I La Galigo

Judul yang pendek I La Galigo sebenarnya cermin dari sebuah naskah yang cukup panjang berkilo-kilo. Inilah naskah karya sastra berasal dari Bugis klasik yang diyakini terpanjang di dunia. Dan saking panjangnya naskah dan cerita di dalamnya hingga melebihi Ramayana dan Mahabarata. Bahkan Homerus dari Yunani.

I La Galigo adalah naskah susastra yang bisa kita baca saat ini berbentuk puisi 5 baris. Awalnya naskah ini ditulis dalam huruf lontara di atas daun yang disebut dengan daun lontar. Saat I La Galigo ini dituliskan di atas daun lontar, belum ada teknologi kertas atau papyrus seperti saat ini. Sehingga daun lontar inilah yang sanggup merekam semua kejadian dan cerita lisan saat itu. Diyakini cerita lisan I La Galigo terjadi pada abad 9 SM. Dan baru ditranskripsikan oleh Arung Pacana Toa Collieq Pudji pada tahun 1852 selama beberapa tahun.

I La Galigo yang dianggap kitab suci oleh sebagian orang ini berisi kisah tentang I La Galigo itu sendiri, naskah keagamaan, sejarah, dan naskah spiritual. Bagi para Bissu yang menganut agama Bugis Klasik kitab I La Galigo berfungsi sebagai obat dari beberapa penyakit, sebagai tolak bala dan berfungsi magis juga. Para Bissu ini adalah sisa-sisa warisan I La Galigo yang masih tertinggal saat ini. Bersyukur masih ada yang melestarikan kitab I La Galigo. Karena kalau tidak mungkin I La Galigo hanya sekedar gulungan lontar yang mudah rusak karena rapuh.

Kalau diteliti lebih lanjut I La Galigo bisa menjadikan kita lebih waspada, karena ada ayat-ayat yang meramalkan kejadian-kejadian alam seperti gempa, tsunami dll. Kalau kita lebih teliti membaca kita ini mungkin kita bisa lebih waspada akan gejala alam yang terjadi.

Kisah I La Galigo salah satunya yang cukup terkenal, meski ada kisah-kisah lain adalah hubungan cinta antara Sawerigading dengan We Tenri Abeng. Keduanya sebenarnya adalah lahir kembar emas atau di Jawa dikenal dengan kembar dampit. Yaitu kembar laki-laki dan perempuan. Di zaman itu, sama juga dengan di Jawa, bila lahir bayi kembar laki-laki dan perempuan maka seyogyanya bayi-bayi tersebut dipisahkan. Karena dikhawatirkan keduanya nanti akan saling menyukai dan ingin menikah. Sehingga diputuskan untuk memisahkan Sawerigading dan We Tenri Abeng. Namun meski dipisahkan justru membuat Sawerigading semakin penasaran dan ingin bertemu We Tenri Abeng. Dan ternyata mereka bertemu. Hingga ending ceritanya bisa ditebak.

Kisah ini hanya sebagian kecil dari naskah I La Galigo yang cukup panjang tersebut. Jumlah cerita lisan yang telah ditranskripsikan oleh Colliq Pudjie adalah 12 jilid dan tiap jilidnya adalah berjumlah 2850 halaman. Sisa-sisa naskah yang belum ditranskripsikan tersebar di Gorontalo, Malaysia, Brunei, Singapura dan Leiden. Jadi bisa dibayangkan cerita yang belum selesai ditulis ini seberapa.

Bu Colliq Pudji yang bagi masyarakat Sulawesi dikenal dengan Kartininya Sulawesi ini adalah seorang penulis handal. Mungkin kalau sekarang bisa se frekwensi dan se server denganku. Eh..

Ternyata beliau tidak sendiri, ada seorang pendeta bernama Pak Matthes yang cukup berjasa dalam aktifitas transkripsi naskah Ibu Colliq Pudjie. Bapak Matthes yang seorang pendeta dan pakar Linguistik Bible ini melihat kepiawaian Ibu Colliq sehingga banyak sekali bantuan diberikan pada sang ibu.  Saat itu situasi perang antar suku yang tak menentu didukung dengan kehadiran kolonial yang menghasut, membuat bu Colliq kesulitan untuk menuliskan semua naskah-naskahnya. Dalam keadaan terkucil karena kekejaman kolonial, bu Colliq tak berhenti melanjutkan naskahnya.

Kini kita bisa menikmati tulisan I La Galigo dengan bahagia karena sudah ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia.

 

Meski transkrip lisan dan transliterasi naskah belum selesai.