Siti Khadijah

DETIK-DETIK WAFATNYA SITI KHADIJAH, ISTRI TERCINTA RASULULLAH*

Siti Khadijah adalah istri pertama Rasulullah. Orang yang pertama kali beriman kepada ALLAH dan kenabian Rasulullah. Orang yang sangat berjasa bagi dakwah Rasulullah dan penyebaran agama Islam.

Siti Khadijah wafat pada hari ke-11 bulan Ramadlan tahun ke-10 kenabian, tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun, saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.

PERMINTAAN TERAKHIR

Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Khadijah berkata kepada Rasululllah SAW,

Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.

Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung dawah Islam sepenuhnya, jawab Rasulullah

Kemudian Khadijah memanggil Fatimah Azzahra dan berbisik,

Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.

Mendengar itu Rasulullah berkata,

Wahai Khadijah, ALLAH menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.

Ummul mukminin, Siti Khadijah pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dipangkuan Rasulullah. Didekapnya istri Beliau itu dengan perasaan pilu yang teramat sangat. Tumpahlah air mata mulia Beliau dan semua orang yang ada disitu.

KAIN KAFAN DARI ALLAH

Saat itu Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan. Rasulullah menjawab salam Jibril dan kemudian bertanya,

Untuk siapa sajakah kain kafan itu, ya Jibril?

Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau ya Rasulullah, untuk Fatimah, Ali dan Hasan jawab Jibril. Jibril berhenti berkata dan kemudian menangis.

Rasulullah bertanya, Kenapa, ya Jibril?

Cucumu yang satu, Husain tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan sahut Jibril.

Rasulullah berkata di dekat jasad Khadijah,

Wahai Khadijah istriku sayang, demi ALLAH, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. ALLAH maha mengetahui semua amalanmu.

“Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu.

“Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?

Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup.

Seluruh kekayan Khadijah diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. Tetapi ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah.

Bahkan pakaian yang digunakan Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan diantaranya dengan kulit kayu.

Rasulullah kemudian berdoa kepada ALLAH.

Ya ALLAH, ya Ilahi Rabbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?

Tiba-tiba Ali berkata, Aku, Ya Rasulullah!

PENGORBANAN SITI KHADIJAH SEMASA HIDUP

Dikisahkan, suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, Beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut, dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah bersabda,

Wahai Khadijah tetaplah kamu ditempatmu.

Ketika itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi.

Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makananpun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fatimah r.a.

Kemudian Beliau mengambil Fatimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia itu lalu berbaring di pangkuan Khadijah.

Rasulullah tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Rasulullah dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Beliau pun terjaga.

Wahai Khadijah Mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad? tanya Rasulullah dengan lembut.

Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?” lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.

Wahai suamiku. Wahai Nabi ALLAH. Bukan itu yang kutangiskan.” jawab Khadijah.

“Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan RasulNya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan RasulNya.

“Wahai Rasulullah. Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah. Sekiranya nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyebrangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyebarangi sungai namun engkau tidak memperoleh rakit pun atau pun jembatan.

“Maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu.

“Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam, wahai Rasulullah.

Karena itu, peristiwa wafatnya Siti Khadijah sangat menusuk jiwa Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ketika itu karena dua orang yang dicintainya yaitu istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib telah wafat.

Tahun itu disebut sebagai Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah.

Ilaa hadlratin Nabiyyil musthafa, wa ilaa Khadijah al Kubra, al Fatihah. 

Nikmat dan Anugerah

Anugerah pemberian Allah, sekaligus sebagai amanah terhadap setiap diri manusia, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, apapun suku, bangsa dan agamanya, adalah apa yang disebut dengan nikmat.

Nikmat, tentu berbeda dengan kenikmatan. Nikmat itu, anugerah pemberian Allah untuk setiap diri manusia dan ia bersifat rasa, maka nikmat itulah yang bisa merasa dan merasakan.

Sedangkan kenikmatan, itu lebih bersifat fisik, di mana setiap orang berbeda sesuai dengan keadaan fisik dan sejenisnya masing-masing. Maka, kenikmatan itu, digambar oleh al Qur’an sebagai permaian keduniaan yang penuh dengan permainan tipuan, QS 6 : 36, QS 57 : 20.

Nikmat lebih bersifat batin, sedangkan kenikmatan lebih bersifat fisik atau dhohir.

Oleh karenanya, nikmat merupakan anugerah Allah yang paling besar bagi setiap diri manusia, sebab hanya nikmat yang bisa merasa. Jika nikmat anugerah Allah terhadap diri manusia itu, teringkari oleh manusia, maka ia tidak akan bisa merasa, sehingga seolah nikmat tersebut mati, maka lazim disebut dengan “mati rasa”. Artinya, nikmat anugerah-Nya tersebut, tetap ada, hanya saja sifat atau rasa dari nikmat itu, tertutupi oleh sifat pengingkaran (kafir) diri manusia, itu. QS 64 : 2. 

Maka, nikmat tersebut, wujudnya rasa yang Allah tiupkan (nufukh) terhadap setiap diri manusia, berupa iman yang dipercaya oleh Tuhan.

Iman tersebut, berwujud catatan (kitab) yang tidak ada di dalamnya sebuah keraguan sedikipun, QS 2 : 2. Catatan itu, benar maka disebut ilmu, QS 29 : 49. Dan ilmu tersebut menanda jelas dengan cahayanya (nur), maka disebut ayat, ia ada di dalam dada setiap diri manusia, siapapun orangnya, apapun jenis kelaminnya serta dari mana dan apapun bangsa serta agamanya.

Maka, rasa dari dan oleh nikmat Allah terhadap setiap diri manusia itu, sama. Tidak tua dan tidak muda, tidak laki dan tidak perempuan, jika dipijit, nikmat rasanya dan jika dicubit, sakit rasanya.

Artinya, nikmat itulah yang merasa karena adanya ruh yang ditiupkan oleh Allah kepadanya, wujudnya catatan (kitab) dan ia dipercaya oleh iman serta dibenarkan oleh ilmu (bukan pengetahuan).

Oleh sebab itu, nikmat disebut juga dengan iman, kitab dan ilmu. Nikmat itu, benda, kerja nikmat adalah merasa (QS 55 : 13, 16) dan rasa tersebut benar serta terpercaya, sebab rasa itu tiada dusta karena menyampaikan apa adanya, itulah sifat iman yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Rasa yang dipercaya akan kebenarannya itu, tercatat dan terukir di dalam dada, namanya al kitab dan ia terbaca jelas tiada dusta serta benar, namanya al Qur’an, QS 17 : 14.

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبً

7/26/18, 16:36 – ‪+62 895-6088-99879‬: (اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا)

Al-Isra’ 14

7/26/18, 18:27 – ‪+62 895-6088-99879‬: Percaya Kepada Allah

Imam Muslimin

Percaya kepada Allah itu, maksudnya percaya kepada Rasul utusan-Nya. Lalu, percaya kepada Rasul utusa-Nya itu, percaya kepada Nabi Muhammad saw putra Abdullah. Kemudian, percaya kepada Nabi Muhammad saw putra Abdullah itu, berlaku mencontoh beliau Nabi Muhammad saw, sebagai Rasul utusan Allah yang bernama atau disebut amin. 

Berlaku mencontoh Nabi Muhammad saw putra Abdullah sebagai Rasul utusan Allah yang bernama atau disebut amin itu, artinya berlaku atas dasar iman yang berisifat empat, yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah.

Sehingga, benar apa yang disampaikan, apa yang diomongkan dan benar apa yang dilakukan oleh seseorang, sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Apa yang ada di dalam hati, tidak dikhiyati, itulah amanah nama atau sebutannya. Lalu, tidak ditambah dan atau tidak dikurangi, itu sebutannya tabligh atau apa adanya. Sehingga, cerdas atau fathonah, karena tidak diperlukan “ngarang-ngarang” dan sejenisnya..

Bagi Nabi Muhammad (amin), tidak diperlukan “ngarang-ngarang, karena mendapatkan langsung dari Allah, namanya wahyu.

Bagi selainnya (iman), tidak diperlukan “ngarang-ngarang”, karena mendapatkan dari amin, tinggal membenarkannya, tidak dikhiyanatinya, disampaikan apa adanya sehingga cerdas dan tidak dungu atau bodoh. 

Itulah, makna “syahadatain” atau dua persaksian, yang inti dan substansinya adalah percaya kepada Allah, karena benar-benar menyaksikan-Nya. Maka, menyaksikan dan yang disaksikan hanya Allah sebagai Tuhan, sedangkan selain DIA, bukanlah tuhan. Itu, artinya, menyaksikan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah, bukan tuhan. Dia hanya utusan Allah yang amin, sehingga dialah yang shidiq, yang amanah, yang tabligh dan yang fathonah. 

Sedangkan, selain beliau (amin), bisa shidiq, bisa amanah, bisa tabligh dan bisa fathonah, oleh karena imannya tegak dengan sholat atau terjadinya hubungan dengan amin. Jika, tidak tegak sholatnya, maka tidak akan terjadi hubungan dengan amin, dan jika tidak terjadi hubungan dengan amin, maka tidak bisa shidiq, tidak bisa amanah, tidak bisa tabligh sehingga dungu dan bodoh, alias tidak cerdas.