Rumah Adat Tongkonan

Seorang teman bermaksud membangun sebuah rumah adat khas Toraja, Rumah Adat Tongkonan. Sebuah permintaaan dari masyarakat benua Eropa yang ingin memiliki koleksi beberapa rumah adat ASIA, pada sebuah festival sumah adat disana. Seseorang tertarik untuk menghadirkan rumah ini dan memesan kepada salah satu warga senior Toraja untuk mengusung rumah adat Tongkonan beserta seluruh perlengkapannya. Dan kemudian dipersiapkanlah materi2 lengkap, asli semua secara keseluruhan didatangkan dari Toraja Sulawesi Selatan.

Setelah semua disusun berdasarkan rencana2 pembangunan rumah adat Tongkonan, teman kami yang mengetuai ekspedisi pembangunan rumah adat Tongkonan di festival Eropa berniat untuk mengadakan pengecekan terakhir. Semua kayu dan atap sudah tersusun rapi, bahkan ornamen2 khas pun dipasang setelah dipersiapkan jauh2 hari sebelumnya dari Tanah Toraja. Tiba pada saat akhir rumah ini siap untuk dipajang terjadilah satu tragedi. Sebuah pisau yang tak diduga2 dari mana asalnya jatuh dan mengenai salah satu jari teman kami.

Kami yang berada disana pun jadi hiruk pikuk kebingungan mencari kapas dan betadine untuk membalut jari teman kami yang terkena pisau yang jatuh tak diduga2. Teman kami si developer rumah adat Tongkonan dengan santai mengatakan, biarlah darah ini mengalir di rumah Tongkonan, biarlah rumah ini menerima tetesan darahku. Aku lupa bahwa kita membangun rumah adat harus ada syarat2 yang harus kita penuhi. Itu yang kita tidak persiapkan, sungguh aku begitu malu!

Kami hanya menganga melihat teman kami menggantungkan jarinya, meneteskan darah ke lantai rumah adat. Kami baru sadar ada sesuatu yang belum kami persiapkan. Kerbau!

Jenis Nasi Dalam Serat Centini

Oleh Ika Farihah Hentihu

Mahasiswa Doktoral Pasca Sarjana Universtias Sebelas Maret Surakarta

Makanan tradisional adalah warisan nenek moyang yang perlu dilestarikan keberadaannya. Sejarah kuliner di nusantara ini, begitu kaya dan beragam. Salah satu literatur yang mengupas pengetahuan tentang kuliner tersebut adalah Serat Centhini. Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambangraras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, ditulis pada periode 1814 sampai dengan 1823. Literatur ini disusun oleh tim penulis yang dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sunan Pakubuwana IV Kasultanan Surakarta Hadiningrat,   yang kemudian hari menjadi Sunan Pakubuwana V. Anggota tim penulisnya adalah Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ng. Ranggawarsita I) dan Raden Ngabehi Satrodipuro.

Dalam serat Centhini diceritakan kebanyakan masyarakat mengonsumsi hasil bumi dan karangtiri berupa pala kependhem (umbi-umbian), pala gemanthung (buah-buahan) serta pala kesimpar (buah di atas permukaan tanah). Masyarakat pada jaman itu melengkapi sajian jajanan pasar dengan hasil pekarangan lain seperti sirih, obat herbal, dan bunga-bungaan yang digunakan sebagai penghias dan pengharum seperti anggrek bulan, wora-wari, kenanga, cempaka, melati, menur dan bunga dangan.
Ketika datang hajatan, keluarga Jawa akan mengundang tetangga dan teman untuk berdo’a dan makan bersama. Kondangan, itulah istilah yang digunakan untuk menyebut aktivitas mendatangi tetangga atau teman yang sedang punya hajat. Setelah pesta usai, para tamu undangan yang kondangan ini diberi buah tangan oleh tuan rumah yang disebut “berkat”. Selain “berkat”, dikenal pula makanan “punjungan” yaitu makanan yang dikirim kepada orang yang lebih tua dan dihormati. Ada juga makanan yang disebut “ulih-ulih”, yakni nasi dan lauk pauk untuk mereka yang terlibat among gawe. Pada jaman itu, masyarakat telah mengenal dan membudayakan pola makan tiga kali sehari yaitu sarapan, makan siang, dan makan malam.

Sebagaimana diketahui bahwa makanan pokok orang Jawa adalah nasi. Namun demikian Serat Centhini menyebutkan variasi nasi yang dikonsumsi masa itu dengan kata sega dan sekul. Kata sekul telah dipergunakan sejak jaman Jawa kuno sebagaimana disebutkan dalam beberapa prasasti. Adapun variasi nasi yang disebutkan adalah :
– Sega Bubur adalah nasi yang dimasak dengan air ekstra, bahan beras yang cukup terbatas dan waktu pemasakan yang cukup lama pula. Sega Bubur oleh orang Jawa biasa disajikan sebagai sarapan pagi. Kadang Sega bubur diberi campuran parutan kelapa muda, santan dan sedikit garam
– Sega Pulen adalah nasi dengan kualitas beras cukup baik yang apabila dimasak dengan kada air yang tepat maka akan didapat hasil nasi yang cukup lezat
– Sega Wuduk Punar (Nasi Gurih Kuning) adalah yang biasa disebut dengan nasi Uduk, atau nasi yang dimasak dengan santan, garam dan bawang putih. Biasanya disediakan bersama ikan asin dan atau telur.
– Sega Abang adalah nasi yang berwarna merah kecoklatan, berasal dari beras merah yang dipergunakan sebagai makanan utama. Beras merah biasanya direndam dulu semalam seperti beras ketan. rasa nasi beras merah atau sega abang ini mirip seperti jagung rebus.
– Sega Akas adalah nasi yang dimasak dengan sedikit air, dengan cara dikukus dulu berasnya, kemudian dikeluarkan dan diaru di luar dengan mempergunakan air ataupun santan. Kemudian ditanak kembali. Akas adalah karena aspek keawetan karena nasi akas bisa bertahan lebih lama dibanding nasi lemas.
– Sega Empal adalah nasi yang diberi tambahan lauk empal daging, atau di suku Sunda disebut dengan gepuk daging.
– Sega Golong adalah nasi yang dibentuk bulat-bulat dan diisi dengan lauk, misalnya ayam goreng atau daging yang dimasak berbumbu semur. Nasi golong biasanya berjumlah ganjil, misalnya 7 buah. Nasi ini diletakkan mengelilingi tumpeng putih kemudian disajikan dengan lauk-lauk segar seperti misalnya urap-urap dan terancaman.
– Sega Goreng adalah nasi goreng ala Jawa yang dibumbui dengan cabe merah, bawang dan terasi. Beda dengan nasi goreng layaknya diberikan bumbu-bumbu ala cina yaitu cabe, lada dan berbagai macam saus.
– Sega Kresna (Nasi Hitam) Nasi Kresna adalah nasi beras ketan hitam yang dicampur dengan beras putih juga. Memasaknya harus direndam semalam karena biji beras ketan hitam sangat keras seperti ketan hitam. Nasi Kresna yang lain menurut zaman ini ada pula yang dicampur dengan tinta hitam cumi-cumi.
– Sega Lemes adalah nasi yang dimasak dengan ekstra air sehingga tekstur nasi lemas, berbeda dengan nasi akas. Nasi lemas ini seperti nasi liwet.
– Sega Liwet adalah nasi yang memakai metode memasak yang berbeda dengan nasi biasa. Nasi liwet hanya memakai satu alat masak, memakai satu wadah dan diletakkan di dalam panci berisi air. Atau memakai panci khusus untuk meliwet. Tekstur dari nasi liwet ini lemas dan cenderung menjadi satu setelah dingin.
– Sega Lodhoh adalah nasi yang diberi lauk ayam lodhoh yaitu sejenis masakan ayam khas dari kota Tulungagung. Ayam lodhoh adalah masakan ayam dengan bumbu putih dan memakai santan. Ayam biasanya setelah dipotong dibakar terlebih dahulu sehingga menimbulkan efek bakar. Setelah itu dimasak santan dengan mempergunakan bumbu bawang, kemiri dan jintan.
– Sega Tumpeng adalah nasi yang setelah dimasak kemudian dibentuk menjadi tumpeng kerucut. Biasanya nasi tumpeng dipersiapkan untuk acara-acara tertentu. Warna nasi tumpeng ada yang putih dan juga ada yang kuning atau nasi kuning.
– Sega Wudhuk adalah kata lain dari nasi uduk yang dimasak dengan santan dan bumbu bawang
– Sekul Asahan adalah nasi yang diberi lauk dalam sepaket, misalnya ayam goreng, sambel goreng tempe, telur, ketimun dll. Biasanya disediakan untuk acara-acara agama, adat, dan sebagai bagian dari kegiatan yang bersifat perkumpulan. Sekul asahan yang membedakan dengan hidangan prasmanan atau self service.
– Sekul Biru adalah nasi yang dimasak dengan mempergunakan campuran bunga khusus yang berwarna biru hingga menghasilkan warna biru laut. Nasi ini sangat dikenal di Malaysia sebagai nasi khas.
– Sekul Gaga adalah nasi yang mempergunakan beras gaga (baca : gogo). Beras gogo adalah berasal dari padi yang ditanam dengan sistim larikan, galengan, ditanam tanpa diairi, namun dikucur per ruas-ruas pohon. Sehingga hasilnya adalah nasi dengan tekstur yang cukup berbeda
– Sekul Jagung adalah nasi berbahan jagung, ada jagung yang dipipil kemudian ditumbuk menjadi beras. Lalu ada pula jagung yang disebut mpog. Jagung ini setelah dipipil direndam, kemudian dikukus agar supaya bertekstur lembut. Setelah itu digiling dan kembali dikukus. Setelah itu disajikan dengan campuran nasi putih atau tidak sama sekali. Biasanya sekul jagung disajikan bersama urap-urap atau pecel dan sayur pedas.
– Canthel adalah nasi berbahan dasar singkong yang telah berumur. Biasanya disebut thiwul. Thiwul biasa dikonsumsi sebagai cemilan bersama kelapa parut, kalau canthel dikonsumsi sebagai nasi atau makanan utama.
– Sekul Lemeng adalah kata lain dari nasi lemang, yaitu sejenis penganan berbahan beras ketan yang dibumbu santan dan garam. Memasaknya pun unik yaitu dalam buluh bambu dan dibakar selama 3 jam. Setelah itu bambu dibelah dan kemudian penganan ini disediakan dengan dipotong-potong. Rasanya mirip lemper.
– Sekul Tumpeng Golong adalah nasi tumpeng putih yang dikelilingi dengan nasi golong (berbentuk bulat) yang berjumlah 7 atau ganjil.
– Sekul Tumpeng Megana adalah nasi Tumpeng Putih dilengkapi dengan lauk-pauk yang diisikan di dalam tumpeng, sehingga orang tidak tau dan meraba-raba apa isi di dalam tumpeng ini. Biasanya diisi dengan lauk pauk. Misal telur, ayam masak santan atau merah dll
– Sekul Ulam adalah nasi dengan didampingi lauk pauk yaitu misalnya ayam, daging, telur atau ikan.
dan banyak lagi yang belum kami sebutkan disini, mengingat jenis nasi ini ternyata sangat banyak disebutkan hingga terdapat banyak jenis dan banyak kesamaan.

Rinduku Galesong

[Puisi]

Rinduku Galesong

Rinduku

Aku rindu

Aku rindu pada Galesong

Aku rindu pada Sombayya, ayahku

Aku rindu dimandikan di Bungung Baraniya

Aku terpaksa tak kembali duhai Sombangku

Tapi aku tahu ayah juga merindukanku..

Datang ke Somba Opu

Aku rindu ayah panggil nama kecilku

Baso..sini ko nak, Baso..sini ko nak

Aku disini aman ayah, bersama dengan istriku..

Potre Koneng

Bermimpikah engkau tentang diriku wahai ayahku?

Aku selalu bermimpi tentang ayah

Saat kita bersama berkuda di pantai Galesong

Memandangi kapal-kapal Portugis yang sandar

Aku rindu duduk bersama ayah

Mendengar nasihat-nasihat bijakmu

Aku ingin bersimpuh di depanmu

Mengenang saat ku akan pergi ke Marege

Aku tidak ke Marege ayah, tolong percayalah

Aku tidak ke Marege

Marege!

Ayah pasti tahu itu.

(Karaeng Galesong,Malang)

Neo Tautologi

Saya membaca berita di suratkabar nasional yang kira-kira berbunyi sebagai berikut: Duta Besar Belanda meletakkan krans bunga pada makam para pelaut Belanda yang gugur pada masa agresi Jepang. Kita memahami bahwa ‘krans’ bermakna ‘karangan bunga’, jadi dengan diberi embelan ‘bunga’, maka sebenarnya sudah terjadi kerancuan karena ini berarti secara implisit kata ‘bunga’ itu diucapkan dua kali. Inilah yang dinamakan dengan ‘tautology’, gaya bahasa yang tanpa disadari menyiratkan penyebutan kata ‘kembar  siam’ yang dalam bahasa anak muda bolehlah disebut dengan ‘lebay’.

 

Saya teringat gaya bahasa ayah saya yang gemar menggunakan diksi ‘dibunuh mati’. Mau tak mau saya tak dapat menahan geli mendengar istilah ‘dibunuh mati’ ini. Lha wong ‘dibunuh’ itu maknanya jelas ‘dibuat mati’, kenapa kok ditambah lagi dengan kata ‘mati’. Saya juga sering menjumpai istilah ‘tumor kanker’ dituliskan pada media cetak. Tumor itu sama dan sebangun dengan kanker, jadi benar-benar lebay si penulisnya ini. Anda barangkali juga pernah mendengar seseorang mengatakan ‘peristiwa ini terjadi pada pukul 16 sore. Ya ampun, semua orang juga tahu kalau jam 16 itu pasti sore. Lain soalnya, kalau dia mengatakan ’pada pukul 4 sore’, ungkapan ini benar dan bukan tautologis. Dan baru inget juga, dulu bapak suruh beli pasta gigi dengan mengatakan nak belikan Odol Pepsodent, dan saat itu masih ingat juga ada pasta gigi dengan merk Odol yang kemudian dikenal sekarang odol adalah arti dari pasta gigi itu sendiri.

 

Dalam wacana mutakhir seringkali kita mengatakan ’berapa nomor PIN kamu?’ atau dalam bahasa Inggris biasa diucapkan dengan ’What’s your PIN number?’ Padahal kita mafhum bahwa PIN adalah akronim dari ’Personal Identification Number’. Jadi dengan mengatakan ’PIN number’ kita secara lebay sudah mengucapkan ’number’ sebanyak dua kali. Demikian pula kebiasaan mengatakan ’mesin ATM’ atau ’ATM machine’. Kita sudah lupa bahwa ATM sesungguhnya adalah kependekan dari ’Automatic Teller Machine’, sehingga dengan mengatakan ’ATM machine’, kata ’machine’ ini secara boros sudah diucapkan dua kali. Juga kebiasaan mengatakan ’virus HIV (HIV = Human Immunodeficiency Virus)’ dan ’memori RAM (RAM = Random Access Memory)’ merupakan contoh-contoh lain dari tautologi ini.

 

Juga ungkapan yang sudah kadung lazim tetapi sebenarnya bernada tautologis sering terlontar dari mulut kita semisal ’hadiah cuma-cuma’ (free gift), ’prioritas pertama’ (first priority), ’mengeluarkan bau aroma yang tak sedap’, saling baku tembak (saling = baku), tidak bergeming (bergeming = tidak bergerak), kawat behel (ini dari kata Belanda beugel yang bermakna ’kawat’), iring-iringan konvoi, kata password (kata = word), beaya ONH (beaya = ongkos). Dan dua frasa berikut ini adalah contoh tautologi yang sudah menjadi salah kaprah yang umum yaitu ’paling terbaik’ (paling = ’ter’) dan ’amat baik sekali’ (amat = sekali). Adakah contoh lain yang dapat Anda berikan mengenai tautologi ini?

Lomba Blog

Banyaknya lomba Blog yang menjamur di dunia maya menjadikan para pegiat keyboard semakin termotivasi. Melalui media penyelenggara web dan pendukungnya twitter dan facebook, para penulis ala keyboard ini semakin jauh beranjak memaksimalkan otak dan keinginan untuk terus berekspresi dan maju.

 

Dalam paruh tahun pertama sudah ada puluhan lomba yang diselenggarakan oleh Blog berbasis pemerintah, lembaga sosial, lembaga swadaya, dan individu web blog. Yang banyak dishare saat ini adalah kebudayaan, seni, pariwisata dan support bidang iklan. Memang kadang asik sekali menggeluti tulisan-tulisn berkompetisi. Banyak penulis-penulis mengandalkan informasi-informasi dunia maya, sehingga sangat terlihat secara eksplisit dalam tulisan-tulisannya bahwa dia hanya berpegang pada intuisi dan bukti-bukti non otentik, seperti informasi maya.

 

Namun banyak pula yang mengandalkan pengalaman telah melaksanakan perjalanan jauh. Dengan berbekal pengalaman tersebut seorang penulis jauh lebih menguasai apa yang akan ditulis dan didukung dengan foto-foto yang akurat dan sesuai. Penulis semacam ini sangat terlihat jelas secara eksplisit dalam tulisannya, mudah dipahami alurnya, dan tidak berbelit-belit.

 

Apakah ada kriteria-kriteria tertentu untuk Lomba Blog? Menurut hemat saya sejak awal sudah ditentukan keberadaan lomba ini mencantumkan kriteria-kriteria yang papar agar supaya tidak ada kekecewaan peserta lomba dikemudian hari. Blog memang sangat banyak fitur-fitur rumit dimana setiap pembacanya bisa menikmati. Apabila slaah satu kriteria lomba tersebut adalah desain blog yang menyesuaikan dengan tulisan, maka sangat laik diungkapkan di awal pengumuman lomba dimana setiap blogger akan juga berusaha mendesain template blog masing-masing. Apabila tidak maka desain blog akan sangat mempengaruhi hasil keputusan juri lomba blog tersebut. Maka blog-blog dengan tulisan-tulisan menarik namun diiringi dengan desain blog yang minim akan langsung tersisih.

 

Tulisan-tulisan peserta yang saya baca sangat beragam gaya. Hal ini disebabkan karena latar belakan penulis yang bukan orang-orang bahasa atau linguistics. Salah satu peserta yang menang saya acung jempol karena memakai diksi-diksi khas. Seperti lagu-lagu milik KLA Katon Bagaskara, terkenal dengan kata-kata baru yang bahkan tidak ditemukan di KBBI. Namun dengan memahami konteks secara keseluruhan, diksi-diksi beragam yang dipakai oleh penulis ini sangat bisa dipahami dan dinikmati. Lain halnya dengan pemenang-pemenang lain yang mengandalkan pengalaman dan info-info statistik. Informasi seperti itu kadang membuat pembaca menjadi jenuh. Berkutat dengan angka-angka yang memedihkan mata. Namun itulah yang terjadi, justru tulisan ini yang muncul sebagai pemenang. Belum lagi dengan tulisan definisi-definisi layaknya kamus, menunjukkan specs-specs sebuah lokasi wisata, atau informasi-informasi ingredients sebuah produk yang sangat identik satu sama lain. Namun apa yang terjadi sungguh di luar dugaan.

 

Tulisan-tulisan itu memenangkan lomba ini!! Oh my God!

 

Semuanya menjadi mungkin. Betapapun usaha-usaha mempromosikan wisata daerah dengan gaya artikel fiksi agar tulisan menjadi tidak kaku dibaca menjadi termarginalkan dengan tulisan yang penuh dengan specs-specs lokasi wisata. Dan tulisan itu hanyalah sebagai sebuah pepesan kosong. Nepotisme dan kolusi akhirnya sangat erat kaitannya dengan lomba Blog. Sebuah komunitas milis dan blogger akan berpikir dua kali untuk tidak membalas memberikan penghargaan pada komunitas lain yang telah memberikan hadiah sebelumnya. Iming-iming berbentuk iPad memang sangat menarik. Namun bila merujuk pada event-event lomba sebelumnya yang saling berkait dan seolah hanya bertukar hadiah saja menjadikan event ini terlihat sangat memuakkan.

 

Mungkin perlu berpikir panjang untuk memasukkan tulisan-tulisan berbobot, tulisan yang telah dipuji secara offline tetapi tidak di online, tulisan-tulisan yang secara tidak langsung mempromosikan kepada dunia tentang satu produk, satu lokasi geografis dan wisata. Kadang melintas pikiran-pikiran jorok, kenapa harus pusing mempromosikan wisata daerah yang jauh dari tempat tinggal kita. Kota kecil ini masih banyak membutuhkan jari-jari lentik untuk memperkenalkan bahwa kota ini ada.

 

Dan Lomba Blog hanyalah sekedar ajang bertukar hadiah semata, dan bukannya evaluasi terhadap tulisan dan promosi yang sesungguhnya. Ciyan!

 

Salam

Bule Keseleo Lidah

Kita barangkali sering ditertawakan dalam hati oleh orang bule waktu berbahasa Inggris karena salah ucap, salah tulis, dan salah makna. Tapi kita tak perlu berkecil hati dan merasa minder, sebab mereka pun ‘sama blo’on’ kalau harus menggunakan bahasa Indonesia yang sebetulnya jauh lebih mudah baik dari segi tatabahasa, pelafalan maupun pengejaannya. Mendengar dan membaca mereka berbahasa Indonesia yang ‘pecuk’ (terbolak-balik) membuat kita sulit untuk menahan tertawa apalagi kalau mereka mengucapkannya dengan wajah polos (innocent).

 

Beberapa hari yang lalu saya hampir terpingkal dalam suatu meeting mendengar pidato sang expat dalam bahasa Indonesia. Dalam salah satu kalimat naskah sambutan itu ada istilah ‘menara gading’. Namun sungguh tak dinyana, istilah ini diucapkan dengan ‘menara daging’. Kata lain yang cukup sering menjadi batu sandungan buat si bule adalah mengucapkan ‘kepala desa’ yang terpeleset menjadi ‘kelapa desa’.

 

Anda mungkin pernah mendengar cerita anekdot seorang bule yang ingin memuji kelezatan ubi goreng yang dihidangkan tuan rumah dengan mengatakan dalam bahasa Indonesia : “Saya suka ibu goreng”. Atau pada saat diberi tahu tuan rumah nama minuman segar yang dihidangkan padanya dalam bahasa Indonesia disebut ‘air jeruk’, maka untuk menunjukkan perhatiannya, dia mengulangi sebutan itu dengan ‘Oh, air jorok’. Entah reaksi tuan rumah, bersungut-sungut atau manggut-manggut mendengar kata ‘air jorok’ itu.

 

Melafalkan kata yang sebenarnya asli dari bahasa Indonesia tapi telah ‘anglicized’ (terserap masuk ke bahasa Inggris) juga bikin runyam. Contoh yang paling nyata adalah kata ‘orangutan’. Kita membayangkan dan mengharapkan mereka melafalkannya sama seperti kita yaitu ‘o-rang-u-tan’. Tapi coba dengarkan betapa ‘anehnya’ pelafalan yang mereka ucapkan yaitu ‘o-réng-a-ten’. Ya ampun, kita yang punya istilah ini malah tidak mengenali lagi dan terbengong-bengong mendengar istilah ‘o-réng-a-ten’ ini. Kalau kita mengoreksi pelafalannya dengan ‘o-rang-u-tan’, maka mereka pun bersikukuh bahwa pelafalan yang benar adalah ‘o-réng-a-ten’. Dalam hati saya membathin ‘Yo wis sak karepmu’.

 

Anekdot yang juga menjadi bahan tertawaan karena ‘salah lidah’ adalah istilah ‘wartel’. Sudah berulang kali mereka diberi tahu kalau nama tempat untuk hubungan telekomunikasi ini disebut dengan ‘wartel’, tetap saja mereka mengucapkannya dengan ‘wortel’. Karuan saja orang yang ditanyai ‘di mana ada wortel’ akan menunjuk ke arah pasar. Lidah mereka juga kelu bilamana harus mengucapkan kata ‘penjahit’ yang selalu terpeleset menjadi kata ‘penjahat’.

 

Cerita kocak yang berikut ini memang berbau pornografis, yaitu soal ‘penjemputan’. Seorang expat yang ingin dijemput oleh supir mobil carter keesokan paginya berkata: “Saya minta jembut jam tujuh besok pagi”. Astaga-naga, Anda maklum, (maaf) ‘jembut’ adalah ‘pubic hair’ yang sebetulnya tabu untuk diucapkan. Ya, kita maafkan saja sang bule, karena mereka tak tahu apa yang telah diperbuatnya. Saya pernah membaca judul berita foto ‘ikan kakap’ yang sedang dijemur yang ditulis dengan ‘ikan kapak’. Dalam biografi ‘Singular Mother’, Ann Dunham, ibunda Barack Obama yang juga mengajar selama bermukim di Jakarta, menceritakan pengalaman lucunya saat ia memberi nasehat kepada siswanya ‘kalau pandai bahasa Inggris, kamu bisa naik pantat’. Jadi alih-alih mengatakan ‘naik pangkat’, si Ann Dunham keseleo menyebutnya dengan ‘naik pantat’.

 

Saya sering mengamati pada waktu menulis naskah di program Word, kata-kata dalam bahasa Indonesia secara sepihak di-autocorrect oleh program ini. Jengkel bercampur geli kalau saya mengalami hal ini. Betapa tidak, kalau kebetulan saya mengetik kata ‘unsur’ dengan sok pintar kata ini dikoreksi menjadi ‘unsure’ (tak yakin), kalau saya mengetik ‘datang’ dengan semena-mena dikoreksi menjadi ‘dating’ (kencan), kalau mengetik kata ‘teh’ langsung diubahnya menjadi ‘the’. Urusan berbahasa Indonesia ternyata orang bule ‘pinter-pinter bodoh’ juga ya.

Posdaya Menuju Budaya

Mahasiswa dalam kegiatan Posdaya Pengabdian Masyarakat di Kotamadya Blitar, tepatnya di desa Pakunden seminggu yang lalu telah dimulai. Sabtu ini adalah hari ke 8 mereka berada disana. Dari sejak awal, sekitar dua minggu menjelang keberangkatan, mereka sudah memulai survey lokasi dan geografi. Sayapun berikan info-info yang saya ketahui seperti apa kondisi masyarakat Blita tersebut. Kebetulan keluarga banyak yang berada di Blitar.

Namun demikian meskipun informasi yang didapat sudah cukup, kalau belum pernah ke kota Blitar tentu saja akan menemui kesulitan. Jalan2 di kota Blitar ada beberapa yang searah, sehingga menyulitkan bagi pengendara untuk berbalik. Sedangkan sejak awalpun mereka sudah salah arah saat masuk di Karang Kates. Saat survey mereka mengaku melalui lokasi wisata Karang Kates tersebut dan bergerak lurus menuju barat perempatan.

Jalan ini sudah benar, namun sudah puluhan tahun orang menggunakan jalan termudah yaitu berbelok ke arah bendungan ke utara. Belok ke kanan. Sehingga saat saya sendiri mengantar mereka hari Minggu lalu, kukira mereka sudah paham. Dari sejak briefing pagi itu 6.30 saya sudah jelaskan kita akan janjian di bendungan karang kates sebelah utara. Sayapun tidak terlalu cepat jalan motornya, hanya sekitar 50km/jam.

Tapi setelah kutunggu-tunggu di tugu perbatasan Blitar- Kabupaten Malang, saya belum melihat batang hidung mereka satupun. Duduk-duduk disana malah menghabiskan tahu sembilan, semangkok dawet jepara dan dua bungkus kripik bekicot. Owalahhhh!

Berkali-kali kusms dan kutelpon mereka benar-benar salah jalan semua. Ada yang masuk lokasi wisata, kebetulan ada pertunjukan dangdut dan finish biker. Ada yang malah melaju melalui jalan berkelok, dari perempatan Karang Kates lurus ke Barat. Wah jalan itu sudah lama tidak dilalui manusia. Ckckck..

Maklum karena jalan ini hanya diperuntukkan bis, maka hampir semua kendaraan berbelok ke arah Utara yaitu menuju ke lokasi Wisata Karang Kates sebelah utara.

Saya benar-benar tidak mengira kalau mereka tidak tahu jalan mana terbaik menuju Blitar.

Hingga kemudian kita benar-benar bisa bertemu jam 12.30. Padahal kita berangkat dari kampus UIN pukul 7.00. Hmm sungguh-sungguh long journey. Mahasiswa yang sudah melakukan survey sekali masih saja kesasar menuju lokasi pengabdian. Tentu saja termasuk saya yang belum pernah sampai di desa Pakunden ini.

Namun semua cape dan kegelisahan tersebut terobati dengan keramahan Ustad Khusnuri, takmir Masjid Nurul Iman Pakunden yang berada persis di pinggir jalan besar Pakunden. Juga kami sangat bahagia bertemu dengan orang tua kost mahasiswa yang dengan suka rela menyediakan rumahnya untuk ditempati mahasiswi. Rumah beliau cukup lapang, berarsitektur Jawa klasik. Mahasiswa langsung kerasan berada disana.

Setelah menyampaikan maksud dan kedatangan kami, sayapun pamit dengan mereka dan pulang menuju kota Malang. Selamat mengabdi.

 

Salam Posdaya Budaya

Kudus and Beyond

Ke Kudus tidaklah lengkap kalau kita belum ke Menara Kudus. Sebuah bangunan bernilai sejarah tinggi terletak di tengah-tengah kota Kudus. Bentuk menara yang mirip candi ini adalah ikon kota Kudus yang sangat ramai dikunjungi orang. Banyaknya pengunjung yang datang saat itu ada hubungannya dengan kegiatan puasa pekan depan. Setiap mendekati bulan Ramadhan. terutama H minus satu, Menara Kudus penuh sesak. Jalan yang seharusnya dilalui oleh mobil menjadi macet dan tidak bisa dilalui lagi oleh mobil. Hanya motor dan becak yang diperbolehkan melintas di area Menara Kudus.

Sekilas aktifitas masyarakat kota Kudus dan para pendatang yang mendekat ke Menara mirip dengan aktifitas masyarakat di lingkungan makam Sunan Ampel Surabaya atau yang disebut dengan Ngampel. Banyak sekali pedagang makanan memenuhi lorong-lorong di sekitar Menara Kudus, sama seperti di Ngampel Surabaya. Para pedagang ini sibuk memamerkan dagangan yang sama seperti dijual di Ngampel yaitu kurma, tasbih, sajadah dll.

Selain itu para pedagang mainan gerabah juga penuh memadati jalan-jalan sekitar Menara Kudus. Sekedar informasi para pelancong dari luar kota biasanya akan mengunjungi lokasi-lokasi makanan khas Kudus. Di dekat Menara Kudus kuliner yang paling khas adalah sup daging kerbau. Sekali saya coba datang dan mencicipi makanan khas ini, rasanya lumayan enak dan segar. Dan yang jelas dagingnya tidak liat, empuk sekali.Kemudian sudah barang tentu, setiap pelancong yang datang ke kota Kudus pasti akan mencoba oleh-oleh yang terkenal manis ini yaitu Jenang Mubarok. Penganan yang terbuat dari tepung ketan, santan dan gula merah ini selalu diserbu oleh para penikmat jenang khas. Sehingga jenang Mubarok saat ini sudah terkemas cantik dan sangat sesuai dibawa sebagai buah tangan. Namun mungkin bagi anda yang menginginkan jenang dalam bentuk utuh, kita masih bisa menemukan jenang ini dalam bentuk belum terpotong-potong.

Mungkin jenang Mubarok sangat terkenal dan dikenal oleh setiap orang bahwa inilah satu-satunya penganan dan merk dagang di Kudus. Namun demikian apabila kita jalan-jalan di Menara Kudus, anda juga bisa menemukan jenang kemasan mini tanpa merk. Dan sudah barang tentu harganya lebih murah. Ini tidak akan mengurangi kekhasan kuliner kota Kudus yang terkenal dengan jenang Kudusnya. Dan juga tersedia penganan-penganan lain yang dijual fresh from wajan, tepat di depan pintu masuk menuju masjid.

Bagi anda yang menginginkan jalan-jalan di kota Kudus agak disayangkan kita tidak menemukan taxi disana. Meskipun banyak angkot umum melintas, kadang agak membingungkan juga untuk menggunakan kendaraan ini. Becak adalah angkutan tradisional yang paling cocok meskipun tidak bisa digunakan dengan jarak jauh. Oleh karena itu sarannya adalah dapatkan hotel di tengah-tengah kota seperti misalnya hotel Poroliman yang terletak tidak jauh dari alun-alun. Dari sini anda bisa memulai perjalanan wisata anda menggunakan becak.

300 meter dari hotel Poroliman ada sebuah Pendopo wakil Bupati Kudus yang masih sangat asli dan cantik. Sayapun bersyukur berkesempatan bisa melihat secara dekat istana ini. Dulu bangunan Pendopo wakil Bupati Kudus ini adalah istana Kawedanan yang tentu saja memiliki sisi historis yang sangat kental. Disinilah kegiatan perkantoran Wedana dan asisten Wedana Kudus yang membawahi beberapa kecamatan di Kudus dilakukan. Bangunan klasik Pendopo Wakil Bupati Kudus jelas masih sangat asli dan memukau, sangat cantik bahkan. Sempat saya datang kembali ke sana saat malam karena saya ingin melihat setting istana saat gelap. Dan ternyata benar-benar adiluhung, sangat indah. Juga rumah dinas Wakil Bupati Kudus yang terletak tepat di belakang bangunan Pendopo masih sangat asli. Terlihat dari ciri arsitektur Eropa yang melekat kuat disana.

Bis Nusantara yang akan kutumpangi sampai ke Malang itu akan start jam 9 malam. Waktuku masih lama untuk menikmati kota Kudus. Maka kuputuskan kembali jalan-jalan menyusuri jalan-jalan kota Kudus. Teman-teman pada ngajak ke Ramayana dan Matahari untuk menghabiskan waktu sebelum bis berangkat pukul 9 nanti. Aku justru memutuskan untuk tidak mengikuti mereka. Dan aku mengikuti saja langkah kakiku menuju kemana. Aku sendiri tidak paham jalan-jalan di kota Kudus, kuserahkan langkah pada kakiku ini akan kemana. Teman-teman sudah terlihat menjauh, akupun mulai meninggalkan pool bis Nusantara ini menuju ke timur. Dari jauh terlihat pedagang sate Madura. Wah kalau di Malang banyak pedagang sate Madura ini. Lalu untuk apa aku makan sate Madura kalau banyak kutemukan di Malang. Lalu kemudian di sebelah sate Madura ada roti bakar Bandung. Wah ini juga banyak terdapat di Malang. Hingga kemudian kuputuskan untuk kemudian melangkah lagi ke arah utara.

Dari jauh kulihat ada seorang ibu duduk di trotoar beberapa ruko, tepat disamping pedagang es campur. Dengan pelan kudekati sang ibu dan kutanya pelan dengan bahasa jawaku yang belepotan. Ibu sadheyan menopo? kutanya pelan.

Dan beliau pun menjawab menjual rujak, pecel dan cemede. Kalau rujak aku sudah sering makan, apalagi pecel. Itu makanan favoritku. Tapi kalau cemede? Ini pertama kali kudengar dan kulihat. Maka aku harus merasakan makanan khas Kudus ini. Cemede adalah rujak khas Kudus yang dilengkapi dengan sayuran seperti kecipir rebus dan bunga turi rebus. Buahnya adalah ketimun dan juga ada potongan lontong dan cingurnya. Dan masih pula disiram dengan bumbu pecel. Rasanya sangat unik dan segar. Ibu tersebut tersenyum lebar saat kukatakan bahwa makanan ini sangat enak. Dan memang enak.

Es campur juga kupesan semangkok. Kuminum bergantian dengan makan cemede pecel ini. Rasanya lebih segar dari yang kusangka. Ada buah-buahan unik kutemukan didalam es campur ini. Ternyata ada potongan-potongan buah queni yang telah disetup terlebih dahulu. Dan rasanya memang dahsyat. Bikin surprise lidah..

Dan kubalik kembali ke pool Nusantara.

Saat ku duduk di bis Nusantara, salah satu bis Kudus-Malang disana, kutermenung lama. Hanya satu yang ada dalam otakku. Kapan aku bisa kembali lagi ke Kudus, menikmati keindahan kota Kudus yang cantik. Kota yang meyimpan sejuta kenangan. Lamunanku di dalam bis Nusantara menjadi buyar saat seorang pria datang dan duduk di sebelahku, kursi bis nomor 39 itu.

Dan berjalanlah pelahan bis Nusantara ini, meninggalkan kota cantik,  KUDUS.

Sayonara Kudusku 🙁

Roadback Posdaya

Hari ini ditentukan penjemputan mahasiswa pengabdian masyarakat (PM) di desa Sukorejo Pakunden, maka sayapun berkemas-kemas akan berangkat menuju Blitar. Setelah ijin kepala Lemlitbang, bosku, pagi-pagi saya bergerak menuju kota makam Presiden Soekarno.

Udara masih dingin, gejolak masyarakat di pagi dingin kota Malang mulai terasa. di Kacuk beberapa waktu lalu sempat melihat masyarakat di sungai mencuci daun bawang dari kotoran dan lumpur. Daun-daun ini di dapat dari kota Probolinggo dengan harga 5000 rupiah. Dan setelah menjadi bersih, dari kotoran dan rumput harganya bisa berubah dan selisih 2000 rupiah. Benar-benar luar biasa motivasi para pencuci bawang ini. Dan ini telah mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun dengan setiap orangnya mencuci sebanyak 5-10 kg.

Sebelum kota Kepanjen, ada beberapa mobil yang memutuskan melalui jalan tol baru yang belum diresmikan. Sayapun ingin mencoba melalui jalan licin ini. Lumayan bisa mempercepat perjalanan ini rupanya. Ada dua pintu tol yang dua-duanya belum diresmikan. Bahkan satu pintu yang paling utara masih diberi pagar bambu sehingga mobil tak bisa melintas di jalan baru ini. Untung ada jalan kecil di ujung dimana motor bisa melaluinya sehingga kuputuskan untuk melalui jalan kecil ini agar bisa mengakses jalan tol baru.

Sesampai di perbatasan kabupaten, saya memutuskan melalui jalan Lahor. Jalan yang kukatakan pada mahasiswa adalah jalan yang jarang dilalui manusia. Lama sudah saya tak pernah melalui jalan Lahor ini. Inilah jalan yang berkelok-kelok, menukik dan melalui lembah-lembah curam. Tadinya saya tidak memutuskan untuk melalui jalan itu. Saya lebih menyukai jalan Karang Kates seperti bertahun-tahun sebelumnya. Melalui jalan ini sungguh nyaman. Banyak sekali penjual makanan, banyak tempat berteduh dan duduk-duduk. Dan banyak pula lokasi bila kita mau buang air. Namun teman-teman bilang pada saya untuk mencoba jalan Lahor yang katanya sekarang sangat bagus. Hmm perlu dipertimbangkan juga.

Dari perempatan Karang Kates seharusnya saya berbelok ke kanan seperti yang pernah kulakukan bertahun-tahun sebelumnya. Namun kudorong keberanian untuk melalui lembah berkelok jalan Lahor yang katanya bagus. Dan bismillah saya mulai petualangan ini. Sedikit-demi sedikit belokan-belokan itu kulalui dengan hati-hati dan perlahan. Jalan-jalan di Lahor begitu menukik dan membahayakan, ada yg belok turun dan ada pula yang belok naik. Semua menaikkan adrenalin. Namun ketakutan-ketakutan ku musnah sudah, manakala melalui desa Pohgajih. Desa yng cukup bersih, berada di area perbukitan, sehingga pemandangannya pun cukup indah. Sebuah tulisan Stasiun Pohgajih 300 meter menghiasi salah satu sudut jalan di desa itu. Begitu indah dan sangat asri. Lalu kuberpikir, nanti mungkin sebaiknya saya balik lagi melalui jalan indah ini.

Simbol-simbol khas kota Blitar berserakan di setiap sudut jalan seperti Hurub Hambangun Praja yang berartikan :

Bahwa negara dibangun dengan menggunkana huruf, huruf disini lebih diartikan sebagai ilmu pengetahuan

  Simbol-simbol kota dan kabupaten Blitar tersebar dimana-mana di setiap tempat, memberikan motivasi yang kuat kepada masyarakat Blitar untuk maju dan terus membangun. Ada juga simbol lain yang selalu menempel dengan simbol Hurub Hambangun Praja. Yaitu Jer Basuki Mawa Bea. Simbol dan ikon khas kabupaten Blitar ini selalu berdampingan. Bila satu di sisi jalan sebelah kanan, maka di sebelah kiri adalah ikon yang lain, yaitu Jer Basuki Mawa Bea.

Artinya adalah merupakan pepatah/kiasan bahasa jawa yang memiliki makna bahwa seseorang ingin mencapai tujuan yang mulia “Jer Basuki” yaitu segala usaha yang dilakukan dapat berhasil sesuai dengan harapannya tentunya menggunakan biaya “Mawa Bea”. Adapun besar kecilnya biaya tergantung pada apa yang ingin dicapai.

Masyarakat kabupaten dan kota Blitar memang benar-benar ingin maju dan berkembang terlihat dari pembangunan di setiap bidang yang tanpa henti.

Meski sudah ke lokasi Posdaya 3x, entah kenapa saya masih kesasar juga. Ini perjalanan saya yang ke 4 menjemput mahasiswa Posdaya. Tetapi masih kesasar juga.

Pertama menemui takmir masjid Nurul Iman ustadz Khusnuri di kediaman beliau. Seperti biasa bicara panjang lebar dan tak lupa ucapan terimakasih kepada beliau yang telah membimbing mahasiswa selama 40 hari di desa Sukorejo Pakunden. Mahasiswa yang berjumlah 13  itu ada yang ketawa ketiwi, tapi ada pula yang berlinang air mata.

Mereka bilang acara perpisahan semalam sangat berkesan, para santri banyak yang menangis tidak mau ditinggal. Bahkan para ibu-ibupun begitu. Inilah salah satu contoh keberhasilan pengabdian masyarakat. Bahwa apabila saat perpisahan itu ada yang menangis, maka sebenarnya pengabdian masyarakat yang telah mereka jalani itu telah berhasil. Wallahu a’lam

Namun memang saya melihat mereka sangat sukses. Sesaat sebelum berangkat menuju kediaman ustadz Khusnuri, salah satu diantara mereka sempat bercerita sebentar tentang agenda-agenda yang telah mereka laksanakan. Dan Alhamdulillah banyak sekali program yang telah mereka lakukan.

Saat ini saya tinggal menunggu laporan pengabdiannya yang telah mereka persiapkan.

 

Good Luck Kelompok PM 131.

Mendulang Lumpur

Saat pagi, udara dingin menyelimuti suasana agi di Gadang Malang. Sebuah lokasi bisnis nan hiruk pikuk. Pasar Gadang adalah pasar induk satu-satunya di kota Malang yang menerima berbagai macam komoditi dari berbagai penjuru. Dari dalam dan luar kota Malang pun tumplek bleg disana. Lumajang adalah pemasok utama kebutuhan pisang, pepaya dan nangka setiap hari untuk kota Malang.

Malang Selatan seperti Sumber Manjing adalah pemasok ikan laut segar yang didatangkan langsung dari laut sendang biru, lautan yang berhadapan langsung dengan benua Australia. Sedang untuk sayur-sayuran segar seperti wortel, kol, bunga kol, brokoli, kentang, selada air dan buncis dipasok langsung dari kota Batu dan kabupatan Malang yang bersebelahan dengan Batu. Gunung Panderman yang berada di jajaran gugusan pegunungan Kawi memang cocok untuk ditanami wortel, buncis, kentang dan sebagainya.

Saat ini apel tidak lagi melulu didatangkan dari Batu. Sudah banyak lahan-lahan apel yang diberangus dan didirikan hotel disana. Itulah sebabnya kurangnya pasokan apel dari kota Batu ini sekarang ditutup oleh apel-apel nongkojajar yang kini mulai menggeliat. Kondisi geografis tanah yang sesuai membuat apel di Nongkojajar tumbuh subur seperti di kota Batu.

Kebutuhan bawang daun atau disebut dengan bawang pre ternyata didatangkan dari kota Probolinggo. Kota yang cenderung berhawa panas ini ternyata cocok ditanami daun bawang. Di beberapa lokasi pantai, ada petak-petak tanaman anggur milik rakyat yang selalu berbuah tiap periodik. Bawang pre atau batang daun bawang adalah bahan utama masakan martabak, sedang bagi para penjual bakso, daun berbatang besar ini dimasukkan ke dalam kuah sampai daun tersebut hancur dan diangkat ampasnya. Banyak juga ibu-ibu yang memanfaatkan batang daun ini untuk menumis sayur dan atau untuk taburan masakan misalnya tumisan dan mi.

Bawang pre datang berkintal-kintal ternyata, tidak disadari penuhnya permintaan warga kota malang terhadap kebutuhan bawang pre atau daun bawang besar itu. Namun kemudian mungkin tidak banyak yang tahu bahwa daun-daun tersebut sejatinya tidak seperti yang kita lihat bebas di pasaran, sangat putih dan bersih. Sebetulnya daun-daun ini membawa setumpuk lumpur dengan akar yang masih menyerabut nempel di ujung pokok akar.

Karena itulah lumpur-lumpur yang sarat menempel di batang daun bawang inilah dimanfaatkan oleh masyarakat Kacuk Gadang dengan cara dibersihkan di sungai Kacuk, sungai yang mendampingi rel kereta yang melintas desa Kacuk Gadang. Bahu-membahu masyarakat Kacuk Gadang membersihkan batang bawang dari lumpur-lumpur yang menempel dengan total kisaran per kilo adalah Rp. 5000 untuk pembelian dari petani Probolinggo, dan kemudian setelah dibersihkan dari lumpur yang menempel menjadi Rp. 7000 per kilonya. Suatu jumlah yang realistis.

Biasanya para pencuci batang bawang ini bekerja dalam kelompok. Satu orang yang memperbolehkan becaknya mengangkut daun bawang dari pasar Gadang menuju sungai Kacuk, dan empat orang yang lain bertugas mencuci batang bawang tersebut secara bergantian. Hal ini disebabkan banyaknya daun bawang yang datang pada saat yang berbeda-beda. Maka pembagian kerja ini sangat dibutuhkan. Ada saat dimana mereka istirahat sebentar karena batang bawang itu belum datang dari Probolinggo, kemudian memberikan tugas rekannya untuk menjemput daun-daun tersebut ke pasar Gadang

Inilah kemudian lumpur seolah didulang dan kemudian menghasilkan uang.

Terdengar suara klakson kereta api Malang-Blitar melintas tepat di sebelah sungai Kacuk. Namun deru mesin kereta api itu tak dihiraukan oleh para pencuci bawang. Mereka sibuk berendam dan bersenda gurau membersihkan batang-batang berlumpur yang menghasilkan uang bagi mereka.

Salam