Bule Keseleo Lidah

Kita barangkali sering ditertawakan dalam hati oleh orang bule waktu berbahasa Inggris karena salah ucap, salah tulis, dan salah makna. Tapi kita tak perlu berkecil hati dan merasa minder, sebab mereka pun ‘sama blo’on’ kalau harus menggunakan bahasa Indonesia yang sebetulnya jauh lebih mudah baik dari segi tatabahasa, pelafalan maupun pengejaannya. Mendengar dan membaca mereka berbahasa Indonesia yang ‘pecuk’ (terbolak-balik) membuat kita sulit untuk menahan tertawa apalagi kalau mereka mengucapkannya dengan wajah polos (innocent).

 

Beberapa hari yang lalu saya hampir terpingkal dalam suatu meeting mendengar pidato sang expat dalam bahasa Indonesia. Dalam salah satu kalimat naskah sambutan itu ada istilah ‘menara gading’. Namun sungguh tak dinyana, istilah ini diucapkan dengan ‘menara daging’. Kata lain yang cukup sering menjadi batu sandungan buat si bule adalah mengucapkan ‘kepala desa’ yang terpeleset menjadi ‘kelapa desa’.

 

Anda mungkin pernah mendengar cerita anekdot seorang bule yang ingin memuji kelezatan ubi goreng yang dihidangkan tuan rumah dengan mengatakan dalam bahasa Indonesia : “Saya suka ibu goreng”. Atau pada saat diberi tahu tuan rumah nama minuman segar yang dihidangkan padanya dalam bahasa Indonesia disebut ‘air jeruk’, maka untuk menunjukkan perhatiannya, dia mengulangi sebutan itu dengan ‘Oh, air jorok’. Entah reaksi tuan rumah, bersungut-sungut atau manggut-manggut mendengar kata ‘air jorok’ itu.

 

Melafalkan kata yang sebenarnya asli dari bahasa Indonesia tapi telah ‘anglicized’ (terserap masuk ke bahasa Inggris) juga bikin runyam. Contoh yang paling nyata adalah kata ‘orangutan’. Kita membayangkan dan mengharapkan mereka melafalkannya sama seperti kita yaitu ‘o-rang-u-tan’. Tapi coba dengarkan betapa ‘anehnya’ pelafalan yang mereka ucapkan yaitu ‘o-réng-a-ten’. Ya ampun, kita yang punya istilah ini malah tidak mengenali lagi dan terbengong-bengong mendengar istilah ‘o-réng-a-ten’ ini. Kalau kita mengoreksi pelafalannya dengan ‘o-rang-u-tan’, maka mereka pun bersikukuh bahwa pelafalan yang benar adalah ‘o-réng-a-ten’. Dalam hati saya membathin ‘Yo wis sak karepmu’.

 

Anekdot yang juga menjadi bahan tertawaan karena ‘salah lidah’ adalah istilah ‘wartel’. Sudah berulang kali mereka diberi tahu kalau nama tempat untuk hubungan telekomunikasi ini disebut dengan ‘wartel’, tetap saja mereka mengucapkannya dengan ‘wortel’. Karuan saja orang yang ditanyai ‘di mana ada wortel’ akan menunjuk ke arah pasar. Lidah mereka juga kelu bilamana harus mengucapkan kata ‘penjahit’ yang selalu terpeleset menjadi kata ‘penjahat’.

 

Cerita kocak yang berikut ini memang berbau pornografis, yaitu soal ‘penjemputan’. Seorang expat yang ingin dijemput oleh supir mobil carter keesokan paginya berkata: “Saya minta jembut jam tujuh besok pagi”. Astaga-naga, Anda maklum, (maaf) ‘jembut’ adalah ‘pubic hair’ yang sebetulnya tabu untuk diucapkan. Ya, kita maafkan saja sang bule, karena mereka tak tahu apa yang telah diperbuatnya. Saya pernah membaca judul berita foto ‘ikan kakap’ yang sedang dijemur yang ditulis dengan ‘ikan kapak’. Dalam biografi ‘Singular Mother’, Ann Dunham, ibunda Barack Obama yang juga mengajar selama bermukim di Jakarta, menceritakan pengalaman lucunya saat ia memberi nasehat kepada siswanya ‘kalau pandai bahasa Inggris, kamu bisa naik pantat’. Jadi alih-alih mengatakan ‘naik pangkat’, si Ann Dunham keseleo menyebutnya dengan ‘naik pantat’.

 

Saya sering mengamati pada waktu menulis naskah di program Word, kata-kata dalam bahasa Indonesia secara sepihak di-autocorrect oleh program ini. Jengkel bercampur geli kalau saya mengalami hal ini. Betapa tidak, kalau kebetulan saya mengetik kata ‘unsur’ dengan sok pintar kata ini dikoreksi menjadi ‘unsure’ (tak yakin), kalau saya mengetik ‘datang’ dengan semena-mena dikoreksi menjadi ‘dating’ (kencan), kalau mengetik kata ‘teh’ langsung diubahnya menjadi ‘the’. Urusan berbahasa Indonesia ternyata orang bule ‘pinter-pinter bodoh’ juga ya.