
Di dalam diri setiap manusia terdapat berbagai sifat makhluq ciptaan-Nya, termasuk sifat fir’aun yang ingin dipertuhan dan disembah oleh manusia yang lainnya. Sifat fir’aun dan berbagai sifat yang lainnya tersebut, tidak bisa hilang dari dirinya manusia, sebab sifat itu melekat dan bersama dengan kehidupan jasadnya manusia. Ketika jasadnya manusia mati, maka sifat tersebut akan ikut mati atau tidak ada, sehingga yang tertinggal pada dirinya manusia adalah iman, ilmu dan nikmat yang bersifat ruhaniyah, dan ia berasal dari Allah melalui tiupan, di saat jasad manusia berusia 120 hari di dalam kandungan ibunya.
Oleh karena sifat fir’aun itu, sebagaimana disebutkan di atas melekat pada dirinya manusia, maka sifat tersebut tidak bisa hilang atau dihilangkan dari jasad kehidupan manusia.
Eksistensi sifat fir’aun hanya bisa disadari atau dirasakan oleh nikmat dan bisa diketahui oleh ilmu serta bisa dibenarkan oleh iman yang ada pada dirinya manusia (QS Ar Rahman (55) : 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, 77), (QS Al ‘Ankabut (29) : 49), (QS Al Baqoroh (2) : 2,3).
Berbagai sifatnya manusia, khususnya sifat fir’aun itu, benar bisa dirasakan dan benar bisa diketahui serta benar bisa dicek kebenarannya oleh iman. Semuanya, baik rasa, ilmu maupun iman, itu terukir dan terdapat serta terbaca di dalam catatan (al kitab) yang terdapat di dalam dadanya manusia (QS Bani Israil (17) : 14). Anapun lisan (qoul) atau ucapan dan tindakan (af’al-fi’li) oleh jasadnya manusia, bisa saja berbeda dengan apa yang dirasakan oleh nikmat itu. Alias, rasa sifat fir’aun di dalam diri manusia, bisa saja dikatakan oleh lisan manusia, wujud perkataan “loyalitas” dan sejenisnya. Atau sifat rasa fir’aun tersebut, diekspresikan oleh perbuatan jasadnya manusia, wujud sopan santun, ahli ibadah dan sebagainya.
Maka, bacaan catatan wujud rasa berbagai sifatnya manusia tersebut, khususnya sifat fir’aun yang menginginkan terhadap dirinya agar dipertuhan dan disembah oleh manusia atau orang lain selain dirinya, itu dikembalikan kepada dirinya masing-masing diri manusia. Oleh karena itu, beruntunglah dan menang bagi siapa yang menyadari akan eksistensi sifatnya serta mau mensucikannya atau tidak diikuti sifat jahatnya itu, khususnya sifat fir’aun yang menginginkan dirinya dipertuhan itu.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
QS Asy-Syams (91) : 7-8-9-10