Ilmu Adalah Mengetahui

Kitab Al Qur’an Surat 29 ayat 49, menegaskan, bahwa di dalam dada setiap diri manusia, terdapat berbagai tanda atau ayat yang menyata sangat jelas, disebut dengan ilmu, ia (ilmu) itu, pemberian Allah terhadap setiap diri manusia. Ilmu, berarti tau. Oleh karena ilmu itu tau, maka ia bersifat benar dan tidak salah, sehingga untuk mengetahui kebenaran akan diri seseorang, sebenarnya yang bersangkutan cukup dengan membaca atau mengikuti apa yang terbaca di dalam dadanya.

Ilmu atau tau itu, berbeda dengan pengetahuan. Ilmu, anugerah dari Tuhan untuk setiap diri manusia, ia identik dengan iman dan nikmat, sedangkan pengetahuan adalah produk manusia yang sudah barang tentu, ia berbeda-beda antar satu orang dengan yang lainnya.

Ilmu atau tau, bersifat tau dan memberitahukan suatu kebenaran yang ada di dalam diri manusia, sedangkan pengetahuan bersifat upaya untuk mengetahui sesuatu yang dianggap benar, di luar diri manusia. Ilmu, itu memberitahukan terhadap sesuatu kebenaran secara mutlak apa yang di dalam diri manusia, sedangkan pengetahuan, mencari kebenaran di luar diri manusia yang bersifat nisbi. Ilmu,  selalu terbaca, sedangkan pengetahuan memerlukan upaya untuk pembacaan, analisa, metodologi dan sejenisnya. Ilmu, bersifat mutlak kebenarannya, sedangkan pengetahuan, kebenarannya bersifat paradigmatik dan seterusnya.

Oleh sebab itu, al Qur’an mengajak terhadap setiap diri manusia untuk mengikutinya, karena dengan al Qur’an itu, cukup menjadi perhitungan apapun bagi diri manusia.

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا

Al-Isra’ 17 : 14.

Bacalah catatanmu, maka cukup dengan dirimu, hari itu menjadi perhitungan atas kamu.

Berarti, Qur’an itu berupa catatan yang ada di dalam dada setiap diri manusia dan dengan terbacanya catatan yang di dalam dada setiap diri manusia tersebut, ia cukup menjadi perhitungan terhadap apapun yang ada pada diri setiap manusia itu. Bacaan tersebut, sangat jelas dan menyatakan akan kebenarannya. Hanya saja, kebenaran yang disebut dengan ilmu itu, sering diingkari oleh sifat kafir manusia yang suka menentang, tidak pandai berterimakasih, ingin menang sendiri dan sejenisnya (QS At Taghabun 64 : 2).

Lalu, bagaimana dan apa fungsinya mushaf kumpulan catatan bacaan al Qur’an yang terdiri dari 30 juz, 114 surat dan seterusnya itu?. Jika catatan mushaf atau kitab al Qur’an yang mulia itu, dibaca oleh lisan manusia yang dipimpin oleh iman, ilmu dan nikmatnya, sehingga bacaan lisan manusia tersebut, diperuntukkan sesuai dengan peruntukkannya, yaitu untuk diri sendiri masing-masing manusia, maka ia tidak akan menimbulkan problematika perbedaan dan pertengkaran apapun terhadap diri masing-masing manusia. Karena, yang demikian itu, ia (mushaf al Qur’an) dibaca dan difungsikan sesuai dengan fungsinya serta diperuntukkan tepat sesuai dengan sasarannya. 

Namun, sebaliknya, jika catatan mushaf al Qur’an itu, dibaca oleh lisan manusia untuk mengukur diri orang lain selain dirinya, ia tidak tepat sasarannya dan tidak sesuai dengan fungsinya. Karena tidak sesuai dengan fungsi al Qur’an diturunkan, yaitu menjadi hudan (petunjuk) bagi manusia yang membacanya.  Atau, dengan terbacanya al Qur’an pada diri manusia itu, bukan untuk menunjuki orang lain selain dirinya. Di samping itu pula, jika al Qur’an diperuntukkan bagi orang lain, maka ia tidak tepat sasarannya, sehingga akan menimbulkan pertentangan dan bahkan pertengkaran dan seterusnya, sehingga al Qur’an seolah menjadi tidak berfungsi apa-apa terhadap diri manusia.

Maka, sebenarnya al_Qur’an, itulah ilmu atau tau, wujudnya berbagai tanda yang menyata jelas di dalam dada setiap diri manusia. Dialah iman kepercayaan Tuhan dan dialah nikmat anugerah Allah swt, yang bisa merasakan adanya tanda atau berbagai ayat yang menyata jelas di dalam dada manusia itu; Dan ilmu atau al Qur’an itu, untuk diri manusia yang tau atau yang membaca itu sendiri, bukan untuk orang lain.

7/23/18, 21:04 – ‪+62 895-6088-99879‬: Manusia; Do’a Ifititah dan Haji Akbar

Imam Muslimin

Manusia itu ghoib dan ia berasal dari yang ghoib serta akan kembali kepada yang ghoib. Manusia yang goib itu, dinyata oleh yang ghoib wujud jasad manusia, artinya yang nyata adalah jasad, bukan manusia. Manusia yang telah dinyata pada jasad tersebut, bersama padanya yang tidak nyata, yang disebut dengan “nafsu”. Maka, nafsu itu, tidak nyata dan ia (nafsu) itu, dinyata oleh yang ghoib, wujud kemauan tampak atau nyata pada pekerjaan, oleh fisik atau jasad. Artinya, nafsu yang ghoib itu, nyata pada kemauan, wujudnya pekerjaan jasad manusia.

Yang goib, telah mengasal manusia dengan telah menciptakannya, itu menyata diri pada Akbar. Kemudian, Akbar yang telah dinyatakan oleh yang ghoib tersebut, menyebut yang ghoib yang telah mengasal manusia wujud ciptaan jasad, dengan sebutan Allah. 

Artinya, Akbar adalah sifat dari dzat yang disebut Allah. Maka Allah itu, bersifat Akbar, wujud diri manusia (basyar), pada Nabi Muhammad saw, putra Abdullah dengan Ibu bernama Aminah, lahir di Makkah dan wafat serta dimakamkan di Madinah, ia berbangsa dan berbahasa Arab. Namun, hakikinya beliau putra Abdullah tersebut, adalah rasul utusan Allah. Maka, rasul utusan Allah itu ghoib, bernama amin bersifat Akbar berada di Baitullah, wujud atau tanda fisik materi, berupa Ka’bah berada di Makkah, sebuah negeri yang diberkati.

Maka, Baitullah itu ghoib yang nyata adalah bangunan dari batu yang dibangun oleh Nabi Ibrahim bersama putranya yang bernama Ismail as, di mana, keduanya berasal dari suku Ka’b. Oleh karenanya, nama bangunan dari batu tersebut, dinisbatkan dari mana mereka berdua berasal, yaitu suku Ka’b atau Ka’bah. 

Ke sanalah manusia itu, menghadap untuk bertemu dengan yang diutus, agar diantar kembali kepada yang ghoib yang telah mengutus, yaitu Allah swt; Yang menyata diri pada Akbar. Maka, Allahu Akbar, wajjahtu wajhiya lil ladzi fatoro dst, itulah iftitah (do’a iftifah) atau pembukaan. Pembukaan atau al Fatihah (pembuka segala sesuatu), itulah induk dari semua bacaan dan catatan (ummul qur’an dan ummul kitab). Maka, ia terulang 7 kali sebutan (sab’ul matsani), sebagai tanda atau ayat untuk menunjuk kepada amin. Oleh sebab itu, pembukaan atau pembuka segala sesuatu adalah Akbar sifat Allah bernama amin di Baitullah.

Oleh karena manusia yang telah dinyata pada jasad dan bersamanya ada nafsu yang berkeinginan itu, maka nafsu tersebut harus dihadapkan oleh yang dari yang ghoib dan bersama dengan yang ghoib, yaitu iman, ilmu, dan nikmat. Agar kemauan oleh nafsu wujud pada jasad tersebut, tunduk dan patuh kepada yang dari Allah, sehingga ia mendorong untuk berkemauan sesuai dengan apa yang di mau oleh yang ghoib melalui utusan yang ghoib dan berada di tempat yang ghoib, itu. 

Nafsu yang diciptakan oleh Allah bersamaan dengan jasad manusia itu, di mana nafsu itu,  tidak mati dan tidak hidup, akan tetapi nafsu itu, ada dan tiada. Sedangkan jasad manusia, itu hidup karena adanya nafsu, sehingga ada dan tidak adanya nafsu itu, bersamaan dengan hidup dan matinya jasad, sebagai nyatanya manusia. Artinya, selama jasad manusia, masih hidup maka nafsu akan selalu ada dan berada bersama jasad manusia itu. Sebaliknya, jika jasad manusia mati, maka nafsu menjadi tidak ada. 

Jasad manusia yang masih ada kehidupan, karena di dalamnya ada nafsu itu, musti dihadapkan lurus oleh iman kepada amin di Baitullah melalui sholat yang tertegakkan oleh mukmin, agar iman selalu memimpin nafsu, sehingga nafsu yang berkenginan itu, menjadi tunduk dan patuh untuk melakukan kebaikan sesuai dengan ilmu dan rasa yang dipimpin oleh iman.

Ilmu artinya tau dan dialah yang mengetahui akan salah dan benar, karena pada ilmu itu, terdapat berbagai tanda atau ayat yang jelas dan ia bisa dirasakan oleh nikmat anugerah Allah swt pada setiap diri insan manusia.

Maka, ilmu itu bersamanya tau sehingga benar dan bisa dirasakan. Sedangkan nafsu itu, bersamanya kesadaran. Maka, nafsu itulah sebenarnya yang bisa sadar atau ma’rifah. Lalu, wujud kesadaran oleh nafsu, adalah timbulnya kesadaran rahmah, sebagai risalah atau produk dari amin utusan Allah.

Karena itu, haji adalah kesadaran nafsu (arafah, ma’rifatunafs) berupa rahmah pada diri rasul utusan Allah yang bernama amin. Artinya, timbulnya kesadaran oleh nafsu wujud rahmah pada diri rasul utusan Allah bersifat Akbar bernama amin di Baitullah. 

Oleh karenanya, ketika haji dilaksanakan secara rukun oleh jasad manusia yang telah dipimpin oleh iman, ilmu dan nikmatnya, ia dimulai dari wuquf (berhenti) di Arafah, di bawah jabal Rahmah, kemudian dilanjutkan dengan mabit atau bermalam (suasana gelap) di Muzdalifah untuk jumroh aqobah pagi harinya. Kemudian dilanjutkan dengan mabit di Mina untuk jumroh ula, wustho dan aqobah selama tiga hari tiga malam dan berakhir berputar (thowaf) di sekeliling Ka’bah serta disempurnakan dengan sa’i antara shofa dan marwa sebanyak 7 kali perjalanan, sehingga tahallul. 

Maksudnya, berhenti (wuquf) atau selesai dan tuntas perjalanan manusia itu, ketika bertemu dengan rahmah, setelah berjuang melawan sifat syetan diri kegegalapan (mabit), sehingga diri manusia (dzatnya, bukan sifat) berada di Baitullah bersama amin rasul utusan Allah, untuk didapatkan shofa dan warma (senang dan gembira), karena tahallul atau halal dan boleh serta tidak haram baginya apapun yang ada di surga. 

#kesadaran, itu perlakuan dan sifatnya nafsu, wujud perbuatan jasad manusia. 

#ifitihah, itu pembuka segalanya bernama amin, wujudnya rahmah.

#haji, itu kesadaran oleh nafsu, karena bertemu dengan amin, wujudnya rahmah sifat Allah yaitu Akbar pada diri Nabi Muhammad saw.

Sehingga, haji akbar itu, hakikinya adalah terlahirnya kembali sifat dan perilaku jasad manusia yang dipimpin oleh imannya, karena ia telah berjumpa dengan amin di Baitullah, melalui kesadaran diri (nafsu) yang telah melihat rahmah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *