Sikap Toleransi dan Keterbukaan Suku Tengger

Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya. Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur. Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).

Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan orangtuanya. Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.  Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:

  1. umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan;
  2. usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk membangun rumah dan mandiri;
  3. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.

Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.

#tengger

#sukutengger

Bahasa Keseharian Suku Tengger

Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama.

Contoh: Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira , Kamu ( untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk

Mengenai asal usul manusia, orang Tengger mempunya ajaran yang terdapat pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini:

–  h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa,

–  d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,

–  p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,

–  m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.

Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati, agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa menuju alam bebas angkasa). Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada menjadi ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan. Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran). Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.

                   Berkaitan dengan hubungan (jasmani)badan dan roh menurut falsafah Tengger, masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan. Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000 sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.

Sedangkan hubungan antar-manusia menurut falsafah Tengger, Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu: (a) setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri; (b) setya wacana artinya setia pada ucapan; (c)  setya semya artinya setia pada janji; (d)  setya laksana artinya patuh, tuhu, taat; (e) setya mitra artinya setia kawan. Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung jawab. umpamanya menunjukkan bahwa pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong-royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.

Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger. Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.

Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu: (a) prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya; (b) prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana; (c) pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah; (d)  prasetya berarti setya; (e)  prayitna berarti waspada. Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya. Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan gotong-royong.

#tengger

#sukutengger

#bahasa

Pandangan Kant Terhadap Linguistik

Linguistik kontemporer dan psikologi sangat kontras dengan anthropologi dalam menyelaraskan diri mereka jauh lebih dekat dengan arus rasionalis dalam pikiran Kant. Pandangan rasionalis Chomsky (1980, 1988) dengan postulasinya tentang struktur mental yang kaya dan bawaan ditargetkan secara ketat untuk bidang bahasa telah dibahas di atas. Memang, posisi Chomsky jauh lebih rasional daripada Kant. Bagi Chomsky, peran pengalaman yang masuk akal dalam menentukan bentuk bahasa cukup marjinal; Strukturnya terutama diproyeksikan dari bawaan dan struktur mental universal. Ahli bahasa lain mungkin tidak setuju dengan Chomsky tentang sifat struktur mental ini, betapa kaya struktur mereka ditentukan atau apakah itu memang unik untuk bahasa, namun mengingat banyak bahasa universal yang dibuktikan dengan kuat, sedikit ahli bahasa saat ini akan membantah kebutuhan akan struktur bawaan dan universal yang mendasari bentuk bahasa manusia. Akan tetapi banyak orang berpendapat tentang peran pengalaman, keadaan seorang anak dalam komunitas berbicara tertentu, dikelilingi oleh orang lain yang berbicara dan menggunakan bahasa dengan sifat struktural bahasa yang lain, cukup penting dalam proses dan hasil perolehan bahasa.

Di dalam psikologi, warisan Kantian mungkin paling transparan. Materi pelajaran psikologi adalah jiwa, dan hal ini diasumsikan dalam disiplin bahwa kapasitas ini sama untuk semua manusia. Psikologi mengasumsikan sebuah mekanisme pemrosesan sentral di dalam semua manusia, melalui kita berpikir, mengalami, dan belajar. Tujuan psikologi adalah untuk menggambarkan mekanisme pemrosesan sentral ini, yang diasumsikan untuk diperbaiki, universal dan abstrak, dengan cara yang paling eksplisit. Kita harus mencapai akses terhadap kapasitas ini dengan mempertimbangkan berbagai efek pembelokkan dari lingkungan yang dibangun secara kultural. Oleh karena itu, praktik – praktik psikologi eksperimental berkisar seputar konteks bebas, novel, dan sering kali berarti rangsangan tanpa rasa sakit – semakin baik untuk mengungkapkan formal universal prosessor pusat. Saat dihadapkan pada perbedaan lintas budaya yang signifikan dalam fingsi kognitif (Cole dan Scribner 1974), psikologi berlindung di Kantian Dogma: (1)apakah ada masalah dalam desain uji, dengan tidak dapat diterima bahan uji dari jenis budaya tertentu, sehingga pro pusat universal prosessor tidak dapat mengungkapkan dirinya sendiri atau (2) prosesor pusat belum dikembangkan sepenuhnya pada masyarakat “primitiv & ‘tertentu, karena desain budaya kapasitasnya ada di sana (Hallpike 1979; lihat juga Lévy-Bruhl 1926). Dalam semua kasus, ide dasar untuk mengatasi kecenderungan kinerja ini secara berurutan untuk mengungkap bentuk abstrak yang sebenarnya dan aktivitas dari pusat yang telah diberikan sebelumnya-perangkat pengolah biasa untuk semua manusia.

Apabila ditelaah dari sudut pandang budaya dan suku di Indonesia, misalnya  suku Tengger dimana mereka memiliki budaya, pola pikir dan keunikan tersendiri hingga sekarang. Seperti diketahui bahwa masyarakat suku tengger merupakan salah satu suku yang mendiami lereng gunung Bromo-Bemeru. Gunung bromo (2.392m) adalah gunung yang dianggap suci bagi masyarakat tengger karena merupakan lambang tempat dewa Brahma, tempat wisata terkenal di jawa timur yang dapat ditempuh lewat empat kabupaten, yaitu: Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.

Puncak gunung Bromo yang luasnya 10 km merupakan perpaduan antara lembah dan ngarai dengan panorama yang menakjubkan bisa menikmati hamparan lautan pasir seluas 50 km. Kawah gunung Bromo berada dibagian utara berketinggian 2.392 m. diatas permukaan laut yang masih aktif dan setiap saat mengeluarkan kepulan asap ke udara. Suhu rata-rata digunung Bromo antara 3-170C. Bagian selatan merupakan dataran tinggi yang dipisahkan oleh lembah dan ngarai, danau-danau kecil yang membentang di kaki gunung semeru yang dirimbuni hutan dan pepohonan sungguh merupakan pesona alam yang mengagumkan. Disamping pemandangan alam yang indah gunung bromo juga memiliki daya tarik yang luar biasa karena tradisi masyarakat tengger yang tetap berpegang teguh pada adat-istiadat dan budaya yang menjadi pedomannya. Masyarakat tengger memiliki rasa persaudaraan serta solidaritas yang sangat tinggi. Menurur nara sumber di masyarakat tengger kriminalitas sangatlah kecil semua itu disebabkan oleh rasa percaya pada adanya tradisi, kualat, serta akibat yang akan didapat dari Sang Hyang Widhi jika mereka melakukan suatu kesalahan Masyarakat Suku tengger berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal dilereng gunung semeru dan disekitar kaldera tengger.

                   Sifat umum di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul,sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya. Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan. Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah.

#chomsky

#kant

immanuelkant

#kantian

#sukutengger