I
Oleh : Ika Farihah Hentihu (Daeng Te’ne)
“Puang Ika..” Salah satu teman, Ipung mahasiswa UIN anggota IKAMI SULSEL MALANG memanggilku dengan serta merta. Kelihatannya aku masih belum familiar dengan panggilan ini. Puang terdengar sangat hormat dan menjadi terhormat saat diucapkan. Dan dengan tanpa menunggu langsung kubrowsing kata Puang ini karena rasa penasaran. Terkejut setelah membacanya. Ternyata Puang sangat berarti dalam. Begitu juga dengan Andi, Baso, Daeng, Karaeng, Tetta bahkan Petta.. dan lain-lainnya.
Berawal dari sebuah puisi yang kutulis dengan judul KARAENG GALESONG di blog pribadi, puisi yang mengisahkan tentang perjalananku mencapai lokasi makam dan merenung yang tak pernah kukenal sebelumnya, meski aku tinggal di kota yang sama dengan lokasi makam ini. Dan iyya, sekali lagi aku gunakan Google untuk mengetahui apa makna dari kata Karaeng. Saat itu tahun 2006, Google masih sepi penghuni, apalagi saat menelusuri kata Karaeng dan Karaeng Galesong. Hanya ada beberapa halaman saja kemunculannya.
Tapi rasa penasaranku Alhamdulillah kemudian terjawab saat ada seorang teman berkomentar terhadap puisi yang telah kutulis di blog. Adalah Ucheng atau Ahmad Husain yang kemudian menjadi sahabatku dan sumber inspirasiku. Dari dia pula kemudian aku berkenalan dengan IKAMI SULSEL MALANG. Uchenglah yang memberi komentar terhadap puisi yang telah kubuat di blog. Kemudian dia menghubungiku melalui email. Dan sekali lagi saat itu masih belum banyak aktifitas internet, sehingga lama baru kubalas email dari dia. Saat bertemu Ucheng, aku juga bertemu dengan Kahfi yang juga sama-sama memberiku kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan teman-tema IKAMI SULSEL MALANG.
Foto 1. Blogger kampus putih UMM bertemu di cafe
Inilah puisi yang kuciptakan hingga membawaku berkenalan dengan sahabat-sahabatku IKAMI SULSEL MALANG.
Rinduku Galesong
Oleh : Ika Farihah Hentihu
Rinduku
Aku Rindu
Aku Rindu Pada Galesong
Aku Rindu Pada Sombayya, Ayahku
Aku rindu dimandikan Di Bungung Baraniya
Aku terpaksa tak kembali duhai Sombangku
Tapi Aku tahu, Ayah panggil nama kecilku
Baso…sini kau nak, Baso…sini kau nak
Aku disini aman Ayah, bersama dengan istriku…
Potre Koneng
Bermimpikah engkau tentang diriku wahai ayahku?
Aku selalu bermimpi tentang ayah
Saat kita bersama berkuda di Pantai Galesong
Mendengar nasihat-nasihat bijakmu
Aku ingin bersimpuh di depanmu ayah
Mengenang saat aku akan pergi ke Marege
Aku tidak ke Marege Ayah, tolong percayalah
Aku tidak ke Marege
Marege!
Ayah pasti tahu itu.
(Karaeng Galesong, Malang)
Masih saja terngiang aku saat membaca puisi ini. Ini adalah kegalauan Karaeng Galesong karena tidak kembali ke Gowa. Dia pun rindu ingin bertemu Sultan Hasanuddin dan ingin mengungkapkan bahwa dia tidak jadi pergi ke Marege Australia. Hal ini karena saat Karaeng Galesong berpamit, dia mengatakan akan pergi ke Marege. Dan saat melalui pulau Bali, Karaeng Galesong dengan pasukannya berhenti untuk mengambil air dan makanan. Dari situlah sejarah dimulai. Karaeng Galesong mendapat khabar bahwa Trunojoyo berjuang melawan VOC. Sehingga beliau meneruskan perjalanan ke Barat. Semua pasukan yaitu terdiri dari 700 buah kapal dan sekitar 8000 lasykar dan keluarganya bergerak menuju Probolinggo dan selanjutnya menuju Malang, kota kelahiranku.
Berkenalan dengan mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG memang cukup seru. Dan ini menjadi sumber inspirasi keduaku setelah bertemu dengan Ucheng. Maklum aku hanyalah penulis pemula yang tau-tau tertarik dengan budaya Bugis Makassar. Padahal aku sama sekali tidak memiliki informasi tentang Sulsel. Aku belum pernah mencapai pulau Celebes. Sehingga saat itu hanya berangan-angan saja, bisakah aku mencapai pulau itu. Melihat secara langsung, life, lokasi dimana Sultan Hasanuddin berada, lokasi dimana Karaeng Galesong dilahirkan dan juga tak ketinggalan aku ingin sekali melihat Bone untuk ‘bertemu’ dengan Aru Palakka. Itu semua hanya angan-anganku selama 6 tahun berinteraksi dengan mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG.
Masih penasaran dengan bermacam nama panggilan yang sering dilontarkan oleh sahabat-sahabat IKAMI SULSEL MALANG, akupun bergerak ke asrama mereka yang kutau hanya di Telaga Al Kautsar. Belakangan baru ku tau bahwa asrama mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG adalah di Jl. Dieng. Dan jujur aku hanya duduk terdiam mendengar mereka bicara dengan logat yang berbeda, kata panggil yang bermacam pula. Dan dari sini lah rasa penasaranku berlanjut. Banyak nama panggilan yang sering disebut oleh mereka, termasuk Daeng. Ini yang paling populer. Hanya saja setelah kubrowsing info tentang nama panggilan, ada beberapa kata panggil untuk masyarakat Makassar dan Bugis.
Daeng adalah kata dalam bahasa daerah Sulawesi Selatan yang berarti kakak lelaki atau seseorang yang lebih tua. Tapi kata Daeng mempunyai makna yang berbeda di tiap suku daerah di Sulawesi Selatan. Suku Bugis dan Makassar adalah suku yang besar di daerah Sulawesi Selatan yang sering menggunakan kata Daeng dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. “Kita biasanya memanggil daeng sebagai panggilan untuk lebih menghormati, karena kalau langsung nama akan terkesan kasar,” Seperti yang dituturkan Ucheng kepadaku.
Di dalam perkembangannya sendiri, panggilan Daeng telah memiliki makna yang beragam. Bisa bermakna kakak, bisa juga menunjukkan kelas sosial seseorang. Dengan demikian penggunaannya harus diperhatikan baik-baik, karena kata Daeng sering ditujukan untuk masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Beberapa pergeseran kutemui saat berada di Makassar yaitu memanggil supir pete-pete dengan panggilan Daeng.
Sedangkan masyarakat Bugis sangat ketat dalam penerapan tata adat di kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan sosial. Sejak masa pra Islam masyarakat Bugis mudah mengenal stratifikasi sosial (pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal/bertingkat). Berkembangya pelapisan masyarakat secara tajam tumbuh di saat yang sama terbentuknya kerajaan. Hal ini menimbulkan jarak sosial antara golongan bawah dan golongan atas dalam lapisan masyarakat.
Suku Bugis pada jaman dulu mengenal tiga kasta. Kasta yang paling tinggi adalah Arung (Bangsawan) yang memiliki beberapa sub kasta turunan. Kasta selanjutnya adalah To Maradeka atau orang merdeka (Masyarakat Kebanyakan). Sedangkan kasta yang paling bawah adalah Ata yang berarti budak. Kasta terendah ini kurasa sudah tidak pernah lagi disebut-sebut alias tidak ada. Hal ini tampak pada bangunan rumah Bugis yang tidak lagi ditemukan berspesifikasi Ata. Dan kita sebenarnya adalah To Maradeka, tidak pernah ada lagi yang membedakan status sosial kecuali kalau memang dibutuhkan untuk kegiatan upacara.
Foto 2. Rumah kediaman Bapak Rindam Latief di Sengkang
Mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG untungnya sangat rajin dan peduli. Berbagai kegiatan diadakan oleh komunitas ORDA ini. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dari mulai yang paling kecil skalanya sampai yang paling megah yaitu BUDAYATA. Diskusi lepas diadakan tiap minggu, hingga ulang tahun salah satu anggota yang dibuat surprised. Aku tenggelam dalam gegap gempita celoteh mahasiswa asal Celebes yang cukup nano-nano bagiku. Kadang mengernyit karena tidak tau artinya. Tapi pelahan kupahami apa yang mereka bicarakan, apa yang mereka ungkapkan dan apa yang mereka lakukan dan inginkan.
Mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG sangat peduli dengan lingkungan. Beberapa kali saya diundang untuk memperingati Hari Bumi, Hari Ibu dan juga hari-hari lainnya. Saat itu mereka berduyun-duyun menuju alun-alun kota Malang dan membantu membersihkan daun-daun disana. Benar-benar cape menjadi mahasiswa IKAMI MALANG sepertinya karena tiada hari tanpa kegiatan bagi mahasiswa. Sampai ada yang sakit hingga dirawat di RS karena lumayan parah. Sehingga berduyun-duyunlah teman-teman IKAMI ini, ikutan nginep di RS jagain Syifa Rasyid. Kemanapun mahasiswa IKAMI selalu grubyak grubyuk, rame dan bersama-sama.
Sesekali mereka sembelih kambing dan mengolahnya menjadi Coto Makassar. Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan kuliner terbaik Celebes yang sangat legendaris ini. Sempat kuajak teman kantor yang berasal dari Sengkang untuk ikut menikmati Coto di Asrama DIeng. Sempat dia ungkapkan dengan nada gurauan bahwa setiap hari dia makan pecel yang disajikan oleh istrinya yang orang Jawa. Sehingga menyantap Coto Makassar membuatnya merasa refreshing. Semua teman disana ketawa renyah mendengar curhatannya.
Setelah kenyang menyantap Coto, seperti biasa kubrowsing makna kuliner ini. Ternyata sangat mengejutkan. Coto Makassar dahulu adalah hidangan para raja. Tidak seperti soto-soto Nusantara yang lain yang memiliki latar belakang budaya lokal, Coto ini sangat dikenal legend. Dan baru kutahu bahwa isi Coto Makassar adalah jerohan sapi dimana hidangan ini sangat disukai oleh para Raja Bugis dan Makassar. Pertanyaannya kalau jerohannya disantap oleh para raja, apakah rakyat jelata kemudian yang mengkonsumsi dagingnya. Ini masih menjadi pertanyaan bagiku. Namun kalau saat ini kita bisa memilih karena sudah banyak yang peduli dengan kesehatan, untuk tidak terlalu banyak mengkonsumsi jerohan sapi. Setuju lah.
Beberapa kali mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG mengadakan kegiatan pra acara BUDAYATA. Meski begitu tidak mengurangi hingar binger kegiatan BUDAYATA yang sesungguhnya. Akupun mencoba hadir di kegiatan yang mereka adakan, sambil korek-korek kebiasaan rakyat SULSEL yang tercermin pada sahabat-sahabat IKAMI SULSEL MALANG. Ada tari-tari yang menggambarkan permainan saat masa kecil, drama-drama dengan dialog Bugis bahkan kegiatan permainan anak-anak. Permainan anak sangat seru apalagi kalau dihadiri oleh mahasiswa Pasca S2 dan S3 asal Bugis Makassar. Kebanyakan mereka berumur hampir paro baya, sehingga saat diajak main kelereng, egrang, dende-dende dan permainan lainnya, mereka sangat menikmati. Teman-teman mahasiswa bahkan sudah pada pulang, tapi teman-teman Pasca masih bertahan lompat-lompat disana, Kasiang..
Pengalaman yang paling berkesan saat itu adalah saat Irma, salah satu mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG asal Kalimantan meminjamiku baju Bodo atau baju Tokko. Baju-baju tersebut adalah koleksi pribadi komunitas, termasuk pula perhiasannya. Wah betapa bahagianya aku mengenakan baju dan sarung tersebut. Dan surprised, kemudian kukenakan baju adat Sulsel, ini adalah moment yang kutunggu-tunggu. Bangga sekali rasanya, setelah sekian lama hanya bicara dan menulis, akhirnya aku mengenakan. Baju ini yang akhirnya kukenakan saat acara BUDAYATA pertama di café itu.
Foto 3. Festival Budayata pertama
Adalah Abi, seorang mahasiswa jurusan Teknik yang memiliki jiwa seni dan budaya cukup kental yang dengan ikhlas menyerahkan koleksi keluarga di Bone kepada komunitas mahasiswa IKAMI. Baju-baju, sarung dan pernak perniknya inilah yang salah satunya kupakai pada BUDAYATA. Gelang lengan yang tadinya belum lengkap, dengan petunjuk Abi, akupun mencoba untuk menjahit. Dan jadilah sebuah gelang lengan yang sesekali dipergunakan menari oleh mahasiswi-mahasiswi. Tari Angin Mamiri, tari Kipas dan yang paling heboh tari yang para penarinya membawa obor. Abi pun dengan sangat serius mengolah acara ini dari sejak pemilihan busana hingga mata acara yang ditampilkan. Abi tipe orang serius, berpuluh toko telah dia lewati bersamaku dengan Irma. Tapi sedikitpun tidak ada yang menggoyah hatinya. Kain-kain di Malang tidak ada yang sesuai dengan kata hatinya. Walhasil teman-teman pun mendatangkan kostum-kostum ini dari Makassar sekaligus dengan pemain perkusinya. Heboh banget pokoknya.
Sampailah kemudian pada moment paling penting, aku bisa datang dan hadir melihat Makassar secara langsung. Saat kuinjak pulau Celebes, udara hangat menyelimuti. Tapi kebahagiaanku sudah terbayar karena 6 tahun menunggu agar bisa menginjak pulau Celebes. Adalah Prof. Aminuddin Salle yang banyak membaca tulisanku tentang Karaeng Galesong di website, beliaulah yang memfasilitasiku untuk datang ke Galesong dan mengijinkan tulisan-tulisanku untuk diterbitkan oleh Yayasan AS Center. Merupakan suatu kebanggan dan kehormatan bagiku karena dengan tulisan yang remeh temah namun membawa dampak cukup terasa bagi keluarga keturunan Karaeng Galesong hingga raja terakhirnya sekarang yaitu Prof. Aminuddin Salle. Seorang guru besar bidang Hukum Tanah Adat Universitas Hasanuddin. Dan beliau pula yang mengantarku ke Bala Lompoa Galesong dan memberiku nama Paddaengang yaitu Daeng Te’ne. Beberapa kali masih tergagap-gagap karena belum hafal dengan nama ini. Namun kemudian menjadi terbiasa karena banyak yang memanggilku dengan nama paddaengang ini, Daeng Te’ne.
Foto 4. Launching Novel Karaeng Galesong Sang Penakluk Mataram
Tiba di Bala Lompoa Galesong adalah sebuah keniscayaan, namun siapa nyana aku bisa mencapai Istana Galesong dimana disana masih tersimpan artefak-artefak peninggalan Raja Galesong pertama hingga sekarang. Ada juga Bungung Baraniya, sebuah sumur yang tak jauh dari Bala Lompoa Galesong dimana para lasykar-lasykar Karaeng Galesong yang hendak berangkat menuju medan laga, dimandikan di sumur ini. Sumur ini cukup tua, legend dan berbau sejarah cukup kuat. Akupun sudah mencoba minum air dari Bungung Baraniya, segar dan viral. Karena setelah aku minum air ini, fotoku tersebar ke socmed. Dibilang seorang peneliti sejarah minum air dari Bungung Baraniya. Waduh!
Foto 5. Minum air dari Bungung Baraniya Galesong Takalar
Wajo, Sengkang, Barru, Sidrap dan Takalar adalah daerah yang sudah kulalui, sangat membahagiakan sudah berada di tanah Bone. Seorang sahabat mengajakku kesana. Beberapa tempat kulalui, yaitu Tosora dan makam Syekh Jamaluddin Akbar Al Husaini dan juga tak lupa pula mendatangi makam La Madukeleng. Saat melalui Tosora, temanku banyak bercerita bahwa daerah ini adalah daerah pertempuran Aru Palakka. Dan sepertinya aku bisa rasakan itu disana. Sempat mampir sebentar setelah melihat seorang wanita menenun kain, dan semangat selfie ku jadi membara melihat mesin tenun manual tersebut. Lalu jadilah sebuah foto seorang cewek asal kota Malang yang menenun di Tosora. Ngakak berkali-kali melihat polahku yang tak terkendali.
Foto 6. Di Tosora
Kalau selama ini aku mendengar lagu Danau Tempe, nah saat itu aku melihat secara life danau tersebut. Memang airnya sudah sangat berkurang. Hal ini karena pasokan air dari Sungai Sa’dang Toraja yang juga berkurang. Sungai Sa’dang adalah sungai yang acap kali dipergunakan para rafter karena geografi sungai yang lumayan menantang. Namun tidak mengurangi rasa bahagiaku bisa melihat Danau Tempe ini dari dekat sambil nyanyi-nyanyi Bulu Alauna Tempeeeee.. yihaaa.
Banyak kenangan manis yang kudapatkan dari mahasiswa IKAMI SULSEL MALANG. Jayalah IKAMI SULSEL, Jayalah IKAMI SULSEL MALANG.
Malang, 22 Sept 2021