
Bayangkan saat kita menendang bola lalu bola itu mengenai kaca jendela lalu pecah. Pertanyaannya siapa yang memecahkan kaca, saya atau bola. Lalu coba anada bayangkan kasus Ferdy Sambo. Sambo menyuruh atau tepatnya memerintahkan Richar Eliezer untuk menembak Brigadir Joshua. Dan Joshua tewas seketika. Maka siapa sebetulnya siapa yang membunuh Brigadir Joshua?
Jika menggunakan analogi bola dan kaca itu, mestinya yang membunuh adalah Ferdy Sambo. Atau bahasa yang biasa dipakai adalah aktor utamanya. Tapi benarkah demikian? Karena bola dan Richard Eliezer adalah dua hal yang berbeda. Bola tanpa kesadaran, sementara Eliezer adalah manusia yang berkesadaran. Lalu sejauh mana kesadaran Eliezer itu mendorongnya untuk menembak Joshua?
Inilah yang dibahas tiga ahli dalam sidang beberapa waktu lalu yang meringankan Eliezer. Disitu ada ahli filsafat atau filsuf, Romo Magnis Suseno dimana jarang sekali persoalan filsafat seperti ini dibawa ke persidangan. Baru kali ini saya mengetahui pengadilan membawa saksi ahli dari kalangan filsuf. Ada juga ahli Psikologi Klinis, Liza Mareli dan ahli Forensik, Reza Indragiri.
Saya setuju dengan pandangan orang bahwa ketiga ahli itu sangat luar biasa memberikan penjelasan, baik pembuktian rasionalnya maupun pembuktian ilmiahnya atas proposisi-proposisi yang mereka kemukakan. Artinya mengikuti penjelasan-penjelasan mereka itu membuat kita menjadi lebih cerdas, kata orang-orang yang kuliah 6 SKS.
Dipandang dari analogi bola, bola dianggap sebagai sebab langsung dan orang yang menendang disebut sebagai sebab tidak langsung. Kalau sekilas dibandingkan dengan kasus Sambo, Sambo adalah sebab tidak langsung dan Eliezer adalah sebab langsung bagi tertembaknya Brigadir Joshua.
Hanya saja yang saya tau dalam hukum itu yang dicari adalah penyebab utama atau aktor intelektual atau aktor yang memiliki kesadaran. Jadi kalau ada orang yang membunuh dengan pisau maka pisau tidak bisa dihukum karena tidak berkesadaran. Dan ia hanya menjadi alat, jadi yang dihukum adalah orang yang menggunakan piusau itu.
Jika Eliezer diibaratkan sebagai pisau yang digunakan oleh Sambo untuk menghabisi Joshua maka Eliezer tidak bisa dihukum karena dia hanya menjadi alat. Tapi benarkah Eliezer itu adalah alat yang tak punya kehendak untuk mennetukan sikap bebasnya untuk menolak atau mengiyakan perintah Sambo.
Disinilah pembuktian ahli yang dilakukan oleh Magnis Suseno, Liza Mareli dan Reza Indragiri, ketiganya memberikan penjelasan kuat bahwa Eliezer itu adalah alat yang digunakan oleh Ferdy Sambo .
Romo Magnis menggunakan pendekatan Etika Kantian yang secara nurani ada yang disebut Impratif kategoris yang mendorong manusia untuk berbuat baik. Tetapi kesadaran berbuat baik ini bisa diabakan ketika seseorang dalam kondisi terdesak mendapat perintah dari atasannya. Eliezer adalah polisi dengan pangkata yang paling rendah. Adapun Sambo adalah polisi dengan pangkat Jendral, maka kesadaran etik apapun tak mungkin seorang Barada melanggar perintah Jendral.
jadi dengan demikian tindakan Eliezer menembak tersebut tanpa kesadaran bebas dari dirinya. Jadi dia tidak sedang dalam menjalankan kehendak dia sendiri. tetapi sedang menjalankan kehendak Ferdy Sambo. terlebih setelah kejadian, Eliezer mau mengakui kesalahannya dan siap menjadi justice collaborator.
Bagi Liza Mereli, ada bagian otak yang disebut Lobus Frontalis. Bagian ini seharusnya berfungsi membuat penilaian dan analisa bagi setiap individu. tetapi tidak berfungsi apabila dalam kondisi tertekan. Dan bagi Reza Indragiri, tak ada perbuatan seseorang yang terjadi di ruang hampa yang dipengaruhi oleh hal-hal lainnya.
Upaya yang dilakukan oleh para ahli ini adalah memperkuat dan membuktikan bahwa sebenarnya Eliezer itu adalah alat yang digunakan oleh Ferdy Sambo.
#ferdysambo
#richardeliezer
#brigadirjoshua
#magnissuseno
#rezaindragiri
#filsafat