Menilik Rutin
Kunjungan dua mingguan sudah rutin kulakukan ke Ar Rifaie Gondang Legi, kunjungan ke putri sahabatku Rahman Manaba. Si kecil Hana berkacamata tebal yang masih duduk di kelas satu SMP di Ar Rifaie selalu menunggu-nunggu kedatanganku di tiap dua minggu sekali. Akupun tak tega kalau sampai nggak datang ke pesantren megah ini untuk menengok putri temanku itu. Maklum orang tua Hana tinggal di Balikpapan Kaltim sehingga sulit untuk bisa menjenguk putri pertama mereka tiap dua minggu tersebut. Dan saya mencoba untuk itu. Alhasil ini selalu jadi perjalanan panjang ku ke Gondang Legi dengan motor MX ku. Hitung-hitung sambil jalan-jalan menghirup udara segar kabupaten Malang di sebelah selatan yang masih banyak ditanami tebu di sepanjang pinggir jalan raya.
Si kecil Hana tak kusangka berbakat menulis. Sebulan lalu dia sempat bilang kalau sudah menulis di beberapa lembar dan beberapa buku selama ada waktu senggang di pesantren itu. Bakat menulisnya memang sudah tertempa sejak dia di Balikpapan dan itu menurun dari orangtuanya, Rahman Manaba yang juga penulis. Tak ragu-ragu Hanin panggilannya sempat menceritakan bahwa tulisannya sudah banyak. Tulisan-tulisan tentang remaja yang menjadi fokus tulisannya disaat umurnya yang masih belia. Hana banyak memiliki inspirasi yang entah kutau dari mana dia dapatkan. Kubayangkan saya sendiri yang sehari-hari hanya mengajar dan hiruk pikuk kehidupan kampus. Itulah kenapa sulit bagiku untuk menuangkan pikiran kepada tulisan terutama di websiteku Linguafranca. Namun beda bagi Hana. Ada beberapa lembar dan buku yang sedianya ingin dia berikan padaku untuk kubaca.
Saat itu hujan lebat dan sangat gelap. Air menggenang di teras ndalem (rumah) pak Kiai Zamachsari yang akrab dipanggil gus Mat. Tak sangka-sangka air sampai setinggi itu, padahal tepat di depan pesantren terdapat sungai yang cukup lebar dan dalam. Namun tetap tak bisa menampung air hujan sederas itu. Di kegelapan dan derasnya hujan kududuk merapat dengan Hana. Di depan kami tinggal beberapa sendok nasi capcay yang kubawa dari rumah dan dua potong roti yang kubuat sehari sebelumnya. Memang sudah hampir dingin.
Pelan dia bilang ‘Bude ini tulisan Hana dibawa sama bude saja’
Saya pun sempat mengernyit mendengar dia berkata seperti itu. Kutanya kenapa.. dan dia menjawab ‘..biar disimpan sama bude aja, nanti kapan-kapan Hanin lanjutin’
Saya benar-benar tak menyangka itu terjadi. Kubilang lanjutin saja novelnya nanti bude buatin blog, dengan sedikit merayu Hana. Saya mencoba untuk memberikan motiovasi dia untuk menulis. Saya anggap Hana ini masih sangat terbuka lebar pikiran dan ide dibanding saya yang sudah umur seperti ini, kadang susah untuk dapatin itu.
Dan ternyata apa dia bilang! Beberapa tulisan-tulisan dia telah dirampas oleh ustadzahnya yang mengakibatkan dia menjadi stagnant dan malas untuk melanjutkan.
Hmm bagai tersengat rasanya. Bisakah hal-hal seperti ini menjadi perhatian para pendidik di lingkungan pesantren terutama. Menulis terutama bagi usia remaja bisa menjadi potensi yang luas. Baru ingat penulis idola saya Teh Pipiet Senja. Beliau baru menulis dan menghasilkan karya-karya apik setelah usia 40. Dan nama Pipiet Senja memang mewakilkan itu sebagai nama penanya. Tulisan-tulisannya begitu menginspirasi saya. Sedangkan Hana yang baru berusia 12 tahun saat ini seolah disekat inspirasinya.
Sedih sekali!
Buku-buku yang sudah berisi tulisannya kemudian kubawa pulang dan kuteliti bahasanya. Sedianya akan kubuatkan blog agar dia nanti bisa mengakses di pesantren dan menulis di blog tanpa ada kekhawatiran untuk dirampas. Jalan Hana untuk mengembangkan studi dan karirnya masih panjang, 6 tahun ke depan.
Teringat Sherin putri sahabatku Kartika Nuswantara di Surabaya, sejak TK dia sudah menulis cerpennya. Sherin sering ditinggal kedua orangtuanya yang sama-sama memiliki kesibukan mengajar. Sehingga dia lebih memilih hari-harinya di rumah dengan menulis. Kemudian dengan tangan dingin ayah Sherin, akhirnya bisa mengorbitkan tulisan putrinya yang masih sangat kecil tapi gemar menulis. Sehingga sekarang orang tua Sherin tinggal memupuk dan melanjutkan saja hobby putrinya tersebut. Saat ini bahkan orang tua Sherin sibuk menjadi presenter seminar karena keberhasilannya memotivasi putrinya untuk menulis.
Dan sepertinya Hana nanti akan seperti itu.
Hana..Ganbatte!