Membincang “manusia”, seolah tidak pernah ada habisnya. Manusia, sebagai salah satu dari sekian ciptaan Allah SWT, memang serba unik. Sebab, ia satu-satunya ciptaan Tuhan, yang di dalam dirinya terkandung berbagai sifat ciptaan-Nya, bahkan sifat Allah sendiri ada pada diri manusia. Allah bersifat kasih dan sayang, di dalam diri manusia pun, terdapat kasih dan sayang; Allah bersifat memberi dan sebagainya, di dalam diri manusia pun ada sifat memberi dan seterusnya.
Di dalam diri manusia terdapat berbagai sifat ciptaan Allah, maka sifat hewan ada pada diri manusia. Sifat malaikat, sifat jin dan bahkan sifat manusia itu sendiri, ada pada diri manusia. Sifat yang suka menantang dan mudah tersulut emosionalnya, karena ia dicipta dari bara api yang sangat panas, ada pada diri manusia. Sifat malaikat yang selalu berjalan di atas cahaya kebenaran, ada pada diri manusia (QS 15 :26,27,28,29,30, 31). Sifat manusia yang mudah mengeluh, tergesa-gesa, keterlaluan terhadap Tuhannya, karena sangat cintanya terhadap dunia, ada pada diri manusia (QS 70:19,20,21), (QS 17:11), (QS 100:6,7,8).
Lalu, manakah yang disebut manusia, itu?.
Manusia itu ghoib, yang nyata adalah jasad manusia. Manusia yang ghoib, ia berasal dari yang ghoib serta akan kembali kepada yang ghoib. Oleh sebab itu, harus dibedakan antara manusia dengan sifat manusia. Manusia yang ghoib dan berasal dari yang ghoib serta akan kembali kepada yang ghoib, ia berkait erat dengan fisik atau jasadnya. Artinya, selama jasad manusia masih hidup yang ditandai dengan adanya nafas oleh nafsu, maka selama itu, manusia tidak akan bisa berpisah dengan nafsunya yang selalu berkemauan.
Nafsu itu satu, dan pekerjaan nafsu adalah tujuh. Tujuh pekerjaan oleh nafsu itu, akan melahirkan sifat, kemudian sifat akan melahirkan nama.
Nafsu yang mendorong diri manusia, agar ia melakukan perbuatan jahat, maka ia disebut atau bernama nafsu ammarah bisu’ (nafsu ammara’). Lalu, nafsu yang mendorong diri manusia, agar mecela selain dirinya disebut, nafsu lawwamah.
Kedua nafsu tersebut di atas, baik nafsu ammarah bi su’ maupun nafsu lawwamah, ada dan terdapat pada diri manusia selama jasad belum mati. Selama nafas masih bergerak, maka nafsu yang bekerja untuk mendorong berkemauan pada diri manusia, akan selalu ada. Semakin tua usia jasad manusia, semakin kuat dorongan nafsu dirinya. Ketika jasad manusia di dalam kandungan ibu, maka dorongan kemauannya hanya untuk makan atau minum, yaitu memakan atau minum darah haid ibunya. Kemudian, ketika jasad lahir, dorongan nafsu yang ada pada diri manusia semakin kuat, ia meminta lebih dari sekadar makan atau minum, sampai jasad menginjak dewasa, bahkan tua renta maka dorongan nafsunya, wujud berkeinginan akan bertambah semakin kuat.
Oleh sebab itu, ketika jasad manusia semakin tua, sementara nafsu ammarah dan nafsu lawwamahnya banyak mengusai dirinya, maka ia akan semakin gila harta dengan memperbanyak dan menumpuknya (QS 102:1,2). Dan, semakin gila jabatan serta sejenisnya yang bersifat keduniaan. Sebaliknya, jika semakin tua usia jasad manusia, kedua dorongan nafsu ammarah dan lawwamahnya terkendali dengan baik, maka manusia akan semakin terdorong untuk melakukan berbagai hal kebaikan oleh nafsu mulhamah. Sehingga, muncul ketenangan oleh nafsu muthamainnah. Selanjutnya, timbul pada diri manusia itu, dorongan untuk bersikap rela oleh nafsu radhiyah, sehingga memperoleh ridho Tuhan oleh nafsu mardhiyah. Dan puncak dari semuanya itu, adalah munculnya nafsu kamilah, yaitu dorongan untuk selalu bergabung dengan para hamba Tuhan yang menginginkan untuk bisa kembali ke asal muasal ia berasal, yaitu damai dalam kedamaian di sisi Tuhan.