Model, Metafora dan Kategori Gramatikal

Model, metafora, dan kategori gramatikal dalam kali ini dimulai dari pernyataan bahwa inti metafora sangat penting pada saat kata-kata leksikal independen sebelumnya dianalisis kembali sebagai morfem gramatikal, seringkali harus melalui proses metaforis. Misalnya kepala ranjang, kaki gunungnya, benda-benda tubuh dapat digunakan untuk menunjukkan bagian benda mati, namun dengan lebih komprehensif.

Kembali ke bahasa Angkola, analisis akan ditelusuri berdasarkan beberapa contoh yang diambil dari penelitian Daulay (2016) dan dimodifikasi oleh penulis.

Adapun anggota tubuh yang dapat bersifat metaforis jika digabung dengan kata benda yang lain adalah:

  1. Mata yang bahasa Angkolanya juga mata terdiri dari:
  2. Mata ni angin

N     prep N

mata dari angin

‘mata angin’

  1. Mata ni ari

N     prep Ket.

mata dari hari

matahari

 

  1. Mata ni pat

N     prep N

mata dari kaki

‘mata kaki’

Berdasarkan ketiga contoh mata di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kata mata (nomina) sebagai bagian dari anggota tubuh dapat mewujudkan sebuah benda yang baru jika digabungkan dengan kata angin (nomina), ari (nomina), dan pat (kaki). Mata yang berfungsi untuk melihat dapat berubah menjadi mata dalam mata ni angin untuk menentukan duabelas arah angin, mata dalam mata ni ari sebagai cahaya dan sumber energi bagi kehidupan di bumi, mata dalam mata ni pat sebagai tanda pergelangan pada kaki.

  1. Kepala yang bahasa Angkolanya adalah ulu terdiri dari:
  2. Godang ulu

Adj        N

Besar kepala

‘besar kepala’

Kata ulu ‘kepala’ (nomina) pada contoh di atas bukalah sebuah kepala yang bentuknya besar, tetapi seseorang yang seolah-olah menganggap dirinya sudah sangat hebat karena banyaknya pujian yang datang kepadanya. Kata ulu sebagai anggota tubuh manusia yang berada paling atas adalah bagian tubuh yang paling terhormat. Tetapi ketika ulu itu digabungkan dengan kata godang ‘besar’ (adjektiva), maka telah menjadi besar kepala karena pujian yang berlebihan. Akibatnya, dari ulu tersebut akan melahirkan sikap yang negatif yang akan berdampak pada perilaku orang tersebut. Dengan demikian, orang yang memiliki sikap tersebut tidak akan disukai dalam komunitasnya.

  1. Tangan yang bahasa Angkolanya juga tangan terdiri dari:
  2. Ginjang tangan

Adj        N

Panjang tangan

‘panjang tangan’

Kata tangan (nomina) ini merupakan bagian dari anggota tubuh yang dapat mengambil atau memberikan sesuatu pada yang lain. Pada saat kata tangan ini digabungkan dengan kata ginjang ‘panjang’ (adjektiva), bukan berarti ukurannya yang panjang, tetapi sikap yang mencerminkan sanggup mengambil barang yang bukan miliknya. Dengan kata lain dapat disebut dengan panangko ‘pencuri’.

  1. Muka yang bahasa Angkolanya adalah muko terdiri dari:
  2. Pasuo muko

V         N

bertemu muka

‘tatap muka’

Berdasarkan contoh di atas, muko ‘muka’ (nomina) sebagai pembeda antara satu dengan yang lain dan berada di sebelah depan. Apabila digabungkan dengan kata pasuo ‘bertemu’ (verba) di sebelum kata muko ‘muka’ tadi, maka akan menjadi tatap muka atau bertemu dengan berhadap-hadapan.

  1. Kaki yang bahasa Angkolanya adalah pat terdiri dari:
  2. Pat ni meja

N   prep N

kaki dari meja

‘kaki meja’

Kata pat ‘kaki’ (nomina) merupakan salah satu dari bagian anggota tubuh sebelah bawah yang berfungsi untuk berjalan. Namun apabila digabungkan dengan kata meja (nomina), maka akan menunjukkan bagian kaki dari meja itu. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kaki meja adalah tiang-tiang penyangga meja dengan ukuran yang proporsional sesuai dengan bentuk mejanya. Dengan demikian, kaki meja dapat menyempurnakan letak meja pada suatu ruangan karena dapat berdiri dengan baik.

Model dan Metafora Kultural: Emosi Dalam Bahasa Inggris

Metafora emosi dalam bahasa Inggris Amerika adalah marah (Lakoff dan Kuvecses, 1987 dalam Foley, 1997) dan cinta (Kovecses, 1986 dalam Foley, 1997). Marah dan cinta ini dapat dibaca lebih lanjut dalam Foley (1997).

Berikutnya, akan dijelaskan metafora emosi dalam dalam bahasa Angkola. Berdasarkan penelitian Siregar dan Setia (2013) bahwa metafora cinta dalam bahasa Angkola kaya dengan ekspresi metaforis untuk menyatakan cinta. Konsep holong ‘cinta dan kasih sayang’ menjadi sumber hukum adat masyarakat. Hal ini terungkap holong manjalahi domu ‘kasih sayang akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan’ dan domu manjalahi holong ‘persatuan dan kesatuan akan menumbuhkan kasih sayang’ (Lubis dalam Siregar dan Setia, 2013).

Contohnya:

  • Hami sannari giot padomu

Kami sekarang mau rajut sayang

‘Kami sedang merajut cinta.’

  • Parrosuan on adong bondul makkalang.

Hubungan ini ada aral melintang

‘Hubungan ini mendapat rintangan.’

 

Konsep cinta diungkapkan dengan kata holong pada (1) dan dibentuk oleh kombinasi kata parrosuan ‘hubungan’ dengan bondul makkalang ‘aral melintang´pada (2). Interpretasinya ialah (1) mengekspresikan CINTA sebagai KESATUAN (melalui kata padomu), sedangkan (2) mengekspresikan CINTA sebagai PERJALANAN (melalui kata bondul makkalang).

Metafora cinta ini mempenyai nilai signifikansi yang tinggi sebagai sebuah konsep emosi. Ciri-ciri semantik pada konsep cinta kadang-kadang bertumpang tindih dengan konsep emosi lain. Misalnya konsep gembira sebagai berikut.

  • Matania bolnang.

Matanya terbelalak

‘Matanya berbinar.’

  • Mukonia jeges.

Mukanya cantik

‘Mukanya berseri-seri.’

  • Parmikimnia manarik.

Senyumnya menarik

‘Senyumnya sumringah.’

 

Metafora pada kalimat 3, 4, dan 5 mencerminkan salah satu dari dua keadaan emosional, yakni cinta atau gembira. Tanpa pelibatan konteks, contoh-contoh itu cenderung ditafsirkan sebagai metafora gembira. Hal ini menunjukkan bahwa metafora cinta dalam bahasa Angkola mengandung potensi ketaksaan yang tinggi sehingga tingkat analisisnya lebih rumit. Dengan demikian, agar diperoleh interpretasi yang tepat perlu disediakan bukti-bukti pendukung tentang fenomena seperti itu.

Aliran Metafora dan Pemahaman Arti

Metafora merupakan bagian dari bangunan metafora yang besar (Reddy dalam Foley, 1997). Kemudian, teori bentuk bahasa dan penguasaan bahasa dalam budaya Barat, menurut Johnson (dalam Foley, 1997) terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  1. Gagasan atau pemikiran adalah objek.
  2. Kata dan kalimat adalah wadah untuk benda-benda ini.
  3. Komunikasi terdiri dari menemukan kata yang tepat.

Apabila direalisasikan ke dalam bahasa Angkola, maka akan terlihat seperti pada penjelasan Harahap (2004) berikut.

  1. Gagasan atau pemikiran adalah objek.

Gagasannya adalah sebuah objek bernama siala. Siala bernama Latin Nicolaia speciosa HORAN (Elettaria sspeciosa BL) tumbuh di berbagai tempat di Indonesia. Pakar botani, seperti Georg Ebehard Rhumpius (1627-1702), Justus Karl Hasskari (1811-1894), K. Heyne, Valeton, Jasper, Pirngadie, dan lain-lain menyatakan bahwa tumbuhan ini sangat berguna bagi manusia.

Palak adalah bunga siala yang masih kuncup berwarna merah yang dipakai juga sebagai penyedap gule bulung gadung na niduda. Sayur ini merupakan sayur yang paling popular di kalangan masyarakat di daerah ini. Batang siala biasa dijadikan anyaman atau tali setelah diproses, antara lain dilulus, dipanaskan di atas api, atau bisa juga dijemur di bawah sinar matahari. Setelah layu, lembaran-lembaran lapisan batang itu diiris dengan memakai jangka. Alat ini terbuat dari beberapa mata pisau dari seng yang dipasang dengan jarak yang sama pada belahan bambu yang sudah dihaluskan berukuran lebar 5 cm panjang 15-20 cm, sehingga irisan kulit batang siala itu berukuran sama. Kemudian direndam selama satu malam, sesudah itu dijemur. Kulit batang siala yang telah kering dihaluskan dan diratakan permukaannya dengan menggunakan sebilah bambu yang dibuat kias. Setelah itu siap untuk dianyam atau dijadikan tali yang cukup kuat.

  1. Kata dan kalimat adalah wadah untuk benda-benda ini.

Karena buah siala merupakan buah yang banyak, tersusun rapih dan kuat sekali menempel pada tandannya. Keadaan kata siala yang seperti itu, menarik perhatian leluhur kita dan menjadikannya sebagai satu perumpamaan bagi pergaulan yang kuat, setia, dan jujur. Kemudian, kalimat ungkapan yang lahir dari kata siala adalah:

Songon siala na sampagul

Rap tu ginjang rap tu toru

Muda malamun saulak lalu

Mula magulang rap margulu

Bagaikan siala setandan

Bersama ke atas bersama ke bawah

Jika ranum, serentak ranum

Jika terguling, sama berlumur

#metaphor

#metafora

Metafora Sebagai Bangunan Dari Pemahaman

Banyak studi dalam linguistik antropologi sejak tahun 1980. Masalah yang diperhatikan adalah konstruksi model dalam bahasa untuk menafsirkan pengalaman. Contohnya teori umum tentang listrik karena mekanisme listrik pada dasarnya tidak terlihat sehingga orang menggunakan model untuk menjelaskannya agar wujudnya dapat dipahami (Foley, 1997).

Seiring berjalannya waktu, selain masalah teknologi yang dimetaforakan dan dibuat modelnya, maka hal ini berkenaan pula dengan bidang-bidang bahasa lainnya. Misalnya, pada bahasa Angkola, metafora mardakka abara adalah pesan yang selalu disampaikan kepada pengantin wanita. Karena mardakka ‘bercabang’ dan abara ‘bahu’ bila diartikan secara etimologi maka akan bermakna bahu yang bercabang. Namun hal ini tidak masuk akal sebab tidak mungkin bahu seseorang dapat bercabang. Dengan demikian, inilah yang disebut dengan metafora. Modelnya adalah bahu yang bercabang, makna metaforanya adalah memiliki keturunan yang banyak.

            Hal mendasar yang perlu diketahui tentang metafora adalah kita menggunakan informasi yang kita miliki tentang satu domain yang yang dikenal (Foley, 1997). Misalnya, bahasa Angkola, ketika ada seseorang mengatakan songon itik surati ‘seperti itik surati’ maka itu berarti menyatakan lambat. Bangunan pemahaman yang telah dibentuk adalah itik surati merupakan salah satu hewan yang jalannya lambat. Karena itu, jika ada seseorang yang pergerakannya lambat maka akan dimetaforakan menjadi itik surati sebagai sindiran yang akan membuat orang lambat tersebut berubah.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#williamfoley

#metafora

#stylistics