Tanda Alamiah Linguistik (The Nature of the Linguistic Sign: Icon, Index, Symbol)

Tanda alamiah linguistik meliputi tiga hal yaitu icon, index, dan symbol. Ada hubungan triadic didalam teori tentang tanda yang dinamakan dengan istilah semiotik yaitu tanda dipilih (representation), makna tanda (interpretation) dan objek itu sendiri (Pierce (1839-1914), misalnya: sebuah sepatu. Sepatu direpresentasikan berbeda-beda oleh setiap orang karena ada banyak jenis sepatu yaitu sepatu high heels atau sepatu fantofel, sepatu boots, sepatu sandal, dan sebagainya. Oleh karena itu, Pierce memperhitungkan keambiguitasan sebuah tanda, misalkan: jika seseorang menyebutkan kata “tas”, maka orang dapat melihat dari latar belakang orang yang menyampaikan pesan, ada beberapa faktor seperti gender, usia, tempat tinggal yang mempengaruhi pengertian “tas” tersebut. Pierce membuat komunikasi lebih mudah karena tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan sebuah objek.

Dalam objek, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan sebelum memaknai sesuatu yaitu : 1) Ikon yaitu sebuah  tanda yang memiliki kemiripan “rupa” dengan wujud nyatanya. Penggambaran ikon ada dengan dua cara, yaitu ilustratif (sesuai bentuk aslinya) dan diagramattik (dalam bentuk penyederhanaan). Contoh : pohon, gunung, daun, tempat sampah, buku, dan sebagainya; 2) Indeks yaitu tanda yang menunjuk kepada sebuah arti, indeks sering juga disebut sebagai “petunjuk”. Contoh : marka jalan, lampu lalu-lintas, plang nama jalan, dan sebagainya; 3) Simbol yaitu  tanda yang bersifat mewakili sebuah hal yang lebih besar yang ada dibelakangnya. Simbol juga biasanya menunjukkan arti yang telah disepakati bersama dan setiap orang mengetahui makna tersebut,
contoh : logo perusahaan, simbol-simbol keagamaan (salib, bangunan mesjid, kitab suci), dan sebagainya.

Didalam pemaknaan tanda, kajian pragmatik dilakukan untuk melihat pilihan index  yang juga harus mempertimbangkan prinsip kerjasama dimana index dan symbol dapat di interpretasikan dengan cara yang berbeda didalam konteks yang berbeda pula jika tanda, symbol, dan index berada dalam bentuk tuturan yang penuh. Di dalam berkomunikasi dengan orang lain sehari-hari, kita sering mendengarkan orang yang berbicara kepada kita dengan kalimat yang tidak utuh yang tidak bisa kita kelompokkan ke dalam kalimat pernyataan ‘declarative’, kalimat tanya ‘interrogative’ maupun kalimat perintah ‘imperative’. Namun, kita sudah dapat mengerti maksud perkataan orang tersebut. Sehingga banyak kalimat yang dihasilkan didalam percakapan yang tidak bisa dianalisa secara linguistik yang menyebabkan kalimat-kalimat tersebut dibuang didalam keranjang sampah ‘waste basket’ dan kalimat-kalimat itu disebut pseudo-statements.  Sehingga sampai muncullah teori pragmatik karena pragmatics merupakan studi yang bersifat triadic yaitu dengan melihat dan memahami kalimat melalui bentuknya (form), maknanya (meaning), dan konteksnya (context).  Berikut ini contoh-contoh kalimat pragmatik yang menunjukkan icon, index, dan simbol:

  • Saiki wis jam 06.30 (seorang ibu kepada anaknya di jam berangkat sekolah)

Dari contoh kalimat diatas, kita dapat melihat konteksnya sebagai berikut: 1) penutur: ibu; 2) mitra tutur: anak; 3) tempat terjadi penuturan: di dapur; 4) benda-benda yang ada disekitar penuturan: meja makan, makanan, dan minuman; 5) latar pengetahuan ‘background knowledge’: ibu dan anak mengetahui bahwa jam masuk sekolah adalah jam 7, sedangkan waktu untuk makan pagi sebelum berangkat ke sekolah adalah jam 6.30.; sedangkan untuk bentuknya adalah dalam kalimat perintah; dan maknanya adalah ibu menyuruh anak beliau untuk segera makan pagi (rutinitas) karena sudah jam 6.30 sebelum berangkat ke sekolah.

  • Mbok, kula dibungkus lontong lombok kaleh (seorang pembeli kepada penjual rujak)

Dari contoh kalimat diatas, kita dapat melihat konteksnya sebagai berikut: 1) penutur: pembeli; 2) mitra tutur: penjual rujak; 3) tempat terjadi penuturan: di warung; 4) benda-benda yang ada disekitar penuturan: buah-buahan, lontong, petis, kerupuk, meja makan, makanan, dan minuman; 5) latar pengetahuan ‘background knowledge’: penjual dan pembeli sudah tahu bahwa ada rujak iris/tidak diberi lontong dan rujak yang diberi lontong; sedangkan untuk bentuknya adalah dalam kalimat pemberitahuan informasi/meminta sesuatu; dan maknanya adalah pembeli memberikan informasi kepada penjual bahwa dia memesan satu bungkus rujak dengan diberi lontong untuk dibawa pulang.

  • Wetengku wis lesu. Saiki wis jam 12, ayo tak traktir mangan nang kantin.

Dari contoh kalimat diatas, kita dapat melihat konteksnya sebagai berikut: 1) penutur: laki-laki; 2) mitra tutur: perempuan yang disukai oleh laki-laki tersebut; 3) tempat terjadi penuturan: di tempat kerja; 4) benda-benda yang ada disekitar penuturan: meja kerja, kursi; laptop; 5) latar pengetahuan ‘background knowledge’: laki-laki dan perempuan itu mengetahui kalau jam 12 adalah jam istirahat kerja, dan lelaki tersebut mengajak perempuan yang disukainya untuk makan bersama dengannya untuk pendekatan atau memperoleh perhatian dari perempuan tersebut.

#semiotics

#semiotika

#ikon

#indeks

#simbol

Bagaimana Mitos Menurut Roland Barthes?

Roland Barthes

Kali ini tulisan saya mengenai Mitos. Kurang paham belakangan ini mitos menjadi kajian yang cukup menarik,  Dan Sepertinya kita suka sekali bicara tentang mitos. Mungkin karena masih ada hubungannya dengan pawang hujan beberapa waktu lalu di Mandalika.  Di abad kontemporer ini berbeda memandang mitos dibandingkan dengan abad modern. Abad modern yang objektif menganggap mitos adalah sesuatu yang primitif, yang tidak masuk akal dan tidak rasional karena itu perlu dibuang jauh-jauh.

Tetapi rupanya abad kontemporer berbeda melihat mitos sebagai sesuatu yang disamakan dengan sains yang alih-alih perlu dibuang jauh-jauh, namun justru mitos perlu melengkapi cara hidup manusia.

Bagaimana cara kerja mitos? Ada satu pemikir yang menarik menurut saya di abad kontemporer yang membicarakan tentang cara kerja mitos. Dia adalah Roland Barthes, salah satu pemikir dari Perancis. Bagi Rolan Barthes, mitos itu bukan sebuah ide, bukan gagasan, dan bukan objek. Mitos bagi Barthes adalah suatu cara untuk menyampaikan ide , gagasan atau objek. Dalam hal ini mitos sangat dekat dengan bahasa yaitu menjadi penanda dari sesuatu. Perbedaannya adalah bahasa terletak pada level denotatif atau makna yang sesungguhnya. Sementara mitos berada pada makna yang kedua, atau yang disebut makna konotatif atau makna kias dan atau makna metaphora nya.

Misalnya contoh, bila kita melihat sebuah kacamata, secara denotatifnya kaca mata itu adalah alat bantu untuk melihat bagi mereka yang memiliki persoalan dengan penglihatannya. Tetapi menjadi berbeda bila kacamata ini dipakai oleh seseorang dalam sebuah pertunjukan film lalu mengkiaskan atau memetaphorkan orang itu seolah-olah adalah jenius, maka kacamata pada tahapan kedua ini tidak lagi bermakna denotatif.  Dia justru sudah hadir sebagai mitos.

Sehingga mitos bagi Roland Barthes memang adalah persoalan pertandaan atau kemudian disebut dengan SIGNIFICATION.

Signification

Bagaimana cara kerja mitos ini sehingga disebut sebagai persoalan pertandaan (semiotika) atau signification?

Dalam hal ini Roland Barthes sebagai pemikir kontemporer dipengaruhi banyak oleh tradisi Linguistik Struktural, Kalau menyebut Linguistik Struktural tentu saja tokoh besarnya adalah Ferdinand de Saussure, salah satu pemikir Linguistik dari Swiss. Saussure mengatakan bahwa dalam satu bahasa atau kata itu memiliki dua bagian. Yang pertama adalah signifier atau penanda dan yang kedua adalah signified atau yang ditandai atau tinanda. Penanda dalam hal ini menurut Saussure adalah citra akustik atau bunyi yang keluar dari pita suara kita, kumpulan bunyi yang digabung menjadi suatu ujaran kata.

Misal : K.U.D.A.

Tinandanya dalam hal ini adalah konsep, bahwa konsepnya adalah hewan berkaki empat, bisa meringkik, memiliki surai di kepala. Dan gabungan antara tanda, penanda dan tinanda disebut pertandaan tahap pertama menurut Roland Barthes. Dan mitos menurut Rolan Barthes ada pada tahapan yang kedua.

Ada konsekwensi yang dialami oleh pertandaan ini sebagaimana konsekwensi yang dialami oleh tanda di tahap pertama.

Misal ada persoalan tentang polysemi.. Contoh tempat duduk sebagai tinanda maka penandanya bisa berupa kursi, bisa meja, bisa galon, bisa lantai dll.  Ini juga terjadi pada mitos. Misal konsepnya adalah orang meninggal Maka bentuknya atau penandanya atau tahap keduanya bisa berupa bunyi burung gagak, ayam berkokok di malam hari,  dimana bisa jadi di tradisi yang lain itu berbeda-beda penandanya.

Pancasila dicontohkan sebagai penanda, Tinandanya adalah burung yang memiliki beberapa buku di ekor, sayap dan leher. Ini di tahap pertama. Lalu kemudian menjadi signification  ketika itu diyakin sebagai satu ideologi, sebagai salah satu gambar atau simbol yang final, yang menyimbolkan segala cara hidup kita di Indonesia. Maka itu berarti adalah mitos.

Dalam buku mitologi Roland Barthes, aliran kiri itu disebut sebagai sebuah mitos. Misalnya revolusi adalah sebuah tanda. tetapi ketika revolusi itu menjadi sebuah aliran maka itu adalah sebuah pertandaan.

#rolandbarthes

#semiotics

#signification

#ferdinanddesaussure

#myth

 

Semiotika Seri 5

Semiotika mewakili berbagai studi dalam seni, sastra, antropologi dan media massa daripada disiplin akademis independen. Mereka yang terlibat dalam semiotika termasuk ahli bahasa, filsuf, psikolog, sosiolog, antropolog, ahli teori sastra, estetika dan media, psikoanalis dan pendidik. Di luar definisi yang paling dasar, ada banyak variasi di antara ahli semiotika terkemuka mengenai apa yang melibatkan semiotika. Ini tidak hanya berkaitan dengan komunikasi (disengaja) tetapi juga dengan anggapan kita tentang signifikansi terhadap apa pun di dunia. Semiotika telah berubah dari waktu ke waktu, karena ahli semiotika telah berusaha untuk memperbaiki kelemahan dalam pendekatan semiotik awal. Bahkan dengan istilah semiotika paling dasar pun ada banyak definisi. Akibatnya, siapa pun yang mencoba analisis semiotik akan bijaksana untuk memperjelas definisi mana yang diterapkan dan, jika pendekatan semiotik tertentu diadopsi, apa sumbernya. Ada dua tradisi yang berbeda dalam semiotika yang berasal dari Saussure dan Peirce. Karya Louis Hjelmslev, Roland Barthes, Claude Lévi-Strauss, Julia Kristeva, Christian Metz dan Jean Baudrillard (lahir 1929) mengikuti tradisi ‘semiologis’ Saussure sementara karya Charles W Morris, Ivor A Richards (1893-1979) , Charles K Ogden (1989-1957) dan Thomas Sebeok (b 1920) berada dalam tradisi ‘semiotik’ Peirce. Ahli semiotik terkemuka yang menjembatani kedua tradisi ini adalah penulis Italia terkenal Umberto Eco, yang sebagai penulis buku terlaris The Name of the Rose (novel 1980, film 1986) mungkin satu-satunya ahli semiotika yang hak filmnya bernilai apa pun (Eco 1980) .

Saussure berpendapat bahwa ‘tidak ada yang lebih tepat daripada studi bahasa untuk memunculkan sifat masalah semiologis’ (Saussure 1983, 16; Saussure 1974, 16). Semiotika banyak menarik konsep linguistik, sebagian karena pengaruh Saussure dan karena linguistik adalah disiplin yang lebih mapan daripada studi sistem tanda lainnya. Strukturalis mengadopsi bahasa sebagai model mereka dalam mengeksplorasi fenomena sosial yang lebih luas: Lévi-Strauss untuk mitos, aturan kekerabatan dan totemisme; Lacan untuk ketidaksadaran; Barthes dan Greimas untuk ‘tata bahasa’ narasi. Julia Kristeva menyatakan bahwa ‘apa yang telah ditemukan oleh semiotika… adalah bahwa hukum yang mengatur atau, jika seseorang lebih suka, kendala utama yang mempengaruhi setiap praktik sosial terletak pada kenyataan bahwa hal itu menandakan; yaitu bahwa itu diartikulasikan seperti bahasa’ (dikutip dalam Hawkes 1977, 125). Saussure menyebut bahasa (modelnya adalah ucapan) sebagai ‘yang paling penting’ dari semua sistem tanda (Saussure 1983, 15; Saussure 1974, 16). Bahasa hampir selalu dianggap sebagai sistem komunikasi yang paling kuat sejauh ini. Misalnya, Marvin Harris mengamati bahwa ‘bahasa manusia adalah unik di antara sistem komunikasi dalam memiliki universalitas semantik… Sebuah sistem komunikasi yang memiliki universalitas semantik dapat menyampaikan informasi tentang semua aspek, domain, properti, tempat, atau peristiwa di masa lalu, sekarang atau masa depan, baik aktual atau mungkin, nyata atau imajiner’ (dikutip dalam Wilden 1987, 138). Mungkin bahasa memang fundamental: Emile Benveniste mengamati bahwa ‘bahasa adalah sistem penafsiran dari semua sistem lain, linguistik dan non-linguistik’ (dalam Innis 1986, 239), sementara Claude Lévi-Strauss mencatat bahwa ‘bahasa adalah sistem semiotik par excellence ; itu tidak bisa tidak menandakan, dan hanya ada melalui penandaan’ (Lévi-Strauss 1972, 48).

Saussure melihat linguistik sebagai cabang dari ‘semiologi’:

 

Linguistik hanyalah salah satu cabang dari ilmu umum [semiologi] ini. Hukum-hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan menjadi hukum-hukum yang berlaku dalam linguistik… Sejauh yang kita ketahui… masalah linguistik adalah yang pertama dan terutama semiologis… Jika seseorang ingin menemukan sifat sebenarnya dari sistem bahasa, pertama-tama ia harus pertimbangkan kesamaan mereka dengan semua sistem lain dari jenis yang sama… Dengan cara ini, cahaya akan diberikan tidak hanya pada masalah linguistik. Dengan mempertimbangkan ritus, adat istiadat, dll. sebagai tanda, kami percaya, akan memungkinkan untuk melihatnya dalam perspektif baru. Kebutuhan akan dirasakan untuk menganggapnya sebagai fenomena semiologis dan menjelaskannya dalam kerangka hukum semiologi. (Saussure 1983, 16-17; Saussure 1974, 16-17)

Semiotika Seri 4

Pers menggunakan saluran visual, bahasanya ditulis, dan memanfaatkan teknologi reproduksi fotografi, desain grafis, dan pencetakan. Radio, sebaliknya, menggunakan saluran lisan dan bahasa lisan dan bergantung pada teknologi perekaman dan penyiaran suara, sementara televisi menggabungkan teknologi perekaman dan penyiaran suara dan gambar…

 

Perbedaan saluran dan teknologi ini memiliki implikasi luas yang signifikan dalam hal potensi makna dari media yang berbeda. Misalnya, media cetak dalam arti penting kurang pribadi daripada radio atau televisi. Radio mulai memungkinkan individualitas dan kepribadian didahulukan melalui transmisi kualitas suara individu. Televisi mengambil proses lebih jauh dengan membuat orang tersedia secara visual, dan bukan dalam modalitas foto surat kabar yang beku, tetapi dalam gerakan dan tindakan. (Fairclough 1995, 38-9)

Sementara determinis teknologi menekankan bahwa ekologi semiotik dipengaruhi oleh fitur desain mendasar dari media yang berbeda, penting untuk mengenali pentingnya faktor sosial budaya dan sejarah dalam membentuk bagaimana media yang berbeda digunakan dan status mereka (selalu berubah) dalam budaya tertentu. konteks. Misalnya, banyak ahli teori budaya kontemporer telah berkomentar tentang pertumbuhan pentingnya media visual dibandingkan dengan media linguistik dalam masyarakat kontemporer dan pergeseran terkait dalam fungsi komunikatif media tersebut. Berpikir dalam istilah ‘ekologis’ tentang interaksi struktur dan bahasa semiotik yang berbeda membuat ahli semiotika budaya Rusia Yuri Lotman menciptakan istilah ‘semiosfer’ untuk merujuk pada ‘seluruh ruang semiotik dari budaya yang bersangkutan’ (Lotman 1990, 124-125 ). Konsep ini terkait dengan referensi ahli ekologi ‘untuk ‘biosfer’ dan mungkin referensi ahli teori budaya’ ke ruang publik dan pribadi, tetapi yang paling mengingatkan pada gagasan Teilhard de Chardin (sejak tahun 1949) tentang ‘noosfer’ – domain di pikiran mana yang dilatih. Sementara Lotman mengacu pada semiosfer seperti yang mengatur fungsi bahasa dalam budaya, John Hartley berkomentar bahwa ‘ada lebih dari satu tingkat di mana seseorang dapat mengidentifikasi semiosfer – pada tingkat budaya nasional atau linguistik tunggal, misalnya, atau kesatuan yang lebih besar seperti “Barat”, hingga “spesies”‘; kita mungkin juga mencirikan semiosfer dari periode sejarah tertentu (Hartley 1996, 106). Konsepsi semiosfer ini mungkin membuat ahli semiotika tampak imperialistik teritorial bagi para pengkritiknya, tetapi ia menawarkan visi semiosis yang lebih terpadu dan dinamis daripada studi tentang media tertentu seolah-olah masing-masing ada dalam ruang hampa.

Tentu saja ada pendekatan lain untuk analisis tekstual selain semiotika – terutama analisis retoris, analisis wacana dan ‘analisis isi’. Di bidang studi media dan komunikasi, analisis isi merupakan saingan utama semiotika sebagai metode analisis tekstual. Sedangkan semiotika sekarang terkait erat dengan studi budaya, analisis isi mapan dalam tradisi arus utama penelitian ilmu sosial. Sementara analisis isi melibatkan pendekatan kuantitatif terhadap analisis ‘konten’ manifes teks media, semiotika berusaha menganalisis teks media sebagai keseluruhan yang terstruktur dan menyelidiki makna konotatif laten. Semiotika jarang bersifat kuantitatif, dan seringkali melibatkan penolakan terhadap pendekatan semacam itu. Hanya karena item sering muncul dalam teks tidak membuatnya signifikan. Ahli semiotika strukturalis lebih memperhatikan hubungan unsur-unsur satu sama lain. Seorang ahli semiotika sosial juga akan menekankan pentingnya signifikansi yang dilampirkan pembaca pada tanda-tanda dalam sebuah teks. Sedangkan analisis isi berfokus pada isi eksplisit dan cenderung menyarankan bahwa ini mewakili makna tunggal yang tetap, studi semiotik fokus pada sistem aturan yang mengatur ‘wacana’ yang terlibat dalam teks media, menekankan peran konteks semiotik dalam membentuk makna. Namun, beberapa peneliti telah menggabungkan analisis semiotik dan analisis isi (misalnya Glasgow University Media Group 1980; Leiss et al. 1990; McQuarrie & Mick 1992).

Beberapa komentator mengadopsi definisi semiotika CW Morris (dalam semangat Saussure) sebagai ‘ilmu tentang tanda’ (Morris 1938, 1-2). Istilah ‘sains’ menyesatkan. Sampai sekarang semiotika tidak melibatkan asumsi teoretis, model, atau metodologi empiris yang disepakati secara luas. Semiotika cenderung sebagian besar teoretis, banyak ahli teorinya berusaha membangun ruang lingkup dan prinsip-prinsip umumnya. Peirce dan Saussure, misalnya, sama-sama memperhatikan definisi dasar tanda. Peirce mengembangkan taksonomi logis yang rumit dari jenis tanda. Ahli semiotika berikutnya telah berusaha untuk mengidentifikasi dan mengkategorikan kode atau konvensi sesuai dengan tanda-tanda yang diorganisasikan. Jelas ada kebutuhan untuk membangun landasan teoretis yang kuat untuk subjek yang saat ini dicirikan oleh sejumlah asumsi teoretis yang bersaing. Adapun metodologi, teori Saussure merupakan titik awal untuk pengembangan berbagai metodologi strukturalis untuk menganalisis teks dan praktik sosial. Ini telah sangat banyak digunakan dalam analisis sejumlah fenomena budaya. Namun, metode tersebut tidak diterima secara universal: teori berorientasi sosial telah mengkritik fokus eksklusif mereka pada struktur, dan tidak ada metodologi alternatif yang telah diadopsi secara luas. Beberapa penelitian semiotik berorientasi empiris, menerapkan dan menguji prinsip-prinsip semiotik. Bob Hodge dan David Tripp menggunakan metode empiris dalam studi klasik mereka tentang Anak dan Televisi (Hodge & Tripp 1986). Tetapi saat ini ada sedikit pengertian tentang semiotika sebagai suatu kesatuan usaha yang dibangun di atas penemuan-penemuan penelitian kumulatif.

Semiotika Seri 3

Selektivitas media apa pun mengarah pada penggunaannya yang memiliki pengaruh yang mungkin tidak selalu disadari oleh pengguna, dan yang mungkin bukan bagian dari tujuan penggunaannya. Kita bisa begitu akrab dengan medium sehingga kita ‘terbius’ terhadap mediasi yang terlibat: kita ‘tidak tahu apa yang kita lewatkan’. Sejauh kita mati rasa terhadap proses yang terlibat, kita tidak bisa dikatakan menggunakan ‘pilihan’ dalam penggunaannya. Dengan cara ini cara yang kita gunakan dapat mengubah tujuan kita. Di antara fenomena yang ditingkatkan atau dikurangi oleh selektivitas media adalah tujuan media yang digunakan. Dalam beberapa kasus, ‘tujuan’ kita mungkin secara halus (dan mungkin tidak terlihat), didefinisikan ulang oleh penggunaan media tertentu oleh kita. Ini adalah kebalikan dari sikap pragmatis dan rasionalistik, di mana cara dipilih sesuai dengan tujuan pengguna, dan sepenuhnya di bawah kendali pengguna.

Kesadaran akan fenomena transformasi oleh media ini sering membuat ahli teori media berargumentasi secara deterministik bahwa sarana dan sistem teknis kita selalu dan tak terhindarkan menjadi ‘tujuan itu sendiri’ (interpretasi umum dari pepatah terkenal Marshall McLuhan, ‘media adalah pesan’) , dan bahkan mendorong beberapa orang untuk menampilkan media sebagai entitas yang sepenuhnya otonom dengan ‘tujuan’ (berlawanan dengan fungsi) mereka sendiri. Namun, seseorang tidak perlu mengambil sikap ekstrem seperti itu dalam mengakui transformasi yang terlibat dalam proses mediasi. Ketika kita menggunakan media untuk tujuan apa pun, penggunaannya menjadi bagian dari tujuan itu. Bepergian adalah bagian yang tak terhindarkan untuk pergi ke suatu tempat; bahkan mungkin menjadi tujuan utama. Bepergian dengan satu metode transportasi tertentu daripada yang lain adalah bagian dari pengalaman. Begitu juga dengan menulis daripada berbicara, atau menggunakan pengolah kata daripada pena. Dalam menggunakan media apa pun, sampai batas tertentu kita melayani ‘tujuannya’ dan juga melayani kita. Ketika kita terlibat dengan media, kita bertindak dan ditindaklanjuti, digunakan dan digunakan. Dimana media memiliki berbagai fungsi mungkin tidak mungkin untuk memilih untuk menggunakannya hanya untuk salah satu fungsi ini secara terpisah. Pembuatan makna dengan media semacam itu harus melibatkan beberapa tingkat kompromi. Identitas lengkap antara tujuan khusus apa pun dan fungsionalitas media mungkin jarang, meskipun tingkat kecocokan pada sebagian besar kesempatan dapat diterima sebagai memadai.

Saya diingatkan di sini akan sebuah pengamatan oleh antropolog Claude Lévi-Strauss bahwa dalam kasus apa yang disebutnya bricolage, proses menciptakan sesuatu bukanlah masalah pilihan yang diperhitungkan dan penggunaan bahan apa pun yang secara teknis paling baik disesuaikan dengan keadaan yang jelas. tujuan yang telah ditentukan, melainkan melibatkan ‘dialog dengan bahan dan sarana eksekusi’ (Lévi-Strauss 1974, 29). Dalam dialog seperti itu, bahan-bahan yang siap pakai mungkin (seperti yang kami katakan) ‘menyarankan’ tindakan adaptif, dan tujuan awal dapat dimodifikasi. Akibatnya, tindakan penciptaan seperti itu tidak murni instrumental: bricoleur ‘”berbicara” tidak hanya dengan benda-benda… tetapi juga melalui medium benda-benda’ (ibid., 21): penggunaan medium dapat bersifat ekspresif. Konteks poin Lévi-Strauss adalah diskusi tentang ‘pemikiran mitos’, tetapi saya berpendapat bahwa bricolage dapat dilibatkan dalam penggunaan media apa pun, untuk tujuan apa pun. Tindakan menulis, misalnya, dapat dibentuk tidak hanya oleh tujuan sadar penulis tetapi juga oleh fitur media yang terlibat – seperti jenis bahasa dan alat tulis yang digunakan – serta oleh proses mediasi sosial dan psikologis yang terlibat. . Setiap ‘perlawanan’ yang ditawarkan oleh materi penulis dapat menjadi bagian intrinsik dari proses penulisan. Namun, tidak setiap penulis bertindak atau merasa seperti seorang bricoleur. Individu berbeda secara mencolok dalam tanggapan mereka terhadap gagasan transformasi media. Mulai dari mereka yang bersikeras bahwa mereka memegang kendali penuh atas media yang mereka ‘gunakan’ hingga mereka yang mengalami perasaan mendalam bahwa mereka dibentuk oleh media yang ‘menggunakannya’ (Chandler 1995).

Norman Fairclough berkomentar tentang pentingnya perbedaan antara berbagai media massa dalam saluran dan teknologi yang mereka gunakan.

Semiotike Seri 2

Semiotika tidak secara luas dilembagakan sebagai disiplin akademis. Ini adalah bidang studi yang melibatkan banyak sikap teoretis dan alat metodologis yang berbeda. Salah satu definisi yang paling luas adalah Umberto Eco, yang menyatakan bahwa ‘semiotika berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda’ (Eco 1976, 7). Semiotika melibatkan studi tidak hanya tentang apa yang kita sebut sebagai ‘tanda’ dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga tentang apa pun yang ‘mewakili’ sesuatu yang lain. Dalam pengertian semiotik, tanda berupa kata-kata, gambar, suara, gerak tubuh, dan objek. Sementara bagi ahli bahasa Saussure, ‘semiologi’ adalah ‘ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial’, bagi filosof Charles Peirce ‘semiotik’ adalah ‘doktrin formal tentang tanda’ yang erat kaitannya dengan Logika (Peirce 1931-58, 2.227). Baginya, ‘sebuah tanda… adalah sesuatu yang berarti bagi seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas’ (Peirce 1931-58, 2.228). Dia menyatakan bahwa ‘setiap pikiran adalah sebuah tanda’ (Peirce 1931-58, 1.538; lih. 5.250 dst, 5.283 dst). Semiotika kontemporer mempelajari tanda-tanda tidak dalam isolasi tetapi sebagai bagian dari ‘sistem tanda’ semiotik (seperti media atau genre). Mereka mempelajari bagaimana makna dibuat: dengan demikian, tidak hanya memperhatikan komunikasi tetapi juga dengan konstruksi dan pemeliharaan realitas. Semiotika dan cabang linguistik yang dikenal sebagai semantik memiliki perhatian yang sama dengan makna tanda, tetapi John Sturrock berpendapat bahwa sementara semantik berfokus pada apa arti kata, semiotika berkaitan dengan bagaimana tanda berarti (Sturrock 1986, 22). Untuk CW Morris (berasal dari klasifikasi tiga kali lipat ini dari Peirce), semiotika menganut semantik, bersama dengan cabang linguistik tradisional lainnya:

 

semantik: hubungan tanda dengan apa yang mereka perjuangkan;

sintaksis (atau sintaksis): hubungan formal atau struktural antara tanda;

pragmatik: hubungan tanda dengan penafsir (Morris 1938, 6-7).

 

Semiotika sering digunakan dalam analisis teks (walaupun jauh lebih dari sekadar mode analisis tekstual). Di sini mungkin perlu dicatat bahwa ‘teks’ dapat eksis dalam media apa pun dan mungkin verbal, non-verbal, atau keduanya, terlepas dari bias logosentris dari perbedaan ini. Istilah teks biasanya mengacu pada pesan yang telah direkam dalam beberapa cara (misalnya menulis, merekam audio dan video) sehingga secara fisik independen dari pengirim atau penerima. Teks adalah kumpulan tanda (seperti kata, gambar, suara dan/atau gerakan) yang dibangun (dan ditafsirkan) dengan mengacu pada konvensi yang terkait dengan genre dan dalam media komunikasi tertentu.

 

Istilah ‘medium’ digunakan dalam berbagai cara oleh ahli teori yang berbeda, dan dapat mencakup kategori luas seperti pidato dan tulisan atau cetak dan penyiaran atau berhubungan dengan bentuk teknis tertentu dalam media massa (radio, televisi, surat kabar, majalah, buku). , foto, film, dan rekaman) atau media komunikasi antarpribadi (telepon, surat, faks, email, konferensi video, sistem obrolan berbasis komputer). Beberapa ahli teori mengklasifikasikan media menurut ‘saluran’ yang terlibat (visual, auditori, taktil, dan sebagainya) (Nöth 1995, 175). Pengalaman manusia secara inheren multiindrawi, dan setiap representasi pengalaman tunduk pada kendala dan keterjangkauan media yang terlibat. Setiap media dibatasi oleh saluran yang digunakannya. Misalnya, bahkan dalam media bahasa yang sangat fleksibel ‘kata-kata mengecewakan kita’ dalam mencoba untuk mewakili beberapa pengalaman, dan kita sama sekali tidak memiliki cara untuk merepresentasikan bau atau sentuhan dengan media konvensional. Media dan genre yang berbeda memberikan kerangka kerja yang berbeda untuk mewakili pengalaman, memfasilitasi beberapa bentuk ekspresi dan menghambat yang lain. Perbedaan antara media membuat Emile Benveniste berpendapat bahwa ‘prinsip pertama’ sistem semiotik adalah bahwa mereka tidak ‘sama’: ‘kita tidak dapat mengatakan “hal yang sama”‘ dalam sistem yang didasarkan pada unit yang berbeda (dalam Innis 1986 , 235) berbeda dengan Hjelmslev, yang menegaskan bahwa ‘dalam praktiknya, bahasa adalah semiotik yang ke dalamnya semua semiotika lainnya dapat diterjemahkan’ (dikutip dalam Genosko 1994, 62).

Penggunaan media sehari-hari oleh seseorang yang tahu bagaimana menggunakannya biasanya tidak diragukan lagi sebagai tidak bermasalah dan ‘netral’: ini tidak mengherankan karena media berkembang sebagai sarana untuk mencapai tujuan di mana mereka biasanya dimaksudkan untuk menjadi insidental. Dan semakin sering dan lancar suatu media digunakan, semakin cenderung ‘transparan’ atau ‘tidak terlihat’ bagi penggunanya. Untuk sebagian besar tujuan rutin, kesadaran akan suatu media dapat menghambat keefektifannya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Memang, biasanya ketika media memperoleh transparansi, potensinya untuk memenuhi fungsi utamanya adalah yang terbesar.

Semiotika Seri 1

Jika Anda pergi ke toko buku dan bertanya kepada mereka di mana menemukan buku tentang semiotika, kemungkinan besar Anda akan bertemu dengan pandangan kosong. Lebih buruk lagi, Anda mungkin diminta untuk mendefinisikan apa itu semiotika – yang akan sedikit rumit jika Anda mencari panduan untuk pemula. Lebih buruk lagi jika Anda tahu sedikit tentang semiotika, karena mungkin sulit untuk menawarkan definisi sederhana yang banyak digunakan di toko buku. Jika Anda pernah berada dalam situasi seperti itu, Anda mungkin akan setuju bahwa adalah bijaksana untuk tidak bertanya. Semiotika bisa di mana saja. Definisi terpendek adalah bahwa itu adalah studi tentang tanda-tanda. Tapi itu tidak membuat penanya jauh lebih bijaksana. ‘Apa maksudmu dengan tanda?’ orang biasanya bertanya selanjutnya. Jenis-jenis rambu yang mungkin langsung muncul di benak adalah rambu-rambu yang biasa kita sebut sebagai ‘rambu’ dalam kehidupan sehari-hari, seperti rambu jalan, rambu pub dan rambu bintang. Jika Anda setuju dengan mereka bahwa semiotika dapat mencakup studi tentang semua ini dan lebih banyak lagi, orang mungkin akan berasumsi bahwa semiotika adalah tentang ‘tanda-tanda visual’. Anda akan mengkonfirmasi firasat mereka jika Anda mengatakan bahwa tanda juga bisa berupa gambar, lukisan, dan foto, dan sekarang mereka akan mengarahkan Anda ke bagian seni dan fotografi. Tetapi jika Anda berkulit tebal dan memberi tahu mereka bahwa itu juga mencakup kata-kata, suara, dan ‘bahasa tubuh’, mereka mungkin bertanya-tanya apa kesamaan semua hal ini dan bagaimana orang dapat mempelajari fenomena yang berbeda seperti itu. Jika Anda sampai sejauh ini, mereka mungkin sudah ‘membaca tanda-tanda’ yang menunjukkan bahwa Anda eksentrik atau gila dan komunikasi mungkin telah berhenti.

 

Dengan asumsi bahwa Anda bukan salah satu dari orang-orang menyebalkan yang membuat semua orang menunggu dengan pertanyaan canggung Anda, jika Anda mencari buku tentang semiotika, Anda bisa melakukan yang lebih buruk daripada memulai di bagian linguistik.

Adalah… mungkin untuk membayangkan suatu ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Ini akan menjadi bagian dari psikologi sosial, dan karenanya dari psikologi umum. Kita akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani semeîon, ‘tanda’). Ini akan menyelidiki sifat tanda dan hukum yang mengaturnya. Karena itu belum ada, seseorang tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa itu akan ada. Tetapi ia memiliki hak untuk hidup, tempat yang siap untuk itu sebelumnya. Linguistik hanyalah salah satu cabang dari ilmu umum ini. Hukum-hukum yang akan ditemukan oleh semiologi akan menjadi hukum-hukum yang berlaku dalam linguistik, dan dengan demikian linguistik akan ditempatkan pada tempat yang jelas dalam bidang pengetahuan manusia. (Saussure 1983, 15-16; Saussure 1974, 16)

 

Demikian tulis ahli bahasa Swiss Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pendiri tidak hanya linguistik tetapi juga dari apa yang sekarang lebih sering disebut sebagai semiotika (dalam Course in General Linguistics, 1916). Selain Saussure (singkatan biasa), tokoh kunci dalam perkembangan awal semiotika adalah filsuf Amerika Charles Sanders Peirce (sic, diucapkan ‘dompet’) (1839-1914) dan kemudian Charles William Morris (1901-1979), yang mengembangkan semiotika behavioris. Ahli teori semiotika modern terkemuka termasuk Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1931-1993), Umberto Eco (lahir 1932) dan Julia Kristeva (lahir 1941) . Sejumlah ahli bahasa selain Saussure telah bekerja dalam kerangka semiotika, seperti Louis Hjelmslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982). Sulit untuk memisahkan semiotika Eropa dari strukturalisme dalam asal-usulnya; strukturalis utama tidak hanya mencakup Saussure tetapi juga Claude Lévi-Strauss (b. 1908) dalam antropologi (yang melihat subjeknya sebagai cabang semiotika) dan Jacques Lacan (1901-1981) dalam psikoanalisis. Strukturalisme adalah metode analisis yang telah digunakan oleh banyak ahli semiotika dan didasarkan pada model linguistik Saussure. Strukturalis berusaha untuk menggambarkan keseluruhan organisasi sistem tanda sebagai ‘bahasa’ – seperti Lévi-Strauss dan mitos, aturan kekerabatan dan totemisme, Lacan dan ketidaksadaran dan Barthes dan Greimas dan ‘tata bahasa’ narasi. Mereka terlibat dalam pencarian ‘struktur dalam’ yang mendasari ‘fitur permukaan’ fenomena. Namun, semiotika sosial kontemporer telah bergerak melampaui perhatian strukturalis dengan hubungan internal bagian-bagian dalam sistem mandiri, berusaha untuk mengeksplorasi penggunaan tanda-tanda dalam situasi sosial tertentu. Teori semiotika modern juga terkadang bersekutu dengan pendekatan Marxis yang menekankan peran ideologi.

Semiotika mulai menjadi pendekatan utama studi budaya pada akhir 1960-an, sebagian sebagai hasil karya Roland Barthes. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari esai populernya dalam koleksi berjudul Mythologies (Barthes 1957), diikuti pada 1970-an dan 1980-an oleh banyak tulisannya yang lain, sangat meningkatkan kesadaran ilmiah tentang pendekatan ini. Menulis pada tahun 1964, Barthes menyatakan bahwa ‘semiologi bertujuan untuk mengambil sistem tanda apa pun, apa pun substansi dan batasannya; gambar, gerak tubuh, suara musik, objek, dan asosiasi kompleks dari semua ini, yang membentuk isi ritual, konvensi atau hiburan publik: ini merupakan, jika bukan bahasa, setidaknya sistem penandaan’ (Barthes 1967, 9). Adopsi semiotika di Inggris dipengaruhi oleh keunggulannya dalam karya Pusat Studi Budaya Kontemporer (CCCS) di Universitas Birmingham sementara pusat itu berada di bawah arahan sosiolog neo-Marxis Stuart Hall (direktur 1969-79) . Meskipun semiotika mungkin kurang sentral sekarang dalam studi budaya dan media (setidaknya dalam bentuknya yang lebih awal, lebih strukturalis), tetap penting bagi siapa pun di lapangan untuk memahaminya. Apa yang harus dinilai oleh para sarjana individu, tentu saja, adalah apakah dan bagaimana semiotika dapat berguna dalam menjelaskan aspek apa pun dari perhatian mereka. Perhatikan bahwa istilah Saussure, ‘semiologi’ kadang-kadang digunakan untuk merujuk pada tradisi Saussurean, sementara ‘semiotika’ kadang-kadang mengacu pada tradisi Peircean, tetapi saat ini istilah ‘semiotika’ lebih cenderung digunakan sebagai istilah umum untuk merangkul seluruh bidang (Nöth 1990, 14).