
Dari hari ke hari upah buruh di sebuah perusahaan perkebunan kapas milik Compeni Belanda, semakin tidak bisa mencukupi kebutuhan primer bagi kaum buruh tani.
Setiap menerima upah pada hari Sabtu selalu mengalami pengurangan dari upah seminggu sebelumnya, padahal harga kebutuhan pokok semakin naik.
Wal hasil, para buruh tani yang dalam menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari mengandalkan upah dari kerja di sebuah perkebunan kapas milik Compeni tersebut, semakin lama semakin berat.
Ngomong punya, akhirnya mereka berkumpul untuk membicarakan upah yang semakin menurun sebagai imbalan dari perusahan yang bergerak di bidang pertanian kapas tersebut.
Dalam perkumpulan diputuskan, mereka sepakat untuk melakukan semacam unjuk rasa, memprotres terhadap pengurangan upah yang mereka terima dari setiap minggunya.
Dalam aksi memprotes kebijakkan perusahaan yang mengurangi upah dari para buruh tersebut, pimpinannya adalah KASAN.
Kasan diangkat dijadikan pimpinan mereka dalam melakukan unjuk rasa memprotes penurunan upah terhadap buruh tani.
Karena dalam menyampaikan aspirasinya, mereka menggunakan bahasa Jawa, maka sang pemilik perusahan kesulitan untuk bisa mengerti apa yang disampaikab oleh kaum buruh.
Akhirnya, sang pemilik perusahaan yang berkebangsaan Belanda tersebut menyuruh KARTO, seorang pribumi yang bekerja sebagai Sinder atau Waker di perusahaan pertanian kapas itu.
Si Karto sangat mengusai bahasa Belanda dengan baik, sekaligus juga bahasa Jawa, karena Karto berasal dari sebuah desa jauh dari kota di Kabupaten Ponorogo.
Setelah Karto mendapatkan perintah dari pemilik perusahaan kapas yang sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa tersebut, untuk menemui para temonstran yang mendemo perusahaannya. Maka, Karto langsung melaksanakan perintah dari Bossnya.
Si Karto ambil alih posisi Boss untuk menghadapi para demontran yang dipimpin oleh Kasan dengan penuh keyakinan dan kebanggaan atas tugas khusus dari sang Boss tersebut.
Langsung si Karto dengan langkah tegap penuh keyakinan dengan pakaian kewibaan dan kumis diplintir, memanggil pimpinan demo tersebut :
” OPO SAN…???”
Suara Karto yang keras tersebut, terdengar oleh si Boss yang berada di dalam kantor.
Maka, sejak saat itu orang-orang yang melakukan protes terhadap kebijakan di sebuah perusahaan di sebut, “OPOSAN”.