
Para Filusuf Bahasa sepakat, bahwa benda atas kata itu lebih dulu ada dari pada kata atas bendanya. Karena, semua kata itu menunjuk pada bendanya.
Artinya adanya kata-kata itu didahului oleh adanya benda, baru muncul kata-kata. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan pengertian atas kata apapun dibalikanlah kepada asal dan usulnya bahasa yang al. dengan cara “mengkirata” atau “kiroto boso”.
Lakukan dengan seksama alias tidak sekedar hanya mengkira-kira tanpa tata bahasa dan kaidahnya sebagai pertimbangannya, namun perkiraan yang didasarkan pada tata bahasa dengan berbagai seluk beluknya.
Itulah makna “kiroto” atau mengkira-kira dan menata berdasarkan tata kaidah yang musti dijadikan pertimbangan secara seksama.
Demikian para ahli berpendapat, bahwa benda itu lebih dulu ada baru dikata-kata atau muncul kata. Maka, hendaknya siapapun orangnya tidak mengata atau berkata atas kata atau katanya, namun hendaknya seseorang itu mengata dan berkata atas bendanya.
Katakanlah atas kenyataannya (nyatanya) dan tidak mengata atas katanya yang tidak tahu akan kenyataannya.
Itulah yang ditegaskan oleh Allah swt dalam firman-Nya sebagai dosa besar (kaburo maqtan) di sisi-Nya jika seseorang hanya mengata namun tidak mampu untuk melakukannnya. Bagaimana mungkin bisa melakukannya, jika kata yang diucapkan tidak menunjuk atas bendanya alias hanya mengata saja tanpa mengerti apa yang dikatakannya karena tidak bisa menemukan bendanya???
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Ash-Shaf 2 – 3.
Karena iman yang ada pada setiap dada insan manudia tidak dipergunakan cahaya dan ilmunya (tahunya), maka mereka para manusia itu hanya mengata yang tidak mampu untuk melakukannya. Sehingga “maqtan” atau membikin gatal yang besar atau sangat menggatalkan jika seseorang hanya mengata yang tidak melakukannya, tidak mengata atas benda alias hanya mengata atas kata atau katanya.
Oleh sebab itulah, kemungkinan ada benarnya apa yang dinyata oleh beberapa ahli sejarah berdasarkan data yang diperolehnya, bahwa Abdullah Ibn Mas’ud, sahabat Nabi Agung Muhammad saw, atas perintah Khalifah ke empat Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib Kw, pernah tiba di kepulauan Nusantara, khususnya di pulau Jawa, tepatnya di daerah Wonosobo Jawa Tengah.
Bahkan singkatan nama ormas umat Islam terbesar di Indonesia adalah NO (Nahdlatul Oelama’) atau NU (Nahdlatul Ulama’), bukan “nahlu” atau yang lainnya, akan tetapi NU. Kenapa demikian? Karena kata NO-NU, itu diambil dari kata “nusantara” atas ide alm. Kyai Sya’roni dari desa Keras Kediri yang terinspirasi dari kata “nusantara”.
Dalam musyawarah para Kyai sepuh di Surabaya untuk merumuskan singkatan Nahdlatul Oelama’, pernah ada seorang Kyai sepuh dari Madura yang melontarkan kata “Nahl” yang berarti tawon sebagai singkatan dari Nahdlatul Oelama’.
Namun setelah dikaji dan difikirkan mendalam serta selalu memohon petunjuk Allah swt, maka Mbah Hasyim keluar sebentar dari ruangan musyawarah untuk menemui Kyai Sya’roni. Mbah Hasyim meminta kepada Kyai Sya’roni untuk melakukan istikharah berkenanaan dengan singkatan dari Nahdlatul Oelama’-Nahdlatul Ulama’.
Dalam istkharahnya Kyai Sya’rini diperlihatkan, bahwa Mbah Hasyim membawa tulisan berhuruf Arab :
” نهضة العلماء “
yang di depannya terdapat tulisan huruf latin yaitu NOESWATARA.
Hasil istikharah dari Kyai Sya’roni tersebut dihaturkan kepada beliau Mbah Hasyim, lalu diambillah huruf pertama dan kedua yakni N-O atau NU.
Selanjutnya singkatan NO atau NU dibahas oleh para Kyai untuk ditemukan filosofinya yang dikaitkan dengan kata antara (tengah-tengah) sehingga detemukan kata Nusantara dan Nahdlatul Oelama’ atau Nahdlatul Ulama’.
Maka singkatan NO atau NU, dipilih didasarkan pada berbagai pertimbangan bahasa yang dikira (dikaji) untuk diperoleh “ketataan” atau “tata” yang menjadi idaman semua manusia yaitu hidup tertata; Berkata secara tertata dan bertata kelola negara yang bertata dst.
Semua tahapan berfikir sebagaimana disebutkan di atas sebut menkaji untuk terjadinya ketataan atas segala sesuatunya khususnya, bahasa. Sehingga muncul kata “kirata bahasa” atau “kiroto boso”; bukan hanya sekedar diKIRO KIRO tanpa MIKIR.
Kirata bahasa atau kiroto boso berguna untuk menumbuhkan rasa agar pertimbangan apapun di dalam berkata dan bertindak tidak hanya berdasarkan hasil kajian intelektualitas belaka, namun juga spiritualitas agar tumbuh rasa.
Bekenaan dengan telah ditemukannya berbagai bukti nyata sejarah peninggalan akan perjuangan da’wah umat Islam, maka berbagai nama kota yang terdapat di pulau Jawa semuanya bisa dikirata bahasakan yang didasarkan pada sejarah penamaannya oleh para da’i Muslim saat itu.
Maka nama kota Kediri, konon merupakan ajakan agar semua orang mau ke dirinya masing-masing.
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Al-Isra’ : 14.
Bagaiman seseorang bisa ke diri masing-masing???.
Dijelaskan tata caranya untuk bisa dan mampu ke diri yaitu dengan kata “Nganjuk”. Kata “nganjuk” adalah bahasa Arab ” ‘an juu’in”, tentang lapar yakni perut atau hawa nafsu atau nafsu ketika berhawa, hendaknya di imsak dikendalikan dengan berpuasa agar “juu’ ” atau lapar untuk mampu ke diri masing-masing.
Karena nafsu atau hawa nafsu hanya bisa tunduk dengan neraka “juu’ “, bukan dengan 7 neraka sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya yang jumlah pintu neraka itu sebanyak tujuh.
Dengan ke diri masing-masing melalui “juu’ ” barulah diperoleh “madyun” atau Madiun, yakni kondisi senang dan mahabbah yang hampir sakar atau mabuk, tapi tidak sampai mabuk sehingga serasa senang dan ridho atas apapun yang terjadi. Kondisi diri demikian disebut dengan “madyunun”.
Senang bahagia didapatkan, maka ridho dirasakan sehingga tidak terjebak hidupnya oleh hal-hal yang bersifat materialistik alias terlepas dari berbagai hal yang berfifat ragawi (Ponorogo).
Ponorogo atau hilangnya keterjebakkan (fana’) diri dari berbagai hal yang ragawi, maka kegundah gulaan tertinggalkan (tarku qolqin) yang diucap dengan kata “Trenggalek”.
Tertinggalkannya kegundah gulaan, artinya hilangnya kesedihan.
Hilangnya kesedihan menandakan datangnya pertolongan Tuhan (Tulung Agung).
Jika dalam kesedihan, maka Tuhan tiada bersama kita alias pertolongan-Nya tidak akan diberikannya kepada kita.
Maka itulah pesan Nabi Agung Muhammad saw kepada sahabatnya Abu Bakar ra, adalah janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah itu bersama kita.
يا أبا بكر لا تحزن إن الله معنا
Jika pertolongan Allah didapatkan, maka tentara Tartar saat itu yang telah menguasai 3/4 dunia tidak mampu mengalahkan bangsa Indonesia yang memang telah terbimbing oleh Allah dan rasul-Nya.
Maka mereka kembali kembali ke negaranya di Tartar (Balitar atau Blitar) tanpa ada perlawanan yang berarti. Karena mereka para tentara Tartar, saat itu ketika ingin mengalahkan dan menguasai bangsa Indonesia mengejar rakyat Indonesia sampai di pesisir pantai utara. Yang mana para rakyat Indonesia ketika menghadapi tentara Tartar memakai pakaian celana pendek (Tubban atau Tuban), sedangkan Tentara memakai baju besi sehingga mereka ketakutan dengan sendirinya, baju besi pasti tenggelam di laut melawan orang-orang yang hanya menggunakan “tubban” atau celana dalam.
Bagaimana Malangkucecwara dan Pasuruan serta Surabaya sampai Jakarta?
Semoga di lain waktu bisa saya menjelaskannya.