Nikmat dan Anugerah

Anugerah pemberian Allah, sekaligus sebagai amanah terhadap setiap diri manusia, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, apapun suku, bangsa dan agamanya, adalah apa yang disebut dengan nikmat.

Nikmat, tentu berbeda dengan kenikmatan. Nikmat itu, anugerah pemberian Allah untuk setiap diri manusia dan ia bersifat rasa, maka nikmat itulah yang bisa merasa dan merasakan.

Sedangkan kenikmatan, itu lebih bersifat fisik, di mana setiap orang berbeda sesuai dengan keadaan fisik dan sejenisnya masing-masing. Maka, kenikmatan itu, digambar oleh al Qur’an sebagai permaian keduniaan yang penuh dengan permainan tipuan, QS 6 : 36, QS 57 : 20.

Nikmat lebih bersifat batin, sedangkan kenikmatan lebih bersifat fisik atau dhohir.

Oleh karenanya, nikmat merupakan anugerah Allah yang paling besar bagi setiap diri manusia, sebab hanya nikmat yang bisa merasa. Jika nikmat anugerah Allah terhadap diri manusia itu, teringkari oleh manusia, maka ia tidak akan bisa merasa, sehingga seolah nikmat tersebut mati, maka lazim disebut dengan “mati rasa”. Artinya, nikmat anugerah-Nya tersebut, tetap ada, hanya saja sifat atau rasa dari nikmat itu, tertutupi oleh sifat pengingkaran (kafir) diri manusia, itu. QS 64 : 2. 

Maka, nikmat tersebut, wujudnya rasa yang Allah tiupkan (nufukh) terhadap setiap diri manusia, berupa iman yang dipercaya oleh Tuhan.

Iman tersebut, berwujud catatan (kitab) yang tidak ada di dalamnya sebuah keraguan sedikipun, QS 2 : 2. Catatan itu, benar maka disebut ilmu, QS 29 : 49. Dan ilmu tersebut menanda jelas dengan cahayanya (nur), maka disebut ayat, ia ada di dalam dada setiap diri manusia, siapapun orangnya, apapun jenis kelaminnya serta dari mana dan apapun bangsa serta agamanya.

Maka, rasa dari dan oleh nikmat Allah terhadap setiap diri manusia itu, sama. Tidak tua dan tidak muda, tidak laki dan tidak perempuan, jika dipijit, nikmat rasanya dan jika dicubit, sakit rasanya.

Artinya, nikmat itulah yang merasa karena adanya ruh yang ditiupkan oleh Allah kepadanya, wujudnya catatan (kitab) dan ia dipercaya oleh iman serta dibenarkan oleh ilmu (bukan pengetahuan).

Oleh sebab itu, nikmat disebut juga dengan iman, kitab dan ilmu. Nikmat itu, benda, kerja nikmat adalah merasa (QS 55 : 13, 16) dan rasa tersebut benar serta terpercaya, sebab rasa itu tiada dusta karena menyampaikan apa adanya, itulah sifat iman yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah. Rasa yang dipercaya akan kebenarannya itu, tercatat dan terukir di dalam dada, namanya al kitab dan ia terbaca jelas tiada dusta serta benar, namanya al Qur’an, QS 17 : 14.

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبً

7/26/18, 16:36 – ‪+62 895-6088-99879‬: (اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا)

Al-Isra’ 14

7/26/18, 18:27 – ‪+62 895-6088-99879‬: Percaya Kepada Allah

Imam Muslimin

Percaya kepada Allah itu, maksudnya percaya kepada Rasul utusan-Nya. Lalu, percaya kepada Rasul utusa-Nya itu, percaya kepada Nabi Muhammad saw putra Abdullah. Kemudian, percaya kepada Nabi Muhammad saw putra Abdullah itu, berlaku mencontoh beliau Nabi Muhammad saw, sebagai Rasul utusan Allah yang bernama atau disebut amin. 

Berlaku mencontoh Nabi Muhammad saw putra Abdullah sebagai Rasul utusan Allah yang bernama atau disebut amin itu, artinya berlaku atas dasar iman yang berisifat empat, yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah.

Sehingga, benar apa yang disampaikan, apa yang diomongkan dan benar apa yang dilakukan oleh seseorang, sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Apa yang ada di dalam hati, tidak dikhiyati, itulah amanah nama atau sebutannya. Lalu, tidak ditambah dan atau tidak dikurangi, itu sebutannya tabligh atau apa adanya. Sehingga, cerdas atau fathonah, karena tidak diperlukan “ngarang-ngarang” dan sejenisnya..

Bagi Nabi Muhammad (amin), tidak diperlukan “ngarang-ngarang, karena mendapatkan langsung dari Allah, namanya wahyu.

Bagi selainnya (iman), tidak diperlukan “ngarang-ngarang”, karena mendapatkan dari amin, tinggal membenarkannya, tidak dikhiyanatinya, disampaikan apa adanya sehingga cerdas dan tidak dungu atau bodoh. 

Itulah, makna “syahadatain” atau dua persaksian, yang inti dan substansinya adalah percaya kepada Allah, karena benar-benar menyaksikan-Nya. Maka, menyaksikan dan yang disaksikan hanya Allah sebagai Tuhan, sedangkan selain DIA, bukanlah tuhan. Itu, artinya, menyaksikan Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah, bukan tuhan. Dia hanya utusan Allah yang amin, sehingga dialah yang shidiq, yang amanah, yang tabligh dan yang fathonah. 

Sedangkan, selain beliau (amin), bisa shidiq, bisa amanah, bisa tabligh dan bisa fathonah, oleh karena imannya tegak dengan sholat atau terjadinya hubungan dengan amin. Jika, tidak tegak sholatnya, maka tidak akan terjadi hubungan dengan amin, dan jika tidak terjadi hubungan dengan amin, maka tidak bisa shidiq, tidak bisa amanah, tidak bisa tabligh sehingga dungu dan bodoh, alias tidak cerdas.