Pendidikan Dalam Hubungan Anak dan Orang Tua

Pergeseran peran ayah dari kasih sayang dan kehangatan menjadi penjaga jarak dan pendiam, meskipun hanya satu langkah dalam keseluruhan rangkaian peristiwa yang dengannya anak mempelajari konsep khas Jawa tentang pengendalian diri dan rasa hormat, mungkin merupakan hal yang paling penting. Hal ini paling signifikan karena peran penting ayah dalam kehidupan emosional anak dan karena masa transisi ini terjadi selama periode krisis oedipal. Namun hal ini tidak akan berdampak apa-apa jika tidak diprakirakan dan ditindaklanjuti dengan peristiwa-peristiwa lain dalam kehidupan anak, atau mungkin lebih penting lagi, jika bukan karena konteks makna dari gagasan dan nilai-nilai Jawa yang mendasari keseluruhan transisi tersebut. . (Geertz 1961, 110)

Dalam istilah psikodinamik, perlindungan dari keterkejutan atau frustrasi dapat menunda atau mengurangi intensitas individuasi anak dengan mencegah putusnya perasaan menjadi bagian dari lingkungan keluarga yang menyenangkan yang diciptakan oleh orang tua dan saudara kandungnya. Pola ini terkait dengan apa yang diamati Bary, Child, dan Bacon (1959) melalui observasi lintas budaya. Dalam konsep ketaatan Jawa yang merupakan ciri khas masyarakat agraris atau penggembala, anak-anak dilatih untuk lebih patuh, patuh, dan bertanggung jawab dibandingkan anak-anak dari masyarakat berburu atau menangkap ikan.

Ada sedikit perbedaan antara orang tua petani dan keluarga priyayi berpangkat lebih tinggi atau keluarga bangsawan dalam hal hukuman (Koentjaraningrat 1985). Filosofi priyayi dalam mendidik anak adalah Tut wuri andayani yang artinya “mengikuti dari belakang, senantiasa memberi semangat” (Koentjaraningrat 1985, 241). Oleh karena itu, anak-anak dalam keluarga priyayi lebih leluasa mengeksplorasi dunianya sendiri, yang menurut Koentjaraningrat mencerminkan pengaruh awal Eropa atau Belanda. Namun anak dibimbing secara aktif untuk menyesuaikan diri dengan perilaku yang dapat diterima secara sosial. Berbeda dengan ayah dalam keluarga tradisional, ayah dalam keluarga priyayi juga berperan aktif dalam membimbing anak-anaknya, lebih sering menerapkan hukuman. Namun hukuman fisik jarang dilakukan karena anak-anak Jawa, menurut Geertz, berperilaku baik, patuh, pendiam, dan pemalu.

Jika seorang anak tidak berperilaku sesuai norma, perhatian atau kontak dengan saudara laki-laki atau perempuannya dapat ditarik, dan dia tidak dapat diajak bicara (disatru). Teman bermain pun saling satru atau menjauhi selama beberapa hari. Mengenai hal ini, Geertz mencatat: “Ini adalah mekanisme yang sangat baik untuk penyesuaian permusuhan dalam masyarakat yang meremehkan kekerasan dan ekspresi perasaan yang sebenarnya, karena mekanisme ini memungkinkan untuk menghindari pecahnya kemarahan sambil tetap memungkinkan ekspresi kemarahan yang signifikan. (Geertz 1961, 117-118). Perkelahian fisik antar anak jarang terjadi (Geertz 1961). Orang tua selalu menjaga hubungan baik dengan tetangganya. Mereka selalu menghukum anaknya sendiri jika bertengkar dengan anak lain di lingkungannya, tidak peduli siapa yang salah. Dengan cara ini, anak-anak mempersiapkan diri untuk interaksi sosial di kemudian hari di mana mereka harus berhasil menyembunyikan amarahnya.

Ketaatan dianggap tidak hanya sebagai kualitas yang berguna dalam interaksi sosial, tetapi juga dianggap lebih aman (Koentjaraningrat 1985). Tindakan mengalah pada orang lain yang tidak dikenalnya dianggap aman, menghindari konflik. Ketaatan dipuji secara luas baik dalam nilai-nilai petani maupun priyayi. Seorang anak diajarkan ketaatan dengan memaksakan rasa takut akan akibat yang tidak menyenangkan dari suatu tindakan, atau wedi (takut). Cara yang biasa dilakukan orang tua, yang menurut Koentjaraningrat sangat disayangkan, adalah menakut-nakuti anak dengan ancaman hukuman dari tangan makhluk halus atau orang asing. Lebih lanjut ia menjelaskan, hal ini memicu mudahnya munculnya perasaan takut terhadap orang lain. Menurut Geertz, konsep wedi diajarkan sebelum konsep shaming ditanamkan. Geertz juga menjelaskan cara orang tua menanamkan wedi dengan cara menakut-nakuti anak. Dia pernah mengamati “anak berusia dua tahun, diam dalam ketakutan bahwa laki-laki asing yang datang berkunjung, seperti yang telah diperingatkan ibunya, akan menggigitnya jika dia membuat keributan …” (Geertz 1961, 113). Perasaan ini menyampaikan norma-norma orang Jawa dewasa dalam pergaulan sosial untuk merasakan wedi terlebih dahulu ketika berhadapan dengan orang asing. Karena tidak mengetahui apakah mereka akan mencelakakan, menyakiti, atau mempermalukannya (Koentjaraningrat 1985), orang Jawa menunggu dan tidak melakukan apa-apa hingga ia yakin bagaimana situasi akan berkembang.

Dalam mengajarkan pengendalian diri dan perilaku hormat pada anak Jawa, orang tua menekankan konsep isin atau mempermalukan. Orang tua selalu berusaha membangkitkan rasa malu terhadap perilaku buruk yang akan “diperhatikan oleh orang-orang jalanan” (Koentjaraningrat 1985, 242) Hendaknya anak merasa isin terhadap atasannya. Geertz menemukan, akibat penanaman isin, anak-anak Jawa bisa duduk tenang dan berperilaku baik selama berjam-jam di setiap kesempatan publik. Dalam budaya Jawa, mengetahui kapan harus merasa isin berarti mengetahui “sifat sosial dasar dari pengendalian diri dan menghindari ketidaksetujuan” (Geertz 1961, 114).

Ketika anak memasuki masa remaja, konsep sungkan (kesantunan penuh hormat) (Geertz 1961), diperkenalkan secara bertahap. Perasaan ini ditujukan kepada atasan atau orang asing yang sederajat. Koentjaraningrat (1985) menggambarkannya sebagai “perasaan canggung” terhadap atasan atau orang yang dihormatinya. Mereka akan bertindak malu-malu dalam interaksi sosialnya, berusaha untuk tidak mengganggu atasannya. Menurut Geertz, konsep sungkan merupakan dasar bagi orang Jawa “untuk mampu melakukan minuet sosial dengan anggun” (Geertz 1961, 114).

Ajaran wedi, isin, dan sungkan dianggap sebagai prasyarat untuk mengadopsi unsur-unsur dasar keutamaan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, ketaatan, kemurahan hati, menghindari konflik, memahami orang lain, dan empati merupakan nilai-nilai dasar orang Jawa dalam menjalin hubungan, tercermin dari penekanan mereka pada interkoneksi sesama manusia. Nilai ini mewajibkan masyarakat Jawa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat dalam pergaulan sosialnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *