
Di daerah lain yang sangat nampak perbedaan lintas budaya dalam interpretasi prinsip kerjasama dan Maksim terkait lebih menyangkut pada siapa dan apa yang menetapkan tujuan percakapan atau hal lainya, lebih tepatnya, siapa yang menginterpretasi ucapan pembicara selama percakapan tersebut. Pemahaman umum di barat, mengacu pada potongan pembahasan karya Searle mengenai tindak tutur (1969) yang dilakukan oleh pembicara itu sendiri. Hal ini menggambarkan suatu kode atau konsep dalam sebuah bahasa, dalam artian pembicara memiliki maksud lain melalui tindak tutur tertentu dalam menyampaikan maksud pada pendengar. Makna tutur kata adalah tujuan pembicara tersebut, yang berarti dia sebagai individu yang berinterpretasi assigus pada ujarannya (pendengar terus menjadi penonton pasif yang hanya dapat menebak-nebak maksudnya, entah benar ataupun salah).
Karya terbaru (Duranti 1988b; Rosaldo 1982) berpendapat bahwa konsep makna dan interpretasi tersirat mengambarkan ideologi kepribadian barat dan tidak menyamaratakan budaya yang ideologinya cenderung sosiosentris. Duranti (1988b) berpendapat bahwa dalam budaya Samoan, mengartikan ujaran dalam pidato formal yang menyertakan hal bersiat politik dan hukum yang biasa disebut fono. Secara terkontruksi hal tersebut datang dari para partisipan didalamnya, sebuah tugas yang dilihat oleh semua orang sebagai sebuah kerjasama, sekalipun struktur hirarki sejalan dengan batasan di masyarakat; “Daripada menyimpulkan kata-kata berdasarkan pemahaman sendiri [berdasarkan analisis Searle mengenai tindak tutur], Samoans mempraktekan intepretasi sebagai cara untuk menjaga hubungan sosial daripada sebagai cara untuk menebak-nebak “makna” seseorang saat berbicara” (Duranti 1988b:15). Oleh karena itu makna dibuat secara dialogis dalam pidato yang sedang berlangsung dan tidak tergantung pada maksud seseorang maupun keadaan psikologis. Sebagai contohnya, Samoans tidak bertanya “maksut kamu x?” tetapi ia akan melontarkan pertanyaan “apakah yang kamu maksud seperti x?”, dapat dikatakan hal tersebut lebih fokus pada garis besar makna sebagai konteks interpretasi tersebut daripada maksud pembicara. Selanjutnya, saat berlangsungnya percakapan fono, makna ujaran akan diperdebatkan oleh para orator, yang mana keduanya kooperatif dan kompetitif terhadap pernyataan interpretasi dan kejadian di publik. Dalam opini fono sering diutarakan oleh orator kepada kelompok daripada kepada seorang individu seperti seorang pemimpin, untuk orator yang berbicara. Walaupun, pembicara sering mengubah antara kata ganti tunggal “saya” atau jamak esklusif “kita” (untuk fenomena yang mirip dalam “segmentasi orang” bahasa di tanah New Guinea, lihat Rumsey (1989). Tindak tutur selanjutnya tidak digunakan pada individu, melainkan pada suatu kelompok, oleh karenanya, kelompok secara keseluruhan dilihat sebagai pembagian tanggung jawab sebagai maksud ujaran. Sekali lagi hal ini menggambarkan ideologi sosiosentris yang mana memberi nilai pada seseorang yang dimaksudkan dalam posisi kelompok tersebut. Hal sama juga diutarakan oleh Rosaldo (1982) dalam catatannya tentang tindak tutur diantara masyarakat Ilongot egalitarian dari Filipina. Rosaldo berpendapat bahwa masyarakat Ilongot tidak menganggap tindak tutur sebagai tanda individualis dalam ekspresi Linguistik. Namun secara menonjol hanya sebagai permintaan bekerjasama antar individu, dan kerjasama merupakan hal mendasar untuk berinteraksi sosial di masyarakat egalitarian. Hal tersebut merupakan kerjasama sosial dan makna interaktif yang penting dibangun di Ilongot, tidak terpusat pada pemikiran masing-masing individu, yang mana memang sedikit manarik perhatian mereka (kata mereka “kita tidak akan pernah benar-benar tahu isi hati seseorang”). Rosaldo mengutarakan poin analisisnya tentang kalimat perintah atau tuydek, yang mana dapat dilihat oleh masyarakat Ilongot sebagai contoh kemampuan berbiacara. Kalimat perintah sering digunakan oleh orang dewasa kepada anaknya atau laki-laki kepada perempuan.