril?

Cucumu yang satu, Husain tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan sahut Jibril.

Rasulullah berkata di dekat jasad Khadijah,

Wahai Khadijah istriku sayang, demi ALLAH, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. ALLAH maha mengetahui semua amalanmu.

“Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu.

“Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?

Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup.

Seluruh kekayan Khadijah diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. Tetapi ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah.

Bahkan pakaian yang digunakan Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan diantaranya dengan kulit kayu.

Rasulullah kemudian berdoa kepada ALLAH.

Ya ALLAH, ya Ilahi Rabbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?

Tiba-tiba Ali berkata, Aku, Ya Rasulullah!

PENGORBANAN SITI KHADIJAH SEMASA HIDUP

Dikisahkan, suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, Beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut, dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah bersabda,

Wahai Khadijah tetaplah kamu ditempatmu.

Ketika itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi.

Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makananpun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fatimah r.a.

Kemudian Beliau mengambil Fatimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.

Rasulullah tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.

Wahai Khadijah Mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad? tanya Rasulullah dengan lembut.

Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?” lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.

Wahai suamiku. Wahai Nabi ALLAH. Bukan itu yang kutangiskan.” jawab Khadijah.

“Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya.

“Wahai Rasulullah. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyebrangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyebarangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan.

“Maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu.

“Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah.

Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu karena dua orang yang dicintainya yaitu istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib telah wafat.

Tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.

Ilaa hadlratin Nabiyyil musthafa, wa ilaa Khadijah al Kubra, al Fatihah. 

Nikmat dan Anugerah

Anugerah pemberian Allah, sekaligus sebagai amanah terhadap setiap diri manusia, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, apapun suku, bangsa dan agamanya, adalah apa yang disebut dengan nikmat.

Nikmat, tentu berbeda dengan kenikmatan. Nikmat itu, anugerah pemberian Allah untuk setiap diri manusia dan ia bersifat rasa, maka nikmat itulah yang bisa merasa dan merasakan.

Sedangkan kenikmatan, itu lebih bersifat fisik, di mana setiap orang berbeda sesuai dengan keadaan fisik dan sejenisnya masing-masing. Maka, kenikmatan itu, digambar oleh al Qur’an sebagai permaian keduniaan yang penuh dengan permainan tipuan, QS 6 : 36, QS 57 : 20.

Nikmat lebih bersifat batin, sedangkan kenikmatan lebih bersifat fisik atau dhohir.

Oleh karenanya, nikmat merupakan anugerah Allah yang paling besar bagi setiap diri manusia, sebab hanya nikmat yang bisa merasa. Jika nikmat anugerah Allah terhadap diri manusia itu, teringkari oleh manusia, maka ia tidak akan bisa merasa, sehingga seolah nikmat tersebut mati, maka lazim disebut dengan “mati rasa”. Artinya, nikmat anugerah-Nya tersebut, tetap ada, hanya saja sifat atau rasa dari nikmat itu, tertutupi oleh sifat pengingkaran (kafir) diri manusia, itu. QS 64 : 2. 

Maka, nikmat tersebut, wujudnya rasa yang Allah tiupkan (nufukh) terhadap setiap diri manusia, berupa iman yang dipercaya oleh Tuhan.

Iman tersebut, berwujud catatan (kitab) yang tidak ada di dalamnya sebuah keraguan sedikipun, QS 2 : 2. Catatan itu, benar maka disebut ilmu, QS 29 : 49. Dan ilmu tersebut menanda jelas dengan cahayanya (nur), maka disebut ayat, ia ada di dalam dada setiap diri manusia, siapapun orangnya, apapun jenis kelaminnya serta dari mana dan apapun bangsa serta agamanya.

Maka, rasa dari dan oleh nikmat Allah terhadap setiap diri manusia itu, sama. Tidak tua dan tidak muda, tidak laki dan tidak perempuan, jika dipijit, nikmat rasanya dan jika dicubit, sakit rasanya.

Artinya, nikmat itulah yang merasa karena adanya ruh yang ditiupkan oleh Allah kepadanya, wujudnya catatan (kitab) dan ia dipercaya oleh iman serta dibenarkan oleh ilmu (bukan pengetahuan).

Oleh sebab itu, nikmat disebut juga dengan iman, kitab dan ilmu. Nikmat itu, benda, kerja nikmat adalah merasa (QS 55 : 13, 16) dan rasa tersebut benar serta terpercaya, sebab rasa itu tiada dusta karena menyampaikan apa adanya, itulah sifat iman yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Rasa yang dipercaya akan kebenarannya itu, tercatat dan terukir di dalam dada, namanya al kitab dan ia terbaca jelas tiada dusta serta benar, namanya al Qur’an, QS 17 : 14.

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبً

7/26/18, 16:36 – ‪+62 895-6088-99879‬: (اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا)

Al-Isra’ 14

7/26/18, 18:27 – ‪+62 895-6088-99879‬: Percaya Kepada Allah

Imam Muslimin

Percaya kepada Allah itu, maksudnya percaya kepada Rasul utusan-Nya. Lalu, percaya kepada Rasul utusa-Nya itu, percaya kepada Nabi Muhammad saw putra Abdullah. Kemudian, percaya kepada Nabi Muhammad saw putra Abdullah itu, berlaku mencontoh beliau Nabi Muhammad saw, sebagai Rasul utusan Allah yang bernama atau disebut amin. 

Berlaku mencontoh Nabi Muhammad saw putra Abdullah sebagai Rasul utusan Allah yang bernama atau disebut amin itu, artinya berlaku atas dasar iman yang berisifat empat, yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah.

Sehingga, benar apa yang disampaikan, apa yang diomongkan dan benar apa yang dilakukan oleh seseorang, sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Apa yang ada di dalam hati, tidak dikhiyati, itulah amanah nama atau sebutannya. Lalu, tidak ditambah dan atau tidak dikurangi, itu sebutannya tabligh atau apa adanya. Sehingga, cerdas atau fathonah, karena tidak diperlukan “ngarang-ngarang” dan sejenisnya..

Bagi Nabi Muhammad (amin), tidak diperlukan “ngarang-ngarang, karena mendapatkan langsung dari Allah, namanya wahyu.

Bagi selainnya (iman), tidak diperlukan “ngarang-ngarang”, karena mendapatkan dari amin, tinggal membenarkannya, tidak dikhiyanatinya, disampaikan apa adanya sehingga cerdas dan tidak dungu atau bodoh. 

Itulah, makna “syahadatain” atau dua persaksian, yang inti dan substansinya adalah percaya kepada Allah, karena benar-benar menyaksikan-Nya. Maka, menyaksikan dan yang disaksikan hanya Allah sebagai Tuhan, sedangkan selain DIA, bukanlah tuhan. Itu, artinya, menyaksikan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah, bukan tuhan. Dia hanya utusan Allah yang amin, sehingga dialah yang shidiq, yang amanah, yang tabligh dan yang fathonah. 

Sedangkan, selain beliau (amin), bisa shidiq, bisa amanah, bisa tabligh dan bisa fathonah, oleh karena imannya tegak dengan sholat atau terjadinya hubungan dengan amin. Jika, tidak tegak sholatnya, maka tidak akan terjadi hubungan dengan amin, dan jika tidak terjadi hubungan dengan amin, maka tidak bisa shidiq, tidak bisa amanah, tidak bisa tabligh sehingga dungu dan bodoh, alias tidak cerdas.

Aroma Pahala

“Kesuksesan dibangun dari pelajaran-pelajaran berharga yang diajarkan oleh kegagalan”.

Paragraf yang saya sampaikan di atas adalah tulisan hikmah yang pernah ditulis oleh seorang teman yang memiliki kedalaman spiritual bernama Dr. Fadhil Sj. Ia selalu membagi ilmu hikmah atau mutiara hikmahnya di setiap pagi dalam bingkai “Embun Pagi”, sehingga teman-teman sering memanggilnya dengan “Pak Doktor Embun”.

Memperhatikan untaian kata hikmah yang ditulis oleh Pak Doktor Embun di atas, bisa memantik untuk berfikir dan direnungkan lebih dalam sehingga hasil pikiran dan renungan tersebut mudah untuk dipraktekkan oleh siapapun dalam kehidupan sehari-hari 

Realitasnya tidak seorangpun dalam menjalani kehidupannya yang tidak ingin sukses, semua orang ingin sukses. Akan tetapi tidak jarang manusia, juga mengalami kegagalan satu atau dua episode dalam kehidupannya. Dan kegagalan tersebut dianggapnya sebagai sebuah hal yang menakutkan, sehingga kegagalan tidak menjadikannya pelajaran berharga untuk bangkit dan sukses, sebaliknya justru timbul sifat dan sikap pada diri yang gagal tersebut sebuah “traumatika” yang menghantaunya. 

Melihat apa yang disampaikan oleh Pak Doktor Embun, sebuah kegagalan adalah keniscayaan bagi setiap orang dalam menjalani tugas kehidupannya. Artinya, seolah seseorang harus “gagal dulu” atau memiliki sejarah kegagalan atau di dalam kegelapan, barulah tahu akan hakikat kesuksesan atau terang benderang.

Maka, hendaknya tidak dipersoalan sejarah kegagalan manusia siapapun, karena kegagalan atau kegelapan adalah guru yang bisa menunjukkan akan kesuksesan dan penerangan.

Australia menjadi negara yang besar dan kuat, karena dibangun di atas sejarah kegagalan dan kegegelapan atas penindasan penguasa. 

Pada abad 18 Inggris menguasai Australia dan menjadikannya negara ini tempat pembuangan bagi orang-orang yang dianggap menjadi perusuh, karena sikap kritisnya terjadap penguasa saat itu.

Orang-orang yang dibuang oleh penguasa Inggris saat itu atas dugaan dan tuduhan tindak kriminal adalah orang-orang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, sehingga ketika berada di tempat pembuangan mereka justru yang menemukan tambang emas, sehingga selanjutnya merekalah yang di kemudian hari mendirikan dan menguasai berbagai bidang kehidupan di Australia, mulai aspek politik dan pemerintahan, ekonomi dan lainnya.

Indonesia merdeka, karena adanya penjajahan Belanda dan sebagainya. Seandainya tidak ada penjajahan Belanda atas Indonesia, maka perjuangan untuk meraih kemerdekaan tidaklah terjadi dan Indonesia tetap akan dikuasai oleh para raja yang sulit untuk dipersatukan antar satu dengan yang lainnya.

Itulah ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang mau menerima Abu Bakar, Umar, Ustsman dan para shahabat yang lainnya, sekalipun sebagian hidup mereka pada masa lalunya terdapat kegegelapan jahiliyah.

Berbeda dengan ajaran Syi’ah yang hanya bisa menerima dan mengakui Sayyidina Ali, juga para keturunannya karena dianggapnya suci sejak kecil tiada punya sejarah kegelapan.

Ajaran mana yang kita anut..???

Syi’ah apa Ahlus Sunnah wal Jama’ah..???

Atau mengaku Ahlus Sunnah wal Jama’ah, akan tetapi prakteknya Syi’ah atau sebaliknya..???

Oleh sebab itu, bukan pengakuan yang dianggap penting dalam kehidupan, akan tetapi amal nyata kerukunan.

Maka disebut Rukun Islam, karena Islam itu pengakuan dan isinya adalah kerukunan alias tidak bertengkar antar satu dengan yang lainnya untuk menciptakan kedamaian, baik damai diri maupun damai terhadap orang lain agar diperoleh kedamaian dalam kerukunan dan kerukunan dalam kedamaian.

Silahkan mengaku beriman sebagai pengikut Nabi Muhammad saw..

Mengaku Yahudi atau pengikut Yahuda putra pertama Nabi Ya’qub..

Silahkan saja mengaku Nasroni atau pengikut Nabi Isa as..

Silahkan saja mengaku sebagai kaum sabiat pengikut Nabi Yahya yang tiada perbah berfikir maksiyat kepada Allah dan rasul-Nya..

Pengakuan semuanya tidaklah penting dari iman dan amal nyata untuk kemaslahatan kemanusiaan. Dan mereka inilah yang dibalas oleh Allah dengan pahala yang besar nanti kelak ketika menghadap Allah swt.

Memang pahala atau “ujroh” bagi manusia beriman dan beramal nyata akan diberikannya ketika sudah atau saat menghadap Allah swt. Akan tetapi, sebelum pahala tersebut dirimakannya secara langsung, Allah akan memberikannya terlebih dahulu kepada manusia yang bermal nyata untuk kerukunan saat masih hidup di dunia. Diandaikan kita memasak atau membikin minuman kopi, sebelum kita meminumnya secara langsung, aroma atau bau kopi tersebut sudah dapat kita rasakan.

Dialah yang disebut dengan “riihul ujroh” aroma pahala, apa itu aroma pahala?

Adalah hilangnya gundah gulana dan kesedihan serta ketakutan.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Al-Baqarah 62

Artinya, jika anda masih bersedih dan sering dihantaui rasa kekuatiran, anda kurang atau belum beramal nyata demi kemaslahatan umat sekalipun mungkin anda sudah mengakui karena telah melakukannya. Akan tetapi, kenapa masih gundah gulana, sedih dan kuatir terasakannya??

Artinya amal nyata yang anda perbuat itu bukan amal nyata yang maslahah, mungkin amal anda adalah curian dari uang negara atau perilaku anda menolong orang adalah rekayasa dari amanah yang anda emban dengan cara berebut tendang sana dan tendang sini.

Yang tahu, bukan orang lain tapi diri sendiri.