Dari Malang menuju Sapanjang
Malam itu sulit kupejamkan mata, beberapa jam yang akan datang aku akan menuju ke Makassar untuk yang kedua kalinya, tempat yang kusebut-sebut sebagai negeri impian. Makassar adalah kota yang ku sangat ingin kesana. Dengan berbagai macam fenomena miring yang muncul semakin membuatku bergegas untuk menginjakkan kaki di bumi SULSEL. Dan entah kenapa tepat aku disana, aku beruntung menyaksikan demo mahasiswa yang sering disebut-sebut dan ditayangkan di televisi. Demo mahasiswa di Makassar sudah menjadi konsumsi tetap wartawan dari berbagai media namun keberadaannya menjadikan lalu lintas di Makassar semakin pelik.
Dibandingkan dengan perjalananku 3 tahun lalu saat 2010 saya kesini, memang terjadi banyak perubahan. Makassar adalah kota metropolitan yang konon lebih rumit dan pelik dari Surabaya. Jumlah mobil yang kulihat sepertinya lebih banyak dan beragam disbanding kota-kota yang lain. Namun saat itu, saat saya ke Makassar tahun itu, entah disengaja atau tidak, saya menyaksikan banyak mobil-mobil mewah dan baru namun bodinya tergores dengan sengaja maupun tidak. Sayang sekali hal ini terjadi. Banyak alasan kenapa banyak mobil-mobil mewah tergores hingga menyebabkan hilangnya keindahan pada mobil-mobil tersebut.
Sesampai di bandara Internasional Sultan Hasanuddin, sempat sekali terhenyak melihat patung Sultan Hasanuddin. Hmm..dahiku sebentar mengernyit
Oh..ini kah patung yang berkali-kali diperdebatkan oleh teman-teman di dunia maya. Baik bentuk fisik tubuhnya maupun tinggi patung yang dirasa kurang sesuai. Dan sepertinya dari penglihatanku, sepertinya biasa-biasa saja. Tidak ada yang janggal. Entah kenapa teman-teman begitu memperdebatkan sisi fisik patung dari pahlawan legendaris ini. Tapi bisa jadi karena berdasarkan perhitungan skala yang tidak sesuai mungkin patung Sultan Hasanuddin menjadi kurang tepat. Harap maklum.
Malam itu hujan dan ternyata Makassar telah 4 hari hujan berturut-turut tanpa henti. Sesampaiku di AS Center, tempatku menginap selama di Makassar, masih saja hujan turun dengan segar. Hal ini menyebabkan Air Terjun Bantimurung menjadi banjir karena kelebihan debit air. Sedianya hari itu saya dan teman-teman akan berendam-berendam di lokasi air terjun yang cukup terkenal. Sayapun juga memiliki foto air terjun Bantimurung yang disimpan di museum Leiden. Artinya air Terjun Bantimurung ini sudah sejak lama dikunjungi oleh masyarakat dari sejak zaman lampau. Sebenarnya keadaannya belum berubah sampai sebelum hujan di Makassar selama 4 hari tiba.
Sehingga kemudian kami hanya menyusuri tepi air terjun Bantimurung sampai ke atas, menaiki sejumlah 141 anak tangga. Terdapat disana gua-gua dengan berbagai macam bentuk stalaktit dan stalakmit, kemudian adanya makam syech Bantimurung yang konon ceritanya berkepala manusia namun berbadan monyet. Itulah kenapa terdapat patung monyet yang cukup besar di gerbang menuju lokasi Bantimurung, disamping gerbang berbentuk kupu-kupu. Kupu-kupu di Bantimurung memiliki jumlah species terbesar di dunia. Namun saying saat kami datang kesana tidak terlalu banyak kami temui jumlah species kupu-kupu disana.
Cape memang dirasa, tapi sesudah kami turun dari lokasi di atas Bantimurung, lelah seolah terbayar. Puas sekali kami jalan-jalan di hutan konservasi yang masih sangat terlindung. Karena hari masih sore setiba mengantarkan teman-teman di hotel, sayapun balik ke as center tempat dimana saya menginap. Namun Anshar Sikki yang mengantarku malam itu menawarkan makan Palu Basa.
Waini!
Tadinya saya hanya dengar-dengar saja, apa Palu Basa itu. Namun saat ini mata dan mulut saya akan menyaksikan apa Palu Basa itu. Yang terkenal di Makassar adalah Palbas Serigala. Bukan terbuat dari daging serigala, tapi letaknya di jalan Serigala. Nah kalau yang di jalan Onta terbuat dari daging onta? Sebuah analisa yang cukup ngawur.
Setiba di Palbas Serigala, unik juga, para petugas belum ditanya sudah meletakkan nasi dan segelas es the. Sempat kukatakan ke pada Hajar dan Anshar temenku yang lagi nraktir bahwa para pelayan disini menganut aliran kebatinan. Lha dari mana mereka tahu kalau saya mau makan dengan nasi dan bukan lontong, dari mana mereka tahu kalau saya mau minum es the dan bukan the hangat. Sambil senyam-senyum kulihat meja ini sudah dipenuhi 3 piring nasi dan 3 gelas es teh. Namun memang sepertinya sudah menjadi kebiasaan masyarakat disana bahwa makan palbas dengan sepiring nasi dan segelas es teh. Palbas sangat lezat apabila diberikan sebutir telur didalamnya. Maka kuah palbas yang cukup panas tersebut cukup bisa mematangkan sebutir telur di dalamnya. Hmm benar-benar ekstrim kuliner. Tapi rasa telur tersebut tidak mendominasi kuah palbas. Cukup legit pokoknya. Seorang bapak memesan semangkuk palbas tapi dia sempat berteriak nasinya harus 2 piring, sambil sedikit berkelakar bahwa sepiring baginya tak cukup untuk menyantap palbas. Palbas adalah sejenis coto mirip coto Makassar namun lebih dominan bumbu jahenya. Kemudian tidak menggunakan kacang seperti coto sebagai bumbu pengental.
Malam itu kakiku bener-bener pegal, namun semua seolah terbayar. Kuluruskan sambil dengerin music dalam hp. Lokasi as center sangat sunyi tanpa ada lalu lalang kendaraan. Ade, teman yang tinggal di sebelah kamar, baru saja menyelesaikan program kenotariatan juga seperti sibuk. Kudengar dia baru menutup kamarnya jam 2 dini hari. Akupun sudah pulas berpeluk mimpi di Bantimurung.
Keesokan harinya jadwal kami adalah jalan-jalan di pantai Losari. Saat ini pantai Losari ada sedikit perubahan saat kami tiba, dibandingkan dengan saat tahun 2010 saya kesini. Ada tulisan Losari yang cukup besar di tepi pantai dimana banyak orang sengaja mengambil gambar disana. Namun sekarang tulisannya lebih banyak. Ada tulisan city of Makassar, Makassar dan Bugis. Saat kami tiba heran juga, tulisannya jadi banyak. Akibatnya banyak lokasi foto yang kami ambil, termasuk masjid terapung. Sempat kungobrol dengan kawan-kawan yang rame-rame datang ke Makassar ini, bahwa kenapa ada dua buah tulisan baru yaitu Makassar dan Bugis bahkan di tengah-tengah tulisan city of Makassar. Saya menjawab dengan mencoba lebih bijak, bahwa ada 4 suku besar di SULSEL ini, yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
Wah tapi malah pertanyaan selanjutnya muncul..
Lalu mana Mandar dan Torajanya?
Hehe..saya juga ingin bertanya kepada teman-teman Makassar. Mungkin ada yang bisa menjawab. Atau mungkin jawaban sederhananya adalah karena lokasinya sudah habis atau tidak ada tempat untuk dua kata itu.
Setelah beberapa lokasi oleh-oleh kami kelilingi, yaitu di jalan Somba Opu dan Jalankote Lasinrang, kemudian kami lanjutkan jalan-jalan sore ke Mie Titi diantar oleh kawan Hajar, Daeng Arie. Daeng Arie adalah kawan saya yang pengurus IKAMI SULSEL cabang Malang. Sudah lama saya bergaul dengan teman-teman IKAMI SULSEL cabang Malang ini. Namun baru saat ini saya bertemu mereka di Makassar. Orang tua Daeng Arie pun sebenarnya mengundang kami datang ke rumah mereka di Antang Makassar. Mungkin karena lokasi yang agak jauh dan hujan yang sepanjang hari menyirami kota Makassar membuat lalu lintas jadi lumayan macet maka kamipun tidak jadi ke Antang mengunjungi orang tua Daeng Arie. Dan malam itu kita habiskan waktu bersenang-senang di Mie Titi dekat lokasi UIN Alauddin. Hidangan mie yang sudah kami lihat. Mie Titi cukup unik. Makannyapun sangat lama karena porsinya sangat super. Tadinya aku bilang porsi biasa saja. Tapi teman ku yang lagi ingin nraktir bilang coba yang porsi besar. Wah benar-benar pusing untuk menghabiskan mie sepiring ini. Bentuk hidangannya adalah mie yang digoreng kering-kering seperti krupuk namun disiram dengan kuah seperti capcai.
Malam sehabis dari mie Titi, teman-teman mengantarku balik ke AS Center. Dan kamipun berpisah disini. Teman-teman sedianya akan balik ke Denpasar esok pagi, saya yang nanti sendiri melanjutkan perjalanan ke Sapanjang, Galesong. Saya sudah merencanakan perjalanan ke Sapanjang ini memang jauh hari sebelumnya. Rahman Uriansyah Manaba teman saya sengaja menyarankan saya untuk tiba di Sapanjang, di rumah datuknya yaitu Karaeng Ngilau. Sapanjang menurut prof. Aminuddin Salle adalah bagian dari sejarah Galesong Makassar. Saat itu 2010 saya menyempatkan datang kesana, maka kali ini kucoba keingintahuan saya untuk sampai di Sapanjang Galesong. Akhirnya sayapun melaksanakan perjalanan sendirian kesana.
Karaeng Ngilau adalah gelar karaeng yang diberikan kepada Syech Sirajuddin Tuan Pandang Laut yang dimakamkan di desa Sapanjang. Beliau adalah keturunan ketiga dari Tuanta Salamaka dan memberikan keturunan sampai beranak pinak di desa Sapanjang. Saya sangat beruntung bisa berkesempatan untuk datang di desa ini dan berziarah di makam wali Syech Sirajuddin dan kemudian bersosialisasi dengan masyarakat Sapanjang. Seperti yang saya lihat di Galesong, saya lihat pohon lontar berjajar-jajar, beberapa penjual buah lokal, buah-buahan yang jarang saya lihat di Malang, juga sempat saya menyaksikan sebuah pesta pernikahan adat Makassar yang diiringi dengan music dangdut. Uniknya panggung dangdut berada di tengah-tengah lokasi pemakaman warga. Saya senyum-senyum tak henti-henti disana, sempat pula mengambil gambar para biduan yang meliuk-liuk di atas panggung yang didirikan di atas tanah makam.
Malam itu di Sapanjang diadakan di sebuah rumah warga, Dzikir Senin. Dzikir yang sangat fenomenal dan telah dilakukan sampai keturunan ke 7 Tuanta Salamaka. Dzikir ini sangat fenomenal karena masih bersifat magis, ada seorang warga dari kampung lain yang ingin mengadakan dzikir ini di rumahnya. Entah kenapa Wallahu a’lam tak lama kemudian orang tersebut kemudian pergi meninggalkan kita.
Keesokan harinya, suasana menghangat, matahari terpancar di Sapanjang Galesong. Kusempatkan jalan menuju ujung kampung, dimana sudah tidak ada rumah. Kutemukan lokasi membuat perahu. Inilah gale, asal kata dari kata Galesong. Gale adalah perahu. Perahu dalam hal ini adalah perahu tradisional yang biasa dipergunakan sehari-hari mencari ikan. Bentuknya kecil dan panjang. Lumayan rasanya bisa menyaksikan semua kegiatan masyarakat di Sapanjang, sebuah kearifan lokal yang perlu direkam. Dengan Galesong..saya rasa serupa tapi tak sama. Istana Bala Lompoa Galesong memang di Galesong, namun keturunan Tuanta Salamaka berada di Sapanjang.
Malam itu kulalui jalan dari bandara Internasional Juanda Soekarno Hatta menuju kota Malang kelahiranku. Di dalam travel lama kumerenung. Masih saja pikiranku berada di Makassar. Kurenungkan semua yang telah kulalui disana hingga sesampainya ku di depan rumah.
Senyum simpul mengelilingi sambil tertidur dengan berpeluk sarung Bone yang kubeli di Somba Opu.
Salamaki Karaeng