Metafora dan Pengalaman yang Diwujudkan

Sumber domain sebagian besar berpusat pada pengalaman yang diwujudkan. Pemahaman manusia terhadap setiap target domain pertama terstruktur, khususnya pada tubuh manusia dan interaksi dunia fisik sehari-hari, dan inilah yang menjadi sumber metafora (Lakoff dalam Foley, 1997).

Pengalaman yang diwujudkan dari sebuah metafora dapat dilihat dari arah atas, bawah, kanan, dan kiri. Misalnya pada metafora mata guru, roha sisean yang artinya mata sebagai guru, hati sebagai bacaan. Makna metaforanya adalah mata untuk melihat dan hati yang menyaringnya baik atau tidak. Apabila dilihat dari arah atas, bawah, kanan, dan kiri, maka akan terlihat sebagai berikut.

Untuk metafora mata guru, yang diambil adalah salah satu anggota tubuh, yaitu mata. Mata merupakan salah panca indera yang digunakan untuk melihat. Mengapa dimetaforakan sebagai guru? Karena semua awal perbuatan kita berasal dari apa yang kita lihat, apakah kita akan berperilaku positif ataupun berperilaku negatif, tergantung dari respon mata kita tadi.

Kemudian, roha sisean berarti hati bacaan maksudnya hati membaca apa yang telah dilihat tadi. Hati dimetaforakan sebagai perpustakaan yang dapat membaca apakah yang dilihat tadi pantas atau tidak, baik atau tidak, dan seterusnya.

Demikianlah salah satu metafora dengan pengalaman yang diwujudkan dari bahasa Angkola, dapat menggunakan bagian tubuh yang mengandung makna filosofis. Metafora dalam bahasa Angkola sungguh banyak, apalagi yang dikiaskan dalam bahasa adat. Berikutnya dapat diperdalam dalam buku Sutan Managor (1995) Pastak-Pastak ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan. CV. Media Medan: Medan.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

Managor, Sutan. 1995. Pastak-Pastak ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan. CV. Media Medan: Medan.

#metafora

#lakoff

#foley

Metafora Sebagai Bangunan Dari Pemahaman

Banyak studi dalam linguistik antropologi sejak tahun 1980. Masalah yang diperhatikan adalah konstruksi model dalam bahasa untuk menafsirkan pengalaman. Contohnya teori umum tentang listrik karena mekanisme listrik pada dasarnya tidak terlihat sehingga orang menggunakan model untuk menjelaskannya agar wujudnya dapat dipahami (Foley, 1997).

Seiring berjalannya waktu, selain masalah teknologi yang dimetaforakan dan dibuat modelnya, maka hal ini berkenaan pula dengan bidang-bidang bahasa lainnya. Misalnya, pada bahasa Angkola, metafora mardakka abara adalah pesan yang selalu disampaikan kepada pengantin wanita. Karena mardakka ‘bercabang’ dan abara ‘bahu’ bila diartikan secara etimologi maka akan bermakna bahu yang bercabang. Namun hal ini tidak masuk akal sebab tidak mungkin bahu seseorang dapat bercabang. Dengan demikian, inilah yang disebut dengan metafora. Modelnya adalah bahu yang bercabang, makna metaforanya adalah memiliki keturunan yang banyak.

            Hal mendasar yang perlu diketahui tentang metafora adalah kita menggunakan informasi yang kita miliki tentang satu domain yang yang dikenal (Foley, 1997). Misalnya, bahasa Angkola, ketika ada seseorang mengatakan songon itik surati ‘seperti itik surati’ maka itu berarti menyatakan lambat. Bangunan pemahaman yang telah dibentuk adalah itik surati merupakan salah satu hewan yang jalannya lambat. Karena itu, jika ada seseorang yang pergerakannya lambat maka akan dimetaforakan menjadi itik surati sebagai sindiran yang akan membuat orang lambat tersebut berubah.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#williamfoley

#metafora

#stylistics

Hermeneutika, Sebuah Proses Penerjemahan dan Penafsiran

Hermeneutika merupakan proses interpretasi; penerjemahan; penafsiran. Namun, permasalahannya adalah bagaimana jika makna yang sama diungkapkan dalam bentuk yang berbeda dan hal ini berada pada sistem makna dan sistem yang ditentukan sendiri, baik secara parsial maupun secara temporal. Proses hermeneutika ini telah dilakukan langsung terhadap suatu penduduk asli untuk mengetahui teks bahasa proses ritual. Interpretasi seperti ini harus juga didukung dengan kekuatan imajinasi dan mengesampingkan keyakinan penafsir sendiri untuk evaluasi kritis, sehingga mampu mengungkapkan asumsi terdalam berdasarkan sejarahnya. Revisi juga tidak luput untuk dilakukan seiring dengan meningkatnya kemampuan imajinasi dan pemahaman empati kita (Foley, 1997).

Misalnya, pada bahasa Jawa sangat kental dengan undha usuknya sehingga pada saat berbicara dan menginterpretasikan sesuatu kepada mitra tutur sangat berhati-hati dan mempertimbangkan usia, gender, dan jabatannya. Kapan menggunakan ngoko, kromo, kromo inggil sangat diperhatikan karena bentuk kesopanan sebagai orang Jawa. Contohnya: mangan tidak baik diucapkan oleh istri pada suaminya karena kata mangan adalah ngoko, tetapi istri harus menggunakan kromo pada suami yaitu kata dhahar. Contoh ini dilihat berdasarkan gender dari hubungan suami istri pada orang Jawa.

Sementara itu, dalam bahasa Angkola tidak ada speech level seperti pada bahasa Jawa tadi, yang ada adalah bahasa umum dan bahasa adat. Misalnya, kata mangan dalam bahasa Angkola yang kebetulan sama dengan bahasa Jawa, artinya adalah makan. Kata ini dapat digunakan oleh siapa saja tanpa memandang usia, gender, dan jabatannya. Tetapi, ketika masuk dalam acara adat, maka kata mangan ‘makan’ tadi berubah menjadi sangat halus dengan ungkapan marrasoki ‘berezeki; menikmati rezeki (dalam hal ini makanan yang sudah terhidang di depan mata)’. Hal seperti ini membutuhkan kepekaan interpretasi yang terlatih agar tidak terjadi misinterpretasi.

Referensi

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. China: Blackwell Publisher Ltd.

#penerjemahan

#williamfoley

#bahasadaerah