AS Center
Kunjungan keduaku ke Makassar, selain jalan-jalan juga menemui ayah angkatku Prof. Aminuddin Salle. Selama itu saya tinggal di AS Center, sebuah gedung kantor pusat kegiatan sosial dan budaya sebagai perwujudan dari keinginan-keinginan Prof. Aminuddin Salle penggagas AS Center.
Seperti professor-professor yang lain, ada sahabat saya prof. Teguh Budiharso, professor dalam bidang pendidikan bahasa di Universitas Mulawarman Samarinda dan juga beberapa classmate saya kemarin yaitu prof. Senohimalaputra yang tinggal di Pekan Baru Riau, mereka masih aktif melanjutkan karir sebagai guru besar dalam bidang pendidikan bahasa Inggris. Juga ada prof. Nurhayati Rahman yang akrab kami panggil bunda Nurhayati karena keaktifannya menjadi pembicara-pembicara di lingkungan komunitas pemuda-pemuda asal SULSEL yang tergabung dalam IKAMI-IKAMI di seluruh Indonesia. Kami masih selalu menikmati karya-karya beliau karena tak henti-hentinya berkarya karena memang seorang professor masih diberikan beban untuk berkarya.
Prof. Aminuddin Salle adalah AS Center, AS Center adalah Prof. Aminuddin Salle. Bentuk bangunan dan pengelolaan AS Center adalah sebagai perwujudan dari keinginan prof. Aminuddin Salle demi mengembangkan kegiatan dan pengembangan sosial dan budaya, terutama budaya Makassar. Budaya klasik, trend dan pop adalah titik tekan yang mewarnai aspek-aspek kegiatan social budaya di AS Center. Satu ruangan AS Center berupa ruangan kantor Tetta, panggilan prof. Aminuddin. Ruangan berisi computer dan benda-benda koleksi Tetta yang lain ini menjadi kantor yang cukup produktif dimana Tetta menghasilkan pemikiran-pemikiran brilian. Salah satu asisten beliau adalah bapak Isnaeni, seorang visioner yang workaholic bekerja seperti mesin, namun hasil kerjanya sungguh tak main-main. Keseriusan beliau salah satunya adalah sebagai editor tulisan-tulisan prof. Aminuddin yang sangat banyak dan kadang tercecer dimana-mana, maka bapak Isnaeni lah yang bertugas memanage dan atur kembali menjadi hasil karya nyata dan bisa dinikmati oleh banyak pembaca, mahasiswa, dosen dan pejabat di seluruh Indonesia.
Berkali-kali Tetta mengatakan bahwa beliau bukan sejarawan atau bahkan budayawan. Saya dengar saat beliau ditelpon oleh sahabat saya, melalui handphone saya, Rahman Manaba dari Balikpapan yang ingin berkenalan dengan beliau. “Saya ini bukan sejarawan pak..saya ini sarjana hukum” kata beliau dengan bijak. Dalam hati saya terkekeh-kekeh. Jelas beliau bukan sarjana hukum, beliau adalah professor dalam bidang hukum terutama hukum adat. Beda sekali jarak antara sarjana hukum dan professor dalam bidang hukum.
Beberapa mahasiswa yang tinggal di AS Center sempat pula memanfaatkan wifi yang terpasang disana. Sayapun sempat memanfaatkan sinyal wifi melalui android yang saya pegang. Seorang teman yang tinggal di sebelah kamar saya, Ade yang berasal dari Kendari, baru saja menyelesaikan program Kenotariatan nya, sedianya akan mendirikan kantor Notaris di Kendari, sangat memanfaatkan wifi di AS Center. Mahasiswa lain yang juga tinggal di AS Center memanfaatkan wifi disana adalah tiga gadis asal Korea yang mengikuti program pertukaran mahasiswa Indonesia Korea. Saya sempat berkenalan dengan mereka. Dengan bahasa Korea saya yang “grothal-grathul” terpaksa saya code switching dengan bahasa Inggris. Untungnya mereka ngerti apa yang saya bicarakan.
Sok bisa bahasa Korea gara-gara terlalu sering nonton drakor (drama korea) ya jadinya gini ini!
Prof. Aminuddin rupanya tidak ingin meninggalkan adat kultur budaya SULSEL yang sangat mengakar yaitu dengan menampilkan huruf-huruf lontara pada sebuah bingkai yang bertuliskan beberapa ungkapan Bugis dan terjemahannya. Kemudian ada beberapa lembar tikar yang berbentuk persegi yang menurut adat budaya Makassar maupun Bugis, tikar ini adalah alas duduk bagi raja. Sedang letak tikar ini selalu selevel diatas lantai. Jadi tikar kecil ini digelar di atas lokasi yang lebih tinggi dari lantai. Disana raja duduk dan berbicara dengan para pejabat kerajaan, berdiskusi dan memberikan keputusan dan kebijakan. Sayapun berkesempatan bisa melihat alas duduk berupa tikar yang dalam sistim kekuasaan kerajaan di Makassar Bugis sangat penting. Apabila dibandingkan dengan kursi meja biasa.
Gazebo di pojok lokasi gedung AS Center itu sangat unik dan sejuk. Lingkungan AS Center memang dilindungi oleh konservasi alam yang lumayan, banyak pohon yang berbuah lebat, kolam ikan yang penuh dengan ikan lele, sehingga dengan hangatnya suhu kota Makassar ini, menjadikan saya betah karena disini lebih sejuk. Gazebo ini sering dipergunakan Tetta untuk berdiskusi dengan kolega, sejawat, pakar budaya dan mahasiswa. Kadang diadakan pula kuliah disana. Sempat bertemu dan berkenalan dengan mahasiswa S3 yang datang berkonsultasi dengan beliau. Mahasiswa asal Kei Maluku ini mengkonsultasikan disertasinya tentang kerajaan di Kei Maluku. Malam itu saat saya baru tiba di Makassar, saya langsung berdiskusi sambil memberikan laporan-laporan kepada beliau sehubungan dengan kelanjutan tulisan-tulisan saya tentang Galesong. Hingga kemudian siang itu kulihat dengan jelas gazebo AS Center yang sangat nyaman, berdiri tegak di pojok gedung ini.
Hari itu hari Minggu maka sangat beruntung saya bertemu dengan 4 orang gadis kecil. Tadinya saya tidak paham siapa mereka dan apa yang dilakukan anak-anak ini, mereka duduk-duduk di depan kantor AS Center sejak pagi dan ngobrol dengan bahasa yang tak kupahami, bahasa Makassar. Saat prof. Aminuddin Salle belum datang, saya sempat mendekat pada mereka yang semuanya sedang mengenakan kaos bertuliskan AS Center. Saya sempat mengernyit dan tanpa geming. Terperanjat! Oh mereka adalah malaikat kecil yang sering disebut-sebut oleh Tetta, mereka bahkan sering diliput oleh media-media di Makassar karena aktifitasnya di AS Center. Tetta dan keluarga hampir setiap minggu mengajak mereka untuk beraktifitas di AS Center, mulai dari berolah raga pagi, bermain, menyanyi dan menari. Tettapun memanggilkan guru tari adat untuk mereka agar mereka bisa menari seperti yang dilakukan oleh para putri-putri jaman dahulu. Hal ini kemudian memancing para media dan juga pemerintah kota untuk datang dan melihat, sekaligus meliput kegiatan anak-anak ini di AS Center.
Kalau bukan karena waktu, saya sebenarnya masih ingin tinggal lebih lama di AS Centre. Sedianya hari minggu sore, prof. Aminuddin kedatangan banyak tamu yang salah satunya adalah bapak Kotler sahabat beliau. Prof ingin mengenalkan beliau kepada saya. Namun waktu saya berada di Makassar yang cukup singkat, saya harus melanjutkan perjalanan ke Galesong, karena banyak tulisan saya fokuskan kesana.
Mudah-mudahan ada kesempatan dan umur, saya akan datang kembali kepada orang tua angkat saya, Prof. Aminuddin Salle.
Doa Tetta selalu untuk ananda